36. Bab Ekstra: Selat Bosporus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Permukaan kota Istanbul kian terik.

Akhirnya Azhima dan Fawaz sampai juga ke Grand Bazaar yang berada di Distrik Fatih. Sebuah pasar tertutup tertua dan terbesar di dunia, di mana berdiri pada era Dinasti Ottoman. Lokasinya cukup dekat dengan Masjid Biru dan Masjid Aya Sofiya.

Sesuai janji, sembari menulusuri Grand Bazaar, Fawaz menceritakan tentang pasar yang menjadi salah satu ikoniknya negara Turki.

Menceritakan tentang luas pasar yang mencapai 54.000 meter persegi, memiliki lebih dari 3000 toko yang dalam perharinya bisa memikat 250.000-400.000 pengunjung. Pokoknya tak heran kalau pasar ini sering dijuluki surganya berbelanja karena yang dijajahkan juga amat beragam; mulai dari keramik, hasil lukisan tangan, karpet, lampu hias, perhiasan dan macam-macam aksesoris, rempah-rempah, barang antik, pakaian, dan masih banyak lagi.

Walaupun sudah amat tua dan umurnya lebih dari 500 tahun, Grand Bazaar tidaklah kumuh karena terus dijaga keapikannya. Lorong-lorong pasar yang selalu ramai pengunjung dalam negeri dan luar negeri ini penuh akan nilai seni, dindingnya indah akan ragam hiasan lukisan, dan kerlap-kerlip lampu penerangannya yang membuat kesan eksotis.

Sepertinya efek memakan es krim khas Turki sebelum ke sini, Fawaz jadi semangat bercerita sembari menelusuri lorong-lorong pasar dengan melihat-lihat toko di setiap sisi kanan, menunggu Azhima berceloteh untuk mampir ke salah satu toko untuk membeli sesuatu.

"Ayo kita mampir ke sana, Mas. Aku pengin beli abaya. Boleh kan?"

Akhirnya celotehan Azhima terdengar juga, tanpa ada penolakan sedikit pun, Fawaz mengiyakan kemauan istrinya.

Sesuai bocoran fakta dari Zalfaa soal Grand Bazaar, para pedagang di pasar kuno Turki ramah tamah, sebagian pedagang suka menyajikan teh khas Turki untuk para calon pembeli mereka layaknya pedagang toko yang pasutri baru ini kunjungi.

Seraya menunggu Azhima memilih-milih abaya, Fawaz menikmati cay, teh khas Turki yang disajikan.

"Mas, ini bagus nggak?" Azhima melihatkan abaya hitam.

"Kalo kamu yang pake, apapun jadi bagus, Istriku," jawab Fawaz begitu atensinya teralihkan penuh ke arah Azhima.

"Jangan ngeledek. Aku lagi serius. Menurut kamu, ini beneran bagus nggak kalo dipake aku?" cicit Azhima. Dia selalu sebal kalau Fawaz ditanya pendapat beginian, berujung jawaban konstan kalo kamu yang pake, apapun jadi bagus.

"Iya bagus. Bagus banget abayanya kalo dipake kamu, Jim."

Kini tinggal Azhima mendengkus sebal karena menjadi dipanggil dengan sebutan Jim. Lolos menjadikan Fawaz nyengir lebar.

Akhirnya, Azhima pun membeli abaya yang dipilihnya barusan. Segera beringsut keluar untuk berburu jajanan lain.

Saking lengkapnya jenis dagangan yang dijajahkan di Grand Bazaar, Azhima banyak melirik-lirik sesuatu, tapi jelasnya tidak semua yang dirinya inginkan, dia beli.

Dan yang paling membuat Fawaz gemas adalah saat di kios aksesoris untuk memborong oleh-oleh. Ada aksesoris yang menurut Fawaz tidak berfaedah, tapi Azhima merengek minta membelinya karena katanya bentuknya gemoy, lucu. Ah, kaum perempuan memang gampang tersentuh, hanya karena gemoy segera minta ingin dimiliki dan kalau tidak dituruti nanti bakalan ngambek.

"Belanja oleh-olehnya udah cukup 'kan? Aku udah laper, tinggal berburu makanan yuk?" rayu Fawaz mendapati Azhima masih saja sibuk memilih-milih turkish blue eyes yang dikenal dengan sebutan nazar boncuk: yaitu aksesoris bermata biru yang dijadikan gelang, kalung, gantungan kunci, atau aksesori lain, katanya memiliki makna untuk menangkal kecemburuan dan malapetaka.

"Iya, sebentar, Mas."

Fawaz hanya bisa menghempaskan napas lemah. Baiklah, dia harus ekstra sabar menunggu istri tercintanya itu berbelanja sesuatu yang gemoy-gemoy--padahal sudah lama dia menunggu.

"Indonesianya dari daerah mana, Brother?" tanya pemilik kios.

"Kota Cilacap," jelas Fawaz pada pemilik kios yang bertubuh tinggi jangkung.

Pemilik kios mengangguk, walaupun tidak tahu pastinya di mana kota Cilacap. Dia hanya paham Bali atau Jakarta karena pernah backpacker-an ke sana.

"Dekat sama Bali? Jakarta?"

Fawaz menggeleng.

"Dekatnya sama Pulau Nusa Kambangan."

Aduh, apalagi itu, pemilik kios yang bernama Enver ini lebih-lebih tidak tahu.

Akhirnya mereka berdua justru tertawa renyah, tepat saat Azhima menyudahi sesi belanjanya, tinggal membayar tunai.

Jangan kaget kalau barusan Fawaz mengobrol dengan Enver menggunakan bahasa Indonesia, itu karena Enver mahir berbahasa Indonesia.

Faktanya memang selain  menggunakan bahasa Turki dan Inggris, sebagian pedagang di Grand Bazaar menguasai bahasa lain seperti Bahasa Indonesia  atau Bahasa Melayu. Bahkan sebagian kios juga menerima mata uang rupiah dalam pembayaran tunai jika saja para pembeli kehabisan mata uang lira turki atau dolar.

Di luar Grand Bazaar, mentari kian terik saja. Perut Fawaz keroncongan berat. Mereka berduapun bersegera pergi dari toko aksesoris milik Enver. Berjalan sedikit lebih cepat ke arah kedai-kedai makanan.

***

Iskender kebab menjadi pengganjal perut Fawaz dan Azhima.

Di negeri asal kebab, jenis kebab sangatlah beragam dan tidak melulu kebab yang dikemas dengan gulungan roti seperti yang sangat umum di Indonesia. Salah satunya iskender kebab; penyajiannya adalah dengan roti terbuka yang diletakkan di atas piring, kemudian atasnya diberi irisan daging doner--olahan daging potong yang ditumbuk, diberi rempah-rempah bercampur lemak.

Usai kenyang dan keluar dari Grand Bazaar, sesuai rekomendasi Zalfaa, mereka berdua mampir ke toko penyedia hidangan penutup tertua dan paling terkenal di Istanbul. Hafiz Mustafa yang berdiri sejak tahun 1864 M. Di sana, pasutri ini membeli dessert khas Turki untuk oleh-oleh seperti baklava dan Turkish delight.

Akhirnya setelah seharian melancong di kota Istanbul, Fawaz dan Azhima menutupnya dengan berwisata ke Selat Bosporus untuk menikmati keindahan alam Benua Asia dan Eropa. Selat Bosporus juga menjadi penghubung antara Laut Marmara dan Laut Hitam.

Karena berencana menikmati matahari tenggelem di perairan Selat Bosporus, Fawaz dan Azhima mencari tiket kapal yang berlayar paling sore usai puas berkunjung ke Menara Galata dan Jembatan Galata.

"Dek, lihatlah di sana? Cakrawala senjanya indah banget kayak kamu," ledek Fawaz saat kapal yang mereka naiki membelah Selat Bosporus. Sebelah tangan Fawaz menunjuk ke arah langit senja yang keorenan.

Azhima malas berkomentar saat diledek begitu, dia yang berdiri bersebelahan dengan Fawaz di pinggiran kapal, memilih menatap cakrawala senja yang ada. Mengagumi kekuasaan Sang Penguasa yang begitu menakjubkan. Menakjubkan karena telah menciptakan sedemikian beragam isi dari alam semesta. Menakjubkan yang juga tentang ... bagaimana Sang Pencipta memberikan beragam skenario kehidupan bagi banyaknya penduduk bumi.

"Luka itu beneran udah sembuh sempurna kan?" tanya Fawaz, lolos mengalihkan perhatian Azhima dengan bersegera menoleh ke arahnya.

Bukan langsung menjawab, Azhima justru bergeming menatap suaminya. Dia paham maksud Fawaz, ini mengarah pada luka batin yang bertahun-tahun di belakang sana amat menggerogoti dirinya.

"Saat aku sengaja menguping dan akhirnya tahu bagaimana kamu sebenarnya, aku langsung bercermin pada diriku sendiri. Apa yang aku temukan? Aku punya keluarga lengkap, identitas orantua yang jelas, yang mereka juga menyanyangiku," jelas Fawaz, kenangan masa lalu di momen menguping curhatan ibu mertuanya pada Umminya naik ke permukaan serebrum.

Azhima juga tertarik akan momen penjelasan Fawaz di telepon itu, di dulu.

"Tapi apa yang aku lakuin dengan semua kenikmatan yang ada untukku? Aku justru menyia-nyiakannya dengan banyak membangkang pada Ummi dan Abah," lanjut Fawaz, meneguk saliva dengan getir.

Azhima jelaslah paham dengan maksud Fawaz, bahkan dulu dia menjuluki lelaki ini dengan cowok generasi micin.

Tapi sekarang tidak lagi, Fawaz sudah menjadi lelaki sejati yang dia kagumi, dia hormati, dan dia akan berbakti seutuhnya pada Fawaz yang telah menjadi teman hidupnya, yang akan menjadi sosok ayah hebat bagi putra-putrinya nanti.

Cakrawala senja di atas sana semakin keorenan saja, sebelah tangan Azhima terulur, mengenggam sebelah tangan Fawaz.

"Nggak apa-apa. Bukankah penyakit itu juga udah sembuh sempurna, Mas?" tanya Azhima sembari mengeratkan genggaman tangannya.

Kapal yang mereka naiki terus membelah perairan Selat Bosporus, melewati banyak bangunan di sisi kiri-kanan dengan gaya khas Eropa, Asia, bahkan mediterania.

"Insha Allah, Dek." Bibir Fawaz mengurva apik. Menular ke arah Azhima, ikut melukisakan senyum terbaik di bibirnya.

Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Mentari mulai tampak menumbangkan raganya ke ufuk barat.

Fawaz mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Kemudian menikmati saksama detik-detik mentari hilang di ufuk barat, merangkul punggung Azhima dengan sebelah tangan.

________________

Akhirnya sampai juga di akhir bab ekstra. Terimakasih buat kalian yang sudah mengikuti cerita ini sampai akhir. Jika ada kritik-saran membangun, atau apapun itu, jangan sungkan untuk dikatakan.

Sampai jumpa di cerita lain :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro