28 | Jealous, Really!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Saat Alta men-dribble bola kearah Daniel, seseorang dari tim lawan tiba-tiba berdiri di depannya. Entah disengaja atau tidak. Siku anak itu tepat mengenai wajah Alta dengan keras sampai dirinya terjatuh. Bola di tangan Alta terlepas begitu saja.

Wasit langsung meniup peluit. Permainan berhenti untuk sementara.

"Ugh..."

Alta meringis merasakan sakit pada hidungnya. Ia melihat tangannya yang ia gunakan untuk menutupi hidung. Ada darah di sana.

"Kak Alta! Kakak baik-baik aja?" Nasa berlari mendekati Alta dengan wajah khawatir. Ia segera berjongkok di samping Alta. "Eh, darah!" pekiknya.

Daniel yang mendengar teriakan Nasa sontak berlari mendekat. Ia melihat kondisi Alta sejenak sebelum kemudian membantu Alta berdiri dan berjalan menuju pinggir lapangan. Daniel langsung mendudukkan Alta di kursi di samping pemain cadangan yang lain.

Alta masih terdiam sambil mengusap mimisannya yang belum berhenti, bahkan sampai menetes pada jersey putih yang ia kenakan.

"Minggir!"

Daniel yang berdiri di samping Alta harus merelakan tubuhnya terdorong paksa oleh dua orang anak yang tiba-tiba datang.

"Ta! Lo gapapa?" Wiku, salah satu dari anak yang datang berjongkok di depan Alta. Ia panik begitu melihat Alta yang mimisan. "Tisu! Mana tisu!" serunya.

Pelatih yang berada di sana langsung memberikan sekotak tisu pada Wiku.

"Usap pakai ini, Ta! Jangan pakai tangan lo!" ujar Wiku sambil memberikan beberapa lembar tisu pada Alta. Nada khawatirnya terdengar sangat jelas.

Alta menerima tisu yang diberikan Wiku dengan tangannya yang dipenuhi darah. Dengan sedikit kesusahan ia mengusap darah di hidungnya.

"Angkat sedikit kepala lo, biar gue yang bersihin!"

Raga, orang kedua yang ikut memeriksa Alta. Sekaligus yang tadi mendorong Daniel menjauh.

Dengan patuh Alta mengangkat kepalanya, membiarkan Raga membersihkan darah pada hidungnya yang mulai berhenti keluar. Di sisi lain ada Wiku yang membersihkan tangan Alta yang tadi memegang tisu.

"Bangsat, tuh anak pasti sengaja" umpat Wiku marah-marah. Tatapannya mengarah pada bangku lawan dimana anak yang menyikut Alta tadi berada tanpa menghentikan aktifitasnya membersihkan tangan Alta. "Nomor 11! Gue tandai muka lo!"

Daniel menatap itu dengan aneh. Dua orang itu terlalu perhatian kepada Alta. Oh, ia kenal salah satunya. Yang tadi mendorongnya. Ia mencoba mendekat karena ingin tau keadaan Alta.

"Ta, lo gapapa?" Daniel khawatir, tentu. Ia mendapat anggukan dari Alta sebagai jawaban yang cukup membuatnya bernafas lega. Tatapannya beralih pada Raga yang selesai membersihkan hidung Alta.

Priiitttttt....

Peluit wasit kembali berbunyi. Pertandingan harus dilanjutkan.

"Untuk sementara Alta digantikan pemain cadangan. Daniel, kamu segera masuk ke lapangan!" putus sang pelatih setelah melihat keadaan Alta yang sepertinya belum memungkinkan untuk langsung bertanding.

Alta sempat protes ingin lanjut bermain dan malah balik dicecar oleh Wiku dan Raga karena keadaannya. Terpaksa ia harus duduk manis di bangku cadangan sampai babak kedua berakhir.

Pertandingan kembali di mulai melanjutkan dua menit terakhir. Ketidakhadiran Alta untuk Tim Chryses nyatanya cukup berpengaruh dalam jalannya permainan. Tim Red Wings dengan mudah memasukkan bola dan mengikis selisih skor yang ada.

Saat halftime berlangsung, Alta terus meminta kepada sang pelatih untuk membiarkannya ikut di babak ketiga. Sang pelatih sebenarnya boleh-boleh saja membiarkan Alta ikut. Tapi dua pawang Alta melarang keras.

"Biarin mereka aja yang main, masa mereka mau bergantung sama lo. Lo mending nonton di sini aja..." —Wiku.

"Nurut kata-kata gue! Lo udah bukan anggota tim basket lagi. Buat apa peduli mereka kalah atau menang!" —Raga.

Kalau sudah begitu Alta bisa apa. Apalagi dua anak itu tak juga pergi dari sisinya.

...

Babak ketiga baru saja berakhir dengan skor 75-80. Tim Chryses harus berlapang dada dengan skor selisih lima angka dengan Tim Red Wings.

'Kalo gini terus bisa-bisa beneran kalah...' Alta membatin.

Ia menatap sang pelatih yang memberikan arahan kepada anggota yang bermain. Pria itu terlihat marah begitu berbicara dengan Daniel. Anggota paling tua dalam tim itu bermain cukup buruk saat babak ketiga, mungkin itu sebabnya sang pelatih marah.

Tatapan Alta beralih pada dua anak yang duduk di kedua sisinya. Mereka seolah tak peduli kalaupun sekolah mereka kalah di pertandingan ini. Raga tiba-tiba membalas tatapannya, membuat Alta semakin menajamkan mata.

'Nih anak dua kenapa ga pergi dari sini, sih' lagi Alta membatin.

Bunyi peluit kembali terdengar. Babak terakhir akan segera di mulai.

Begitu melihat anggota Tim Chryses akan kembali ke lapangan, Alta sontak bangkit. Tapi tangannya dicekal Wiku.

"Mau kemana?"

Alta segera melepaskan tangan Wiku yang memegang lengannya. "Gue ga bisa cuma diem aja disini lihat mereka kalah" ujarnya dan pergi mendekati pelatih.

Wiku sudah akan mengejar sebelum lengan Raga mencegahnya. Ia langsung menatap Raga melayangkan protes.

"Lo ap—"

"Biarin aja!"

"Tapi—"

"Ga ngerti bahasa manusia?"

Wiku kembali duduk dengan wajah masam. "Kalo ga di sekolah udah gue tonjok muka datar lo itu" gerutunya.

Alta yang sekali lagi memohon pada sang pelatih untuk mengizinkannya ikut di babak keempat. Dengan senang hati sang pelatih mengizinkan. Ia akhirnya kembali ke lapangan. Meski harus mendapatkan pandangan tak suka dari anggota cadangan yang menggantikannya tadi.

Marvin, anak itu juga selalu mencibir Alta dengan kata-kata pedas setiap kali ada kesempatan. Dan Alta mencoba tak peduli dengan semua itu. Fokusnya sekarang adalah untuk membawa timnya menjadi juara.

Sorak suara langsung ramai begitu babak keempat di mulai. Mereka meneriakkan nama-nama pemain favorite mereka dengan lantang untuk memberi semangat.

Tak salah jika Alta menjadi anak emas pelatih waktu masih ikut club basket. Kehadirannya di lapangan memang sangat berpengaruh. Baru tiga menit babak keempat di mulai, tim mereka berhasil membalik keadaan. Daniel yang sebelumnya bermain buruk kini kembali bermain sangat apik dikombinasikan dengan kemampuan Alta.

Hasil akhir dari pertandingan mendapatkan skor 92-83. Tim basket Chryses SMA San Juan kembali menjadi juara pertama.

Senyum Alta mengembang di lapangan. Ia senang karena bisa membuat timnya menang. Meski, dirinya bukan anggota tim basket ini lagi. Nasa menghambur memeluk Alta karena gembira. Daniel mengusak rambut Alta dengan senyum lebarnya.

Di sisi lain lapangan ada dua orang yang sedikit panas menatap pemandangan tersebut.

...

"Thanks, buat pertandingan hari ini"

Alta menutup lokernya setelah mengeluarkan seragam miliknya. Ia melirik sekilas Daniel yang baru saja berucap. Kini hanya tinggal mereka berdua di ruangan ganti. Pemain lainnya entah pergi kemana.

"Ya"

Singkat. Hanya itu respon Alta.

Ia berjalan untuk keluar dari ruangan, tak betah bila harus berlama-lama di ruangan yang sama dengan Daniel. Kejadian di gudang olahraga cukup membuatnya trauma.

"Tunggu, Ta!" seru Daniel memegang tangan Alta. Sontak Alta langsung menepisnya.

"Jangan berani-berani pegang gue!" pekik Alta tanpa sadar.

Daniel cukup terkejut dengan itu.

"Sorry, gue cuma mau minta maaf soal di gudang olahraga waktu itu"

"GA USAH BAHAS ITU LAGI! ANGGAP HARI ITU GA PERNAH ADA!" suara Alta meninggi.

Daniel melangkah mendekati Alta. "Alta, gue tau gue salah waktu itu. Gue minta maaf, okay?"

Ditatapnya wajah yang terlihat gusar itu. Ia semakin mendekat hingga membuat tubuh Alta tersudut pada tembok. Mata sendu Daniel berubah serius.

"Sesusah itu lo buat nerima gue, Ta? Kenapa? Karena lo udah ada Raga, iya? Lo mau rebut orang yang bukan milik lo?"

Tubuh Alta mulai bergetar mendengar itu. "A-apa? Gue ga ada ngerebut milik orang. GUE MASIH LURUS! GUE GA ADA HUBUNGAN APA-APA SAMA RAGA!"

"TAPI GARA-GARA LO RAGA PUTUSIN OLIVIA, TA! ADIK GUE NANGIS BERHARI-HARI DI RUMAH. GA MAU SEKOLAH, GA MAU MAKAN. SEMUA GARA-GARA LO, ALTA! SI RAGA BRENGSEK ITU LEBIH MILIH BELOK SAMA LO!"

Brakk!

BUAGH!

Tubuh Daniel langsung tersungkur saat tiba-tiba Raga masuk ke ruang ganti dan melayangkan pukulan di wajahnya. Belum puas dengan itu, Raga menarik tubuh Daniel yang masih syok dan kembali memukulinya bertubi-tubi.

Tak peduli meskipun Daniel merupakan seniornya di sekolah. Raga tetap memukuli Daniel dengan ekspresi datar, tanpa memberi Daniel untuk kesempatan membalas.

Alta yang baru bisa menguasai tubuhnya langsung menarik tubuh Raga dari Daniel.

"Udah cukup!" lirihnya saat memegangi Raga. Matanya menatap iba Daniel yang sudah babak belur di lantai.

Raga dengan santai mengusap bekas darah Daniel yang menempel pada tangannya. Tatapan matanya masih tetap datar tapi menusuk. Ia beralih pada Alta.

"Ayo pergi!" ujarnya sambil menarik Alta keluar dari ruang ganti.

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

"Alta ayo tuker tempat!"
ლ(´ ❥ 'ლ)

Kamu atas aku bawah. Eh—
Hehe~

Pawangnya Alta serem ah, ga jadi tuker tempat. Mode senggol bacok, wkwk...

Nanti malem mau UP? Kalo aku ga sibuk dan ga janji juga sih ಡ ͜ ʖ ಡ
_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro