28. Gus Tengil Nyantren

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue suka sama lo, Jim," ulang Gus Fawaz.

Aku bingung harus bereaksi bagaimana. Hanya bisa membisu dengan canggung.

"Jim .... "

"I-iya?" Aduh, aku mendadak gugup tidak jelas.

"Malah bengong," decak Gus Fawaz.

Kedua mataku melebar. Mengutuki diri kenapa jadi bertingkah aneh seperti ini.

"Jangan-jangan lo lagi mikir mau nerima gue jadi pacar lo apa nggak, ya?" ledeknya. Terdengar dia tertawa renyah setelahnya.

Huf! Sikapnya itu membuatku bertambah canggung. Malah meledek, malah tertawa, apa-apaan sih!

Aku meneguk saliva. Merapikan poni rambutku.

"Tenang aja. Gue lagi nggak nembak lo. Gue cuman pengen nyatain perasaan gue doang biar jelas, lo tahu kebenarannya, bukan dari kabar-kabar yang lagi seliweran. Kan nggak keren banget lo tahu gue suka sama lo malah dari kabar-kabar kayak gitu. Jadi gue perjelas malam ini kalo gue suka sama lo, Jim. Gue lagi kasmaran."

Lagi. Gus Fawaz tertawa renyah.

Aku masih bergeming aneh. Aneh soal kenapa dia bisa suka padaku dan aneh soal menyatakan perasaan suka ke cewek, tapi nadanya seperti nada sedang bercanda, tertawa begitu.

Ah, dasar Gus Tengil, jangan-jangan dia lagi mengerjaiku malam ini. Hus! Untuk mencari aman, aku tidak boleh langsung percaya dengan kesaksian dia yang memang pintar banget ngibul, jago berakting, pantas saja hampir menjadi artis.

"Jim ...."

"Iya," jawabku dengan nada kurang suka.

"Lah, kok lo suaranya jadi gitu? Lo marah sebab gue nggak nembak lo? Lo sebel karena nggak ada peluang buat lo jadi pacar gue yang cakepnya kebangetan ini?"

Kedua mataku melotot mendengar omongan macam apa barusan. Dasar! Sembarang banget nuduh orang! Andai bukan gusku, udah kumaki atau nggak kuputus teleponnya gitu aja, lalu nomor ini aku blokir!

Gus Tengil satu ini tertawa lagi. Lebih renyah. Seperti tidak ada pekerjaan lain selain tertawa.

"Gue penasaran ekspresi lo sekarang, sumpah! Kayaknya pipi lo udah merah kayak tomat karena salting," katanya. Lagi-lagi diekori tawaan.

Aku mendengkus. Malas sekali menanggapi hal beginian.

"Lo pasti nggak percaya kesaksian gue tadi 'kan?"

Tumben banget Gus Fawaz peka. Kujawab malas, "Iya, nggak percaya, udah ketangkep banget bercandanya, Gus."

Monoton. Tawa renyah Si Gus membahana.

Aku menghempas napas kasar.

"Gue jujur, Jim. Gue nggak bohong. Gue beneran suka sama lo, Azhima Marwah," tegasnya. Terdengar sedikit serius, tidak diekori tawa.

Aduhai, aku mati kutu. Bingung merespon apa.

"Tapi gue nggak akan nembak lo buat jadi pacar gue karena selain gue tahu lo jelas nolaknya, itu juga karena pacaran bukan prinsip hidup gue sekalipun gue bocah songong kayak gini. Malam ini gue cuman mau nyatain perasaan gue karena udah terlanjur jadi gosip nggak jelas. Gue nggak ngarep apa pun dari sekedar nyatain, gue juga nggak peduli lo ini bakalan suka ke gue apa nggak, gue nggak penasaran begituan."

Aku terbungkam. Rasa canggung yang sejenak mencair, kini membelengguku lagi.

"Tapi malem ini ada urusan lain gue telepon lo, bukan cuman soal kejujuran perasaan gue ini."

Aku masih belum bisa mengucapkan apa pun untuk menimpali Si Gus. Kebendaharaan kataku mendadak habis.

"Malem ini, gue mau minta maaf, sekaligus berterimakasih ke lo, Jim."

Keningku mengernyit.

***

Gus Fawaz mengatakan padaku jika dia meminta maaf karena telah menguping curhatan Mama ke Ummi Izzati. Dia menguping tentang Mama curhat tentangku. Tentang masa laluku yang menyedihkan.

"Iya, aku pernah setertekan itu, tentang perkara kenyataan sosok ayah, di-bully sama teman sekelas sampe sahabat-sahabatku ninggalin aku gitu aja, sampe berpikir hidup ini nggak adil," sahutku setelah Gus Fawaz berkata jujur di luar atensiku.

"Dan lo disuruh Mama lo masuk pesantren buat nemuin penyembuh atas rasa sakit lo?"

Aku mengangguk. "Iya."

"Dan akhirnya lo nemuin penyembuh itu belom lama ini, lewat kisah Zalfaa?"

Aku mengangguk lagi, menyahut, "Iya."

Dia tidak langsung merespon. Entah ekspresi apa yang sedang dia lakukan mendengar kejujuranku; melas, mengejek, atau ... entahlah.

"Dulu, setelah gue tahu siapa Zalfaa sebenarnya dan tahu seberapa kuat dia nerima kenyataan, gue kagum. Lalu setelah gue nguping curhatan Mama lo ke Ummi tentang gimana lo ngadepin rasa sakit lo, gue juga langsung kagum dan itulah asal gue suka sama lo, itu kayaknya pas setengah tahun kita sekelas 1 aliyah. "

Tetap bergeming. Aku malah membatin jika dia sungguh penguping handal karena bisa merekam dengan jelas apa saja yang Mama curhatkan pada Ummi Izzati di hampir satu tahun yang telah lalu.

"Awalnya, dulu gue nggak suka lo. Gue nyuruh-nyuruh lo awalnya karena mau ngerjain lo aja karena gue tahu lo nggak begitu suka ke gue."

"Eh," timpalku tanpa bisa kuenkan. Terheran kalau bisa-bisanya dia tahu jika aku tidak terlalu suka dengan sikap dia.

Gus Fawaz tertawa renyah.

"Tatapan mata lo udah nunjukin itu, Jim. Saat awal kita ketemu di mini market, di dapur ndalem, dan di kelas pun, tatapan lo itu tetep bisa gue baca kalo lo nggak begitu suka gue. Dan itulah sebab gue jadiin lo pesuruh gue biar lo tambah enek ke gue. Tapi ... setelah gue mulai suka lo, itu berubah jadi alasan gue buat bisa banyak interaksi sama lo, lalu gue juga perbudak Juki buat pura-pura suka lo, biar gue bisa ngeledekin lo."

Kepalaku menunduk. Beberapa poni rambutku menjuntai.

"Sorry, Jim. Gue udah buat hidup lo nggak nyaman. Sorry juga buat kelancangan gue nguping curhatan Mama lo ke Ummi beberapa kali. Dan thanks karena perantara kisah hidup lo, gue jadi tergerak buat berubah dan nggak mau nyakitin perasaan Ummi dan Abah lagi."

Masih sama. Aku bingung menyahuti apa tentang kesaksian Si Gus. Tapi entah kenapa, seutas senyum singgah di bibirku. Ada rasa bahagia yang menelusupi dadaku. Rasa bahagia perihal apa, belum begitu bisa kupahami baik, tetapi aku bisa mulai merasakan jika kebahagiaan ini datang tentang ternyata kisah hidupku bisa menggerakkan hati seseorang untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Ah, sungguhkah begitu?

"Abis ini, gue mau menghilang dari lo, Jim. Jangan kangen!" ujar dia dibuntuti tawa khasnya. Berkelakar.

Dan aneh sekali, aku secara alami tersenyum--ah, padahal tidak lucu dan tidak ada juga sesuatu yang berkesan.

Malam yang kian matang, dia juga banyak cerita hal lain, salah satunya tentang foto kecilku yang dia pamerkan waktu itu. Ternyata dia paham jika aku bocah narsis yang doyan dandan-dandan karena Ning Hulya--adiknya--dulunya suka mentengin postingan-postinganku di medsos dan selalu merengek membeli merek baju yang aku modeli, makanya dia mudah mencari foto jadulku itu di Instagram merek baju tersebut.

Dia juga bercerita kenapa dia begitu bandel, itu karena awalnya dia cemburu dengan Gus Fikri yang menurut kaca matanya ... abangnya mendapat kasih sayang lebih dari Abah Dulloh dan Ummi Izzati, yang ternyata belum lama ini, dia tahu bahwa Gus Fikri memiliki penyakit jantung bawaan.

Gerimis di luaran sana sudah reda begitu telepon Gus Fawaz usai.

Ada rasa syukur yang kupanjatkan setelahnya karena telah diberi kesempatan mendapatkan pelajaran berharga.

Pelajaran berharga; bahwa hidup ini memang saling mengait satu sama lain; di mana saat kita berbuat sesuatu, maka akan ada dampaknya bagi yang lain, entah itu baik atau buruk, entah itu besar atau tidak, entah kita sadari atau tidak.

Contoh kecilnya; layaknya curhatan Mama Ningsih ke Ummi Izzati, mengaitkan Gus Fawaz menguping, lalu lewat kisahku yang akhirnya mendapatkan penyembuh itu berhasil menggugah hatinya untuk bertekad masuk pesantren lagi, menyembuhkan rasa sakit Abah dan Ummi yang telah digoreskannya sedemikian hebat.

Dan ternyata tekadnya dia sungguh-sungguh, bukan bualan semata. Saat aku kembali ke pesantren, sedang beredar kabar hangat di kalangan santriwati jika Gus Fawaz berangkat menuntut ilmu ke salah satu pesantren salaf di wilayah Kediri, Jawa Timur.

Sekonyong-konyong, aku jadi teringat kelakarnya.

"Abis ini, gue mau menghilang dari lo, Jim. Jangan kangen!"

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro