11 | Perjanjian Darah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Senin pagi yang cerah.

Semua siswa SMA San Juan berbondong-bondong keluar menuju aula sekolah. Baru saja ada pengumuman mengatakan bahwa akan ada apel pagi hari ini. Sebuah rutinitas yang cukup menjengkelkan bagi beberapa siswa.

Alta masih di tempat duduknya, ia tak berminat mengikuti apel pagi ini. Mungkin bolos akan menjadi pilihan Alta. Tapi sayang sekali Raga harus menyadari itu. Dengan pelan Raga mendekati Alta yang menelungkupkan kepalanya. Tubuhnya sedikit menunduk dan tangannya tanpa permisi merangkul pinggang Alta dan berbisik...

"Kenapa malah tidur, hm?" suara Raga terdengar pelan, tapi mampu membuat Alta langsung terbangun.

Mata mereka berdua bertemu, tubuh Alta merinding seketika. "G-gue... g-ga ikut" ujarnya tergagap.

Raga menautkan alisnya, "Hm? Kenapa? Ayo ikut sama gue!"

Satu tangan Raga yang memegang pinggang Alta menarik anak itu untuk berdiri. Alta tak bisa berontak, ia berdiri dengan patuh. Mereka berdua berjalan beriringan menjadi penutup kelas 11 IPA 5 yang keluar terakhir.

Disepanjang perjalanan menuju aula sekolah, Raga tak pernah melepaskan pegangannya pada tubuh Alta. Bahkan ketika beberapa siswa memperhatikan mereka berdua dengan tatapan aneh, Raga seolah tak peduli. Berbeda dengan Alta yang merasa sangat tidak nyaman karena tubuhnya yang benar-benar menempel dengan Raga.

Kalau itu orang lain, mungkin Alta akan langsung menonjok orang yang berani menyentuh tubuhnya seintim ini. Tapi ini Raga, ia tak bisa berontak begitu saja. Semua yang bisa ia lakukan sekarang dalam kendali Raga, berkat hari itu.

...

Alta menyusul Raga tak lama setelah ia ditinggalkan sendirian di ruang tengah. Ia menuju kamar dimana dirinya keluar tadi, mengabaikan kesempatan bahwa dirinya bisa pulang sekarang juga. Alta membuka pintu kamar dengan kasar, bisa dilihat Raga tengah berbaring di atas ranjang sambil memainkan sebuah perekam suara di tangan kanannya.

"Kenapa ga pulang? Bukannya udah gue kasih izin?" Raga tersenyum miring.

Kaki Alta mendekati Raga. Ia berdiri tepat di samping ranjang Raga. Kedua tangannya terkepal kuat. "Maksud perkataan lo tadi apa?"

"Hm? Yang mana?" tanya Raga balik.

"Ga usah berlagak lupa?! Gue tau lo ngerti yang gue maksud!" pekik Alta.

Raga menepuk kepalanya sendiri, seperti teringat sesuatu. "Ah! Yang lo pernah berhubungan 'sex' sama Papa lo? Jadi itu beneran?" Raga menahan mulutnya seolah-olah tak percaya. Padahal dalam hati ia sudah tertawa girang.

Tubuh Alta kembali membeku. Awalnya tadi ia mengira telinganya salah dengar karena kepalanya yang terasa pening. Tapi apa yang didengarnya dari mulut Raga ternyata sungguhan. Rahasianya... bagaimana Raga bisa tau tentang hal itu?

"Ini... gue punya rekamannya. Mau dengar?" Raga menggoyangkan perekam suara di tangannya. Ia memutar potongan rekaman yang sebelumnya.

'Nghh... ahh...'

'A-ahh... Papa, please stophhh ...hahh'

Raga menekan tombol pause. Ia menunggu reaksi dari Alta. Tubuh anak itu bergetar. Alta mengangkat kepalanya dengan mata memerah.

"DARIMANA LO DAPAT REKAMAN ITU, HAH?!"

Alta naik ke ranjang, posisinya di atas tubuh Raga yang sedang tertawa. Ia menarik bagian depan sweater hitam yang dipakai Raga dengan emosi. Rasanya, ia ingin memukul wajah itu detik ini juga.

"Lo... kenapa..." Alta menundukkan kepalanya lagi. Cengkeramannya melonggar dan tubuhnya bergetar. Raga bisa mendengar isakan dari atasnya.

Alta menangis.

Hal yang tidak pernah ia tunjukkan di depan orang lain. Alta menangis dengan suara tercekat seperti anak kecil yang habis dimarahi orang tuanya. Tawa Raga luntur. Secepat itu ekspresinya berubah. Kedua tangannya memegang pundak Alta yang bergetar. Mungkin sedikit simpati.

"Kenapa nangis?" tanya Raga, ia mencoba melihat wajah Alta yang menunduk. Tiba-tiba...

Grepp!

"Kasih gue rekamannya!" Alta berkata dengan suara rendah. Matanya menatap tajam wajah Raga dengan air mata menetes. Kedua tangan Alta berhasil memegang tangan kanan Raga yang memegang perekam suara.

Raga sempat terperangah sesaat. Senyum miringnya kembali muncul. "Oh, jadi ini tak-tik lo?"

Srakk!

Brukk!

Tanpa disangka, Raga dengan cepat membalik keadaan. Ia mendorong tubuh Alta kebelakang hingga sekarang posisi mereka berdua terbalik. Raga menjadi di atas Alta. Genggaman tangan Alta terlepas. Tatapan Raga berkilat marah.

"Sok-sokan nangis biar dikasihani. Pinter juga ya lo!"

Raga mengarahkan kedua tangannya pada leher Alta dan mencekiknya dengan kuat. Nafas Alta langsung terputus. Wajahnya memerah.

"Kkhh— le-lepas... gue g-ga bi—sa na—fashh" mohon Alta. Air matanya kembali meluncur.

"Asal lo janji turutin semua perintah gue!" ujar Raga dengan santai. Alis Alta menyatu. Sungguh Raga benar-benar gila, pikirnya. Tapi ia tak punya pilihan lain selain mengangguk. Ia tak mau mati di tangan Raga.

"Ah, oke. Good boy~" puji Raga. "Gue lepasin tapi lo jangan coba-coba mukul gue ataupun kabur dari sini!"

Raga melepaskan cekikannya pada leher Alta. Anak itu langsung mengambil oksigen dengan rakus. Raga merubah posisinya menjadi duduk sambil mengantongi perekam suara di tangannya.

"Gue pengen kita buat sebuah perjanjian! Perjanjian yang isinya lo harus nurutin semua perkataan gue. SELAMANYA. Mulai detik ini!"

Raga bangkit dari ranjang menuju meja belajarnya. Ia mengambil sebuah kertas dan bolpoint kemudian menuliskan sesuatu di sana. Setelah selesai ia membawa kertas tersebut beserta sebuah cutter ke arah Alta yang duduk gusar di ranjang. Raga duduk di depan Alta yang terlihat takut. Ia mulai membacakan apa yang ia tulis tadi.

"Perjanjian ini dibuat dengan persetujuan kedua belah pihak! Bahwa mulai saat ini, Ghaaziy Jazlan Altami adalah milik Ragasya Feliz Abqary! Semua perintah pemilik adalah mutlak, tidak menerima bantahan dan harus dilaksanakan!..." Raga menjeda kalimatnya untuk mengambil nafas.

"...jika seekor peliharaan menghianati majikannya, maka akan ada hukuman yang diberikan. Sekian." Raga menyudahi acara bacanya dengan senyuman. Seolah tak ada beban sedikitpun.

"Gila! Lo gila, Ga! Lo pikir gue mainan lo, hah?!" ucap Alta setelah mendengar perjanjian tak masuk akal yang dibaca Raga.

"Mulai detik ini lo emang mainan gue. Kenapa? Ga setuju?" tanya Raga. Ia mendekatkan tubuhnya lebih rapat dengan Alta. "Kalo lo ga setuju, gue bakal sebar rekaman tadi di sekolah. Gimana? Mau pilih yang mana?"

"Sialan!" umpat Alta. Ia tak bisa melakukan apapun selain menuruti Raga.

Raga tersenyum senang, "Gue anggep lo setuju sama perjanjiannya. Siniin tangan lo! Kita buat cap jari sebagai ganti tanda tangan persetujuan"

Alta dengan terpaksa menyodorkan tangan kanannya. Raga langsung memeganginya dengan erat. Cutter di tangan kanannya mulai Raga angkat di atas ibu jari Alta. Alta menatap itu dengan horror.

"Lo mau ngapain—akh, sakit!"

Raga menggores cutter merah tersebut pada ibu jari Alta. Darah mulai keluar. Raga beralih pada jari tangannya sendiri. Ia menggores satu sayatan yang sama hingga darahnya keluar. Setelah itu Raga mengarahkan ibu jarinya dan juga milik Alta pada kertas perjanjian mereka. Cap jari dengan tinta darah membekas di sana.

"Nah, selesai~" ujar Raga riang. Seperti tak merasa sakit sedikitpun dengan ibu jarinya yang masih meneteskan darah. "Lo resmi jadi milik gue!"

Hanya ada satu kata dalam benak Alta saat melihat Raga sekarang.

Psikopat.

Raga benar-benar sudah gila. Alta tak pernah mengira akan berurusan dengan orang gila seperti Raga.

"Lo laper 'kan? Gimana kalo kita berdua makan? Gue bisa masakin lo masakan yang enak. Ayo ikut gue!" ujar Raga. Ia berdiri, beranjak menuju dapur untuk membuat makan malamnya dan Alta.

Tapi Langkah kaki Raga berhenti di ambang pintu saat dirasa Alta tak juga mengikutinya. Ia berbalik, tatapan yang sebelumnya terlihat riang berubah tajam.

"Ini perintah!"

Suara rendah Raga berhasil membuat Alta beranjak dan mengikuti Raga. Alta takut, tapi ia tak punya jalan keluar. Perjanjian sudah dibuat. Meski terdengar kekanakan.

Alta tak tau apa yang akan terjadi padanya setelah hari ini. Mungkinkah neraka lain setelah neraka yang dibuat Papa-nya?

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote di chapter sebelumnya

Uuu~ si Raga main klaim aja
Kira" kedepannya bakal gimana hidup Alta

_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro