40 | Bitter Than Sweet

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

"Joan! Jangan main jauh-jauh!"

"Ya, Mama!"

"Joan, ayo ikut kakak main!"

"Kakak mau main kemana?"

"Joan!"

"JOAN!"

...

Alta membuka matanya dengan deru nafas cepat. Keringat dingin mengalir membasahi leher dan juga tubuhnya. Rasa berdenyut hebat langsung menyerang kepalanya. Mata yang baru terbuka kembali menutup dengan sebuah kernyitan menahan sakit. Mimpi apa yang barusan ia alami?

"Oh! Kamu udah sadar? Ada yang sakit? Apa kepala kamu sakit?"

Dengan perlahan Alta kembali membuka matanya saat rasa sakitnya sedikit berkurang. Ia menatap sosok laki-laki yang duduk di sampingnya. Alta tak tau siapa itu.

"Wiku! Alta udah sadar!" laki-laki itu, Elvan. Berteriak memanggil Wiku.

Suara derap langkah terdengar setelah itu. Pintu kamar terbuka dengan kasar menampilkan Wiku dengan wajah terkejut. Segera langkah Wiku mendekati ranjang dimana Alta berbaring.

"Alta... lo bisa lihat gue? Lo ingat gue siapa 'kan?" tanya Wiku. Satu tangannya melambai di depan wajah Alta.

"Mi...num" Alta berucap dengan suara serak.

Wiku yang mendengarnya langsung bergegas mengambil segelas air ke dapur dan kembali dengan cepat. Ia dibantu Elvan menyangga tubuh Alta untuk minum. Setelah Alta merasa cukup, Wiku menaruh gelas air tersebut ke atas meja.

"Ada yang sakit, Ta?" tanya Wiku pada Alta yang saat ini bersandar di tubuhnya. Alta masih terlihat lemas.

"Kepala gue... agak pusing" jawab Alta dengan suara pelan. Ia menyamankan tubuhnya yang bersandar pada Wiku. Rasanya hangat. Wiku yang menyadari itu hampir tak bisa menahan senyumnya karena Alta tak menolak ia peluk.

"Wajar kalau pusing. Kamu baru aja bangun setelah dua hari ini ga sadarkan diri. Tapi tubuh kamu cukup kuat setelah kehilangan darah segitu banyaknya. Kalau itu orang lain mungkin udah mati"

Mata sayu Alta bergulir menatap orang yang baru saja berucap. Raut bingung ia tunjukkan pada Elvan.

"Namaku Elvan. Dokter yang merawat kamu dua hari ini" ucap Elvan memperkenalkan diri.

Alta hanya mengedipkan matanya beberapa kali. Masih belum ada tenaga untuk sekadar berbicara atau bergerak. Elvan memaklumi hal itu. Ia beralih menatap Wiku yang seperti tak ingin melepas Alta sedikitpun.

"Apa masih panas?" tanyanya.

"Apa? Oh..." Wiku tersadar. Ia menyentuh kening Alta yang sudah tidak terlilit perban. Perban hanya menutupi luka bekas jahitannya saja sekarang. "Masih sedikit"

Elvan mengangguk. "Pastikan nanti Alta makan, terus minum obat ini tiga kali sehari. Aku akan pergi sekarang karena masih ada urusan" ujar Elvan dan menaruh beberapa tablet obat di atas meja.

"Tapi nanti siang Kak Elvan kesini lagi 'kan?" tanya Wiku.

"Iya. Kalau gitu sampai nanti" pamit Elvan dan keluar dari kamar Wiku.

Kini hanya tinggal Wiku berdua dengan Alta di kamarnya. Alta masih diam dipelukan Wiku. Anak itu tak bergerak sedikitpun sampai Wiku mengira Alta kembali tertidur. Tak ingin mengganggu Wiku ikut diam dan mengelus punggung Alta di dekapannya.

"Wi!"

"Eh, gue kira lo tidur. Kenapa, Ta?" kejut Wiku begitu suara Alta memanggilnya.

"Gue.. kenapa gue bisa di sini?" tanya Alta. Yang terakhir bisa ia ingat adalah saat Raga membawanya kabur dari orang-orang yang menculiknya.

"Gue yang bawa lo kesini..." ucap Wiku. Ia menatap pucuk kepala Alta di bawahnya. "...sama Raga juga"

Alta menarik tubuhnya dari Wiku untuk duduk sendiri. Ia memegangi kepalanya saat merasakan bagian itu sedikit berdenyut. Meski begitu masih coba ia tahan.

"Jangan bangun dulu kalo emang masih sakit" khawatir Wiku sambil memegang kembali tubuh Alta.

"Ngga, gue ga apa-apa" ucap Alta.

Alta masih terlihat linglung. Jelas saja dua hari tak sadarkan diri. Tubuhnya juga terasa lemas. Tak makan tak minum, hanya mengandalkan infus. Alta terus memperhatikan kedua tangannya di atas selimut. Tangan yang menggenggamnya dalam mimpinya tadi terasa nyata.

...Joan...

Nama itu yang teringat jelas dari mimpinya. Tapi siapa Joan? Alta tak pernah mengenal seseorang dengan nama seperti itu.

"Alta" panggil Wiku karena Alta yang terus diam sejak tadi.

Dengan tampang polosnya Alta mengangkat wajah. Menatap Wiku seolah bertanya kenapa. Dan menatap wajah itu benar-benar membuat Wiku ingin menggigit dua pipi milik Alta saking gemasnya.

'Oh, ayo Wiku. Jangan khilaf! Lo bukan setan kaya Raga' mati-matian Wiku mensugesti diri untuk tidak melakukan hal yang tidak-tidak kepada Alta. Tapi sungguh, wajah itu membuatnya ingin memakan Alta detik ini juga.

"Kenapa?" tanya Alta saat Wiku hanya diam menatapnya.

Wiku tersadar dari lamunannya. Ia sedikit mengingat apa yang mau ia katakan tadi. "Ah, iya. Mau makan sekarang? Biar bisa minum obatnya"

Jujur, Alta memang merasa lapar. Tanpa pikir panjang ia mengangguk. Hal itu membuat Wiku tersenyum. Alta yang sakit sangat penurut. Tapi bukan berarti Wiku ingin Alta terus sakit.

"Kalo gitu lo tunggu sini, gue mau bikin bubur. Ga akan lama" ucap Wiku. Ia beranjak dari ranjang dan melesat ke dapur untuk membuatkan Alta bubur.

Sampai lima belas menit berlalu, Wiku belum kembali. Alta beranjak dari ranjang yang ia tempati karena bosan. Bertumpu pada meja sebagai penopang tubuhnya berdiri. Ia mencari apapun di sekitar yang bisa dijadikan alas kaki. Dan Alta menemukan sandal bulu warna kuning dengan gambar wajah Pikachu di samping meja.

Bibir Alta entah kenapa terangkat melihat sandal tersebut. Ia memakainya dan berjalan keluar dengan pelan.

Alta melangkah menuju dapur dimana terdengar suara gaduh yang kemungkinan besar adalah karena ulah Wiku. Sampai di sana, Alta bisa melihat Wiku yang tengah menuangkan bubur ke dalam mangkuk. Keadaan dapur jangan ditanya, sudah jelas. Berantakan.

Wiku yang sadar kehadiran Alta buru-buru mendekat, meninggalkan panci buburnya yang masih terbuka.

"Kenapa malah kesini? Kan udah gue bilang tunggu aja di kamar" ucap Wiku sambil membantu Alta duduk di kursi meja makan. Tatapan Alta tak lepas dari dapur yang berantakan karena ulah Wiku.

"Gue bosen di kamar" timpal Alta.

"Kalo gitu mau makan di sini?" tanya Wiku. Alta pun mengangguk.

Setelah itu Wiku segera mengambil mangkuk bubur yang sudah ia siapkan. Tak lupa mengambil sendok, kemudian membawanya kehadapan Alta. Uap panas masih mengepul dari bubur tersebut. Alta menatapi bubur itu sejenak.

"Meskipun keahlian memasak gue di bawah rata-rata, tapi gue percaya diri soal rasa bubur bikinan gue. Jadi, lo tenang aja. Pasti enak" Wiku menunjukkan kedua jempolnya dan menunjukkan senyumnya.

Meski ragu dengan bentuk bubur yang dibuat Wiku, Alta tetap mengangkat sendoknya. Ini adalah hasil jerih payah Wiku yang tak pernah ke dapur, Alta harus menghargainya. Ia memasukkan satu sendok bubur ke dalam mulut setelah agak dingin.

"Gimana?" tanya Wiku penasaran.

"Lumayan" komentar Alta.

Itu membuat Wiku tersenyum semakin lebar. Usahanya tak sia-sia. Setidaknya buburnya layak untuk dimakan. Sebuah kemajuan bagi Wiku yang tak pernah menyentuh dapur. Ah, ia merasa bangga dengan dirinya sendiri sekarang.

"Lo abisin! Gue ambilin obatnya" pinta Wiku. Tangannya mengusak rambut Alta dengan lembut sebelum berjalan ke kamarnya untuk mengambil obat yang akan diminum Alta.

...

Pukul 4 sore.

Raga baru bisa pulang dari sekolah. Salahkan club Taekwondo yang tiba-tiba ada acara sparing. Sebenarnya bukan tiba-tiba, sudah diinformasikan oleh pelatihnya di grup chat waktu itu. Hanya saja Raga yang terlalu malas membukanya.

Begitu selesai sparing, Raga langsung menuju rumah Wiku secepatnya. Bahkan tanpa mengganti dobok Taekwondo miliknya terlebih dahulu. Sebuah pesan dari Elvan yang mengatakan kalau Alta sudah sadar, itu alasan Raga meninggalkan sekolah secepatnya.

Dua hari ini Raga dan Wiku sepakat bergantian menjaga Alta di rumah Wiku. Kemarin Raga yang menjaga Alta dan hari ini giliran Wiku. Dan kenapa Alta harus sadar disaat Wiku yang ada di rumah.

Sejak dijalan tadi Raga terus mengumpati Wiku yang bisa-bisanya tidak memberitahunya tentang hal ini. Alta sudah sadar dari pagi dan Raga baru mengetahuinya dari Elvan jam 3 sore tadi.

Sampai di rumah Wiku, Raga tak sungkan langsung masuk ke dalam rumah tanpa ada ketok pintu terlebih dulu. Ia tak peduli dengan adat kesopanan masuk rumah orang. Langkahnya tertuju pada kamar Wiku. Ia membuka pintu dengan kasar, menjelajahi seisi kamar untuk mencari Alta.

"Alta!"

Tak ada Alta di dalam kamar. Raga berganti mencari di tempat lain. Langkahnya tertuju ke belakang rumah Wiku. Di sana, seseorang dengan kaos oversize merah dan celana pendek memunggunginya. Tanpa pikir panjang Raga mendekatinya.

Ditariknya lengan sosok tersebut hingga menghadapnya dan Raga langsung memeluknya. Alta yang masih belum bisa mencerna keadaan hanya terdiam saat tubuhnya tiba-tiba dipeluk. Deru nafas memburu di atas kepalanya bisa Alta dengar dengan jelas. Tangan besar yang dingin menyentuh rambutnya.

"Lo, oke?" suara berat Raga bertanya. Alta masih tetap diam.

"Alta! Air hangatnya udah siap. Lo bisa basuh bad-Eh! Eh! Apa-apaan nih!" Wiku yang baru datang berniat memanggil Alta dikejutkan dengan adegan pelukan yang dilakukan Raga dan Alta.

Tangan besar Wiku langsung bergerak meraih belakang dobok Raga untuk melepaskan anak itu dari Alta.

"Lo dateng-dateng udah kek setan ga ada suaranya, tiba-tiba main peluk-peluk aja" marah Wiku. Ia menjauhkan Alta dari Raga.

Tatapan mata Raga mengarah pada Wiku dengan tajam. "Kenapa ga bilang kalo Alta udah sadar?"

"Emang lo perlu tau? Lo siapanya Alta sampai harus tau? Apa? Mau marah?" Wiku berujar dengan nada sewot. Benar-benar memancing kemarahan Raga.

Raga menahan diri untuk tidak mengeluarkan bal-chagi andalannya untuk menendang Wiku. Atensinya kembali menatap Alta. Anak itu tengah menatapnya dengan alis menyatu. Alta kemudian berjalan untuk pergi dari sana. Tapi Raga menahan tangannya.

"Lepasin!" Alta menggeram.

"Ta, lo kenapa? Lo marah?" tanya Raga.

"Ya jelas Alta marah. Keluarga lo kenapa pakai acara nyulik Alta segala? Siapa yang ga marah? Gue mau bunuh lo sekarang masih gue tahan, ya" celetuk Wiku sambil menarik tangan Raga yang mencengkeram lengan Alta.

Lirikan tajam yang Raga berikan tak membuat Wiku takut sedikitpun. Ia tetap mencengkeram balik tangan Raga dan membiarkan Alta pergi dari sana. Wiku menahan tubuh Raga yang ingin menyusul Alta.

"Jangan bikin gue kesel dan lepasin tangan gue!" ujar Raga.

"Nggak! Kalo lo mau kejar Alta ga gue lepasin. Sekarang lebih baik lo ganti pakaian lo dulu. Udah keringetan dimana-mana berani-beraninya tadi main peluk Alta aja" cibir Wiku.

Raga berdecih. Ia melepas paksa tangannya dari genggaman Wiku dan beranjak pergi. Bukan menyusul Alta. Tapi untuk mengganti dobok-nya yang penuh keringat.

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Who is Joan? Hmm, clue lain.

Lihat segemoy apa interaksi Wiku sama Alta. Btw, Raga udah menunjukkan gejala kewarasannya ಡ ͜ ʖ ಡ

Anteng" dulu beberapa chapter ini, belum aja Papa Hendery balik

Oh, kalian mau sehari ku UP berapa kali? Kalo sering" juga ga enak, jadi 1 kali aja ya (≧▽≦)

Atau ga, balik Senin Kamis

...

Ket:
Bal-chagi : tendangan dalam taekwondo
Dobok : seragam latihan taekwondo

_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro