26 | Raga Marah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Pelajaran olahraga.

Alta harus mengumpat karena hal itu sejak tadi. Guru olahraganya menyuruh anak kelasnya untuk lari sprint di lapangan yang luas ini. Di tambah lagi setelah itu, mereka di suruh berlari keliling lapangan satu kali yang diharuskan memenuhi waktu tertentu.

Maksimal 120 detik untuk perempuan dan 100 detik untuk laki-laki.

Kalau Alta dalam kondisi yang biasanya tidak akan masalah dengan hal itu. Tapi sekarang pinggangnya masih sakit karena ulah Raga semalam.

"Raga bangsat, pinggang gue sakit banget" gerutu Alta yang sedang menunggu giliran untuk lari keliling lapangan.

Alta beberapa kali menegakkan punggungnya dan memijit pinggangnya yang terasa berdenyut karena lari sprint tadi. Semoga saja ia tak pingsan setelah berlari keliling lapangan nanti.

"Hey, Ta! Kenapa lo?"

Wiku yang baru saja menyelesaikan lari sprint-nya datang menghampiri. Kaos olahraga warna maroon yang dipakai sudah basah terkena keringat.

"Pinggang gue sakit" keluh Alta.

"Kenapa? Lo abis jatoh?" ucap Wiku khawatir. Ia memeriksa bagian tubuh Alta terutama punggung dan pinggang.

"Bukan karena jatoh, tapi—"

Alta berhenti berbicara dan menggigit bibir bawahnya. Ia baru sadar apa yang mau ia ucapkan. Beruntung belum sempat keceplosan. Tapi karena itu juga sekarang Wiku jadi penasaran.

"Tapi apa, Ta?" tanya Wiku.

Alta menatap Wiku. Entah kenapa ia merasa malu sendiri sekarang. Ingatannya tentang kejadian di rumah Raga kemarin berputar dalam otaknya.

"Ah, sialan" gumam Alta menutup wajahnya dengan tangan. Wiku semakin bingung dengan tingkah Alta. "Udah, lupain aja" ujar Alta pada Wiku.

Decakan dari Wiku terlontar. "Kebiasaan ya lo, udah bikin orang penasaran malah ga cerita" cibir Wiku.

"Akan lebih baik kalo lo ga tau"

"Kok gitu?"

Tak lagi menjawab Wiku, Alta berdiri saat guru olahraganya memanggil nomor absennya. Sedikit perenggangan otot untuk mengurangi rasa berdenyut pada tubuhnya kemudian berjalan menuju garis start yang sudah ditentukan.

Ada empat anak lain yang akan berlari dengannya. Dua perempuan dan dua laki-laki belum termasuk dirinya.

"Oke, ambil posisi!" perintah sang guru. "Raga, siap-siap sama stopwatch-nya, ya?"

"Ya, pak"

Raga yang ditugaskan mencatat waktu lari teman-temannya mengangguk di samping garis start. Tatapannya mengarah lurus pada Alta yang meliriknya. Kesal dan marah, itu yang bisa Raga tangkap dari ekspresi Alta meliriknya.

"Siap-siap!" kembali sang guru memerintah.

Kelima anak termasuk Alta sudah dalam posisi siap berlari.

"1!"

"2!"

"Prriittttt!"

Alta langsung melesat pertama meninggalkan empat temannya yang lain di belakang. Ia ingin menyelesaikan ini dengan cepat. Tak peduli seluruh tubuhnya sakit-sakit setelah ini.

"Jangan pingsan! Jangan pingsan!"

"Please jangan pingsan!"

Kata-kata itu terus Alta gumamkan saat berlari. Guru olahraganya sudah melambaikan tangannya di depan sana. Sedikit lagi dan deritanya hari ini selesai.

Begitu melewati garis, Alta langsung merebahkan tubuhnya di luar jalur lari. Nafasnya memburu, tubuhnya benar-benar mati rasa sekarang.

"95 detik! Good job, Alta!" seru sang guru.

Wiku yang peka langsung menghampiri Alta sambil membawa minum. Ia mengipasi Alta menggunakan jaketnya.

"Nih Ta, minum dulu! Copot jaket lo juga, ga gerah apa?" ujar Wiku sambil menaruh botol minum di tangan Alta.

Kepala Alta mendongak, menatap Wiku yang duduk di atasnya. Semilir angin karena kipasan Wiku begitu menyejukkan tubuhnya yang panas sehabis berlari.

"Thanks..." ucap Alta. Ia mencoba duduk dibantu Wiku. Dan dengan sekali tenggak, isi botol minum yang tinggal setengah itu tandas masuk melewati kerongkongannya.

Tubuhnya benar-benar berkeringat dan panas. Alta segera melepas jaket miliknya dan meninggalkan kaos di dalam. Kaos yang ia pakai basah dan menempel, membuat bentuk tubuh Alta sedikit tercetak di permukaan kaos.

"Wi, kipasin lagi" pinta Alta saat Wiku berhenti mengipasinya.

Saat menoleh, Alta menemukan Wiku yang mematung dengan wajah bersemu menatapnya.

"Wiku lo kenapa?"

Wiku langsung tersentak. Dengan gugup ia mengalihkan pandangannya yang semula menatap tubuh Alta.

"Ga apa-apa" ujarnya dan lanjut mengipasi Alta.

Pukk...

Sebuah jaket tiba-tiba jatuh menutupi tubuh Alta. Pelakunya Raga. Anak itu berdiri di depan Alta dan Wiku sambil melakukan perenggangan. Ia menatap Alta.

"Nitip, abis ini giliran gue lari" ujarnya. Atensi Raga berganti menatap Wiku dengan menusuk.

"Apa lo?" sewot Wiku yang ditatap Raga seperti itu. Raga hanya berdecih dan pergi dari sana.

...

Pelajaran olahraga telah usai. Alta sendirian sekarang. Ia mencoba berdiri untuk kembali ke kelas. Tapi kakinya gemetar. Sepertinya masih lemas karena berlari tadi.

"Kalo gini gimana gue ke kelasnya" gumam Alta frustasi.

"Ta! Ayo balik!" seru Wiku yang baru tiba entah darimana. Anak tinggi itu menatap Alta yang kembali jongkok dengan pandangan bertanya. "Kenapa?" tanyanya.

"Kaki gue tremor" jawab Alta.

"Ga kuat jalan?"

Alta mengangguk sebagai jawaban. Melihat itu, Wiku mengambil inisiatif berjongkok di depan Alta.

"Sini gue gendong!"

Dengan senang hati Alta naik ke punggung Wiku tanpa pikir panjang. Daripada ia harus merangkak ke kelas. Tapi belum sempat ia bertumpu pada Wiku, tubuhnya lebih dulu ditarik ke samping. Alta merasakan tubuhnya diangkat paksa dan berakhir pada sebuah pundak.

"Ga! Turunin gue, bego!" pekik Alta karena Raga tiba-tiba datang dan menggendongnya ala karung beras di pundak.

"Diem dan nurut!" perintah Raga membuat Alta yang berontak langsung terdiam.

Raga menatap Wiku yang masih berjongkok. "Lo bagian bawa jaket Alta aja. Punya gue juga" ucap Raga dengan senyuman.

"Lo siapa nyuruh-nyuruh gue! Hey!" teriak protes Wiku yang tak digubris Raga yang berjalan pergi. Ia ditinggal di lapangan sendirian. Dengan terpaksa Wiku mengambil jaket miliknya, milik Alta dan milik Raga yang jadi satu di pinggir lapangan kemudian menyusul dua anak tadi.

Beralih pada Raga yang sedang menggendong Alta menuju kelas. Meski tak lagi berontak, tapi Alta terus menggerutu sejak tadi. Raga seolah menulikan pendengarannya tak peduli dengan gerutuan Alta.

"Gue udah bisa jalan sendiri, serius. Turunin gue sekarang"

"Bentar lagi sampai kelas"

"Iya tapi turunin aja. Gue malu"

"Malu kenapa? Lo ga telanjang"

"Sialan!"

Sepertinya usahanya membujuk Raga untuk menurunkannya tak akan berhasil. Alta hanya bisa menghela nafas.

"KAK ALTAAAAA!"

Suara menggelegar itu menghentikan langkah Raga. Alta mendongak menatap Nasa yang berlari kearahnya. Matanya berbinar menatap kehadiran Nasa yang mungkin bisa menolongnya keluar dari situasi ini sekarang.

"Kakak kenapa? Kok... digendong?" tanya Nasa.

"Ga, turunin gue"

Permintaan Alta kali ini mau tak mau Raga turuti. Ia menurunkan Alta di depan Nasa.

"Kenapa, Nas?" tanya Alta pada Nasa.

Anak kelas 10 itu langsung menyodorkan sebuah plastik berisi jersey pada Alta.

"Pelatih suruh kasih ini ke kakak, buat dipakai besok waktu tanding. Baju jersey yang waktu itu kakak kembaliin ke pelatih" jelas Nasa.

Alta menerima jersey itu dari tangan Nasa.

"Tanding apa?" Raga tiba-tiba berceletuk. Alta dan Nasa bersamaan menatap Raga yang memasang wajah datar andalannya.

"Basket. Kak Alta besok bantuin tim basket sekolah buat tanding sama sekolah sebelah"

Mendengar penjelasan dari Nasa membuat ekspresi wajah Raga semakin datar. Tatapannya melirik Alta.

"Beneran? Kenapa ga bilang?" tanya Raga dengan nada suara yang benar-benar menakutkan.

"Kenapa harus bilang?" balas Alta ketus. Ia masih kesal pada Raga omong-omong.

"Oh! Oke!"

Setelah mengucapkan itu Raga berjalan meninggalkan mereka berdua. Nasa yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa berkedip memperhatikan kedua kakak kelasnya itu. Alta bersikap tak acuh.

"Ya udah ya kak, sampai ketemu besok! Dah~" Nasa berpamitan pada Alta dan pergi kembali ke kelasnya.

Begitu Nasa pergi Alta kini berjalan sendirian ke kelasnya. Raga marah padanya, Alta tau itu. Tapi ia tak peduli. Karena tak semua yang ia lakukan harus dilaporkan pada Raga.

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Possessive Raga detect

Lihat mereka jadi pengen nyempil, uvvu
_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro