26. Takziran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Katanya tidak sengaja, tetapi mukanya cengengesan seperti itu, apakah aku harus percaya bahwa dia jujur?

Aku muak. Entah kenapa aku sungguh muak melihat wajah Gus Fawaz yang semena-mena tanpa dosa--seperti biasanya.

"Lo ngutang neraktir gue cimol, Jim. Nanti istirahat pertama jangan lupa beliin. Gue tunggu di kelas. Kalo gue tidur, suruh Juki bangunin gue," omong Gus Fawaz saat aku beringsut berdiri. Menagih hutangku mentraktirnya cimol karena telah dipinjami jaket denim.

Sebenarnya perkara cimol karena dipinjami jaket denim yang kukembalikan lewat perantara Zalfaa bukanlah kemauanku, Gus Fawaz sendiri yang meminta ditraktir cimol sebagai balas budi, katanya terima kasih saja tidak cukup.

"Kotor banget seragam kamu, Azhima," ujar Zalfaa khawatir, begitu melihat jelas sebagian seragamku basah berbercak-bercak cokelat.

"Sorry, Jim. Gue bener-bener nggak sengaja sumpah," maaf Gus Fawaz dengan muka yang kini tampak sedikit rikuh.

"Udah sana balek ke pondok, ganti baju, gue izinin deh lo bakalan telat ke Guru BK gara-gara ini," imbuhnya.

Aku cuman melirik sejenak. Malas menanggapi. Apalagi di belakang sana, sekelompok santriwati yang tengah berangkat sekolah dan semakin dekat ke arah kami mulai menatap sinis, aku pun memilih tergesa meraih sebelah tangan Zalfaa, meneruskan langkah menuju sekolah.

"Yah, Jim. Lo marah?" keluh Gus Fawaz, mengekoriku.

Aku tak acuh. Berjalan lebih cepat bersama Zalfaa.

"Sorry, Jim. Gue bener-bener nggak sengaja."

Masih tidak peduli, aku dan Zalfaa sedikit berlari. Sampai juga ke gerbang utama MA Manbaul Hikmah.

"Ya udah, lo nggak usah traktir gue cimol, biar gue aja yang traktir lo cimol nanti buat bukti permintaan maaf gue."

Mendengar nada bariton itu terus saja berseru, lolos membuatku bertambah risih saja, pasalnya aku yakin sekali para santriwati di belakang sana berprasangka yang tidak-tidak.

Begitu melewati gerbang, aku berlari menuju kelas IPA-ku. Dan Gus Fawaz memang dasar bebal, dia mengejarku ke kelas dan beberapa teman-temanku di kelas langsung menatapku aneh.

"Jim, maaf," pinta Gus Fawaz dengan muka tertekuk saat aku menaruh tasku di meja.

"Iya," sahutku singkat, ingin sekali menambah kalimat udah cepet pergi, tapi hanya tertahan di hati.

"Nanti biar gue yang traktir cimol," katanya, masih saja membujukku dengan traktiran cimol yang menambah aku muak.

"Nggak usah, Gus. Matur nuwun," jawabku dengan raut muka kesal. Lalu melirik ke ambang pintu dan mendapati Zalfaa yang barusan menaruh tasnya di kelas Agama sudah menjemputku di sana.

"Oh, ya udah. Maaf, ya?" Nada bariton dan muka Guz Fawaz bertambah melas.

Aku menyahutnya singkat, "Iya." Lantas beranjak menemui Zalfaa untuk menemaniku pulang ke pondok, mengganti seragam kotor yang kupakai.

Lagi, Gus Fawaz mengekoriku utuk beranjak keluar dan menuju kelas Bahasa-nya.

"Gus." Ini bukan suaraku yang memanggil, melainkan suara Zalfaa.

Si Gigi Kelinci ini lolos membuat langkah Gus Fawaz tertahan dan menyahut, "Iya, Faa."

Aku tidak mau menguping percakapkan, aku terus melangkah berderap meninggalkan gedung sekolah dengan sesaat ke depan kudengar suara bariton Gus Fawaz berseru kaget.

"Serius?"

"Oh, jadi gegara ini juga dia muak banget ke gue?"

***

Bagiku, hari terus berlalu dengan cukup berat.

Persahabatanku dengan sofiya dan Khulasoh belum juga membaik. Sudah berkali-kali aku meminta maaf dan menjelaskan kesalahpahamannya, tetapi mereka kukuh membenciku. Aku tahu kenapa mereka tetap membenciku, itu bukan hanya soal Gus Fawaz, melainkan karena aku membuka kedok mereka.

Aku berterimakasih pada Zalfaa, dia mau bersusah payah buat andil menjelaskan kesalahpahaman yang ada pada mereka berdua perkara Gus Fawaz, bahkan saat aku diinterogasi oleh Mbak Mus dan dinyatakan aku tidak bersalah. Tetapi atas beredarnya gosip ini, aku mendapat peringatan untuk sebisa mungkin menghindari banyak berinteraksi dengan Gus Fawaz.

Itu bukan masalah bagiku, toh dari awal aku tidak suka banyak berinteraksi dengannya. Aku banyak berinteraksi dengannya juga karena dia yang mendekatiku dulu untuk menyuruh-nyuruh. Dan alhamdulillah, atas gosip yang menyebar, Si Gus pun tidak pernah lagi berbicara padaku, menarik diri.

Rumor perkara berpacaran dengan Gus Fawaz pun mulai mereda, tetapi tetap ada saja sebagian santriwati yang kesal padaku dengan alasan yang katanya Gus Tengil itu diam-diam suka padaku, mereka iri.

Ah, entah kenapa aku begitu muak mendapati simpang siur Gus Fawaz menyukaiku yang entah benar atau tidak, aku masih ragu perkara kesaksian Juki. Aku sungguh muak karena gegara masalah seperti ini, pikiranku benar-benar kacau.

"Kamu udah buat tulisannya, Azhima?" tanya Mbak Mus di saat aku nge-print tulisan AKU JANJI TIDAK AKAN BERPACARAN LAGI dengan beberapa lembar kertas HVS.

"Iya, Mbak. Ini aku lagi nge-print," jawabku seraya mengambil hasil print-an yang selesai juga.

"Buat juga tulisan 'Aku menyesal telah berpacaran', ya?"

"Siap, Mbak Mus," jawabku mantap sembari mengacungkan satu jempol.

Mendapati kesediaanku, Mbak Mus keluar dari kantor pusat pondok putri. Aku kembali fokus ke layar komputer untuk menulis apa yang Mbak Mus perintahkan.

Tulisan-tulisan yang sedang kutulis dan ku-print adalah untuk atribut mereka yang pagi ini seusai roan, bakalan di-takzir karena pelanggaran berpacaran seperti Sofiya.

Hari ahad, seperti biasa, pagi yang ada selalu terasa cepat karena banyak kegiatan yang kami kerjakan di waktu libur sekolah pagi ini.

Roan akbar pondok selesai. Saatnya takziran akbar digelar. Itu berhasil membuat sebagian santriwati bersorak senang karena mendapat hiburan spesial, tetapi sebaliknya dengan beberapa santriwati yang di-takzir, pastilah cemas tak kepalang.

Takziran untuk santri dan santriwati berpacaran adalah dengan sejoli; Si Cewek menaiki gerobak dengan Si Cowok menyurung gerobak itu untuk kemudian dibawa mengelilingi halaman luas pondok putra dengan disaksikan semua santri dan santriwati. Untuk tulisan yang pagi ini ku-print, itu untuk dikalungkan ke mereka.

Matahari mulai menerik. Ada 6 sejoli yang siap di-takzir karena kasus pacaran.

Mbak Mus dan Kang Sholeh--pemimpin keamanan putra--mulai mengkoordinir persiapan takzir.

Di halaman pondok putra yang luas, santri dan santriwati Manbaul Hikmah sudah berkumpul secara terpisah untuk melihat secara langsung proses takzir.

Mereka tampak semangat menunggu prosesi takzir ini layaknya semangat menunggu menonton permainan tampong air atau panjat pinang saat agustusan.

"Cop, ini dipake," kataku ke arah Sofiya di pinggiran lapangan pondok putra, mengulurkan selembar kertas HVS bertuliskan huruf kapital AKU JANJI TIDAK AKAN BERPACARAN LAGI.

Dengan wajah sebal, Sofiya menerima kertas yang sudah bertali, mengalungkannya.

Aku meneguk ludah atas sikap kaku Sofiya. Padalah aku tidak melakukan kesalahan apa pun padanya, tetapi tetap saja, aku merasa tidak enak hati.

"Udah semuanya, 'kan?" tanya Mbak Mus untuk memastikan kesiapan akhir.

"Udah, Mbak," jawabku dan Gwen serempak.

Prosesi takziran kasus berpacaran pun dimulai.

Mbak Mus beringsut mengomando 6 santriwati yang ditakzir ke area start takziran.

Kulihat dengan melas wajah Sofiya dengan malu tak kepalang menaiki gerobak perlahan, lalu didorong untuk memutari halaman pondok putra oleh Kang Mantan Pacarnya. Disusul 5 sejoli lain--yang juga pastilah sudah terpaksa putus hubungan layaknya Sofiya sama doi.

Prosesi takziran berpacaran berjalan lancar dan meriah layaknya ada acara pengantinan yang disaksikan banyak orang. Dan di sela prosesi tersebut, aku dipanggil oleh Mbak Humairah.

"Azhima."

"Iya, Mbak?"

"Didawuhi Ummi buat ke ndalem, ada Mama kamu lagi sowan di sana."

Aku mengernyit mendengar informasi Mama sowan ke ndalem. Padahal bukan hari jengukan, lalu ada kepentingan apa Mama datang ke pondok dan sowan ke ndalem?

______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro