53 | Trauma Yang Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Sosok pria tinggi berkulit cokelat eksotis baru saja turun dari mobil mewah berjenis Mercedes-Benz C300 AMG warna merah. Gaya pakaian formal dengan tatanan rambut undercut yang terlihat begitu menawan. Sosok itu kini berjalan memasuki area rumah sakit dengan langkah tegapnya. Mengundang belasan pasang mata menatap kagum pada wajah bak Dewa Olimpus.

Mata tajam dengan iris biru itu menjelajah setiap sudut yang ia lewati. Dan suara sepatu pantofelnya berhenti tepat di depan sebuah ruang rawat. Tangan besarnya membuka pintu dengan pelan dan berjalan masuk.

"Oh! Kakak udah datang..." sambut Emanuel menoleh kearah pria berkulit cokelat tersebut.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" suara berat itu bertanya. Pria itu langsung mendekati ranjang dan menatap sosok yang masih terlelap dengan pandangan berkerut.

Netranya langsung menelisik dari ujung rambut hingga kaki yang terbungkus selimut. Spontan tangannya menyingkap selimut yang menutupi tubuh di atas ranjang tersebut dan membuka pakaian rumah sakit dengan perlahan. Bola matanya terkejut saat mendapati banyak luka di tubuh itu. Bekas gigitan dan lebam yang sangat kentara. Seketika aura disekelilingnya berubah mencekam.

Emanuel bahkan bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. "Em, itu sebenarnya..." tubuh Emanuel berjingkat saat bola mata biru itu menatapnya penuh intimidasi.

"Siapa dan karena apa?" pria itu menatap Emanuel meminta penjelasan dengan rahang mengeras.

"Wiku bilang, anak-anak anggota club basket. Mereka dari awal sepertinya memang ga suka sama Alta... ah, maksudku Joan" jelas Emanuel.

Pria itu menghela nafasnya. Pandangannya kembali pada Alta, dengan penuh kasih sayang mengusap rambut hitam yang terasa sangat lembut tersebut. "Akan kupastikan semua yang pernah menyakiti Joan mendapat balasan yang lebih menyakitkan"

Mendengar suara dengan nada marah itu benar-benar membuat Emanuel berpikir berulang kali untuk mengganggu sang kakak. "Apa ga sebaiknya kita bawa Joan pulang sekarang? Jauh lebih baik Joan dirawat di rumah dan meninggalkan hidupnya yang sekarang"

"Aku juga ingin seperti itu. Tapi keadaan organisasi sekarang masih belum bisa diperkirakan. Takutnya dengan kepulangan Joan membuatnya lebih buruk dengan bahaya yang lebih besar"

"Oh, benar juga..." ujar Emanuel lesuh.

Kedua lelaki berbeda usia itu sekarang hanya diam. Mata mereka sama-sama mengarah pada sosok Alta di atas ranjang dengan pikiran masing-masing. Anak itu belum membuka matanya sejak kejadian itu.

Jujur, Emanuel sedikit takut kalau-kalau Alta tak membuka mata lagi. Apalagi saat ingat kata dokter tentang cedera kepala yang dialami Alta. Tapi ia tepis jauh-jauh pikiran itu. Mengingat tubuh Alta itu berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Luka seperti itu tak mungkin membunuhnya. Ya, Alta itu istimewa.

"Aku harus kembali. Masih ada yang harus diurus. Terus pantau keadaan Joan dan kabari aku segera jika ada apa-apa"

Lamunan Emanuel buyar. Ia kembali menatap sang kakak. "Ah, padahal kakak baru bentar di sini. Mau gimana lagi, hati-hati di jalan"

Si pria berkulit cokelat mengangguk. Matanya menatap Emanuel dengan intens sejenak. Dan Emanuel yang ditatap mengerutkan keningnya.

"Ada apa?" tanya Emanuel.

"Terlalu lama di sini membuat logat bicaramu jadi berubah. Kalau ini di rumah sudah pasti kamu ditegur dan dimarahi karena dianggap kurang sopan" si pria tersenyum miring.

"Ya... 'kan harus menyesuaikan tempat. Kalau pakai bahasa yang terlalu formal akan aneh didengar di sini" timpal Emanuel.

"Hm, ya terserah. Aku pergi sekarang"

Emanuel mengangguk. Begitu sang kakak pergi, sekarang dirinya kembali hanya berdua di sini bersama Alta.

...

Tiga hari berlalu sejak kejadian gudang penginapan. Wiku dan Raga sudah masuk sekolah seperti biasanya, tapi tanpa Alta. Dan mereka akan selalu pulang ke rumah sakit untuk bermalam di sana. Selama tiga hari itu pula mereka tak pulang ke rumah. Untuk menjaga Alta.

Dan hari ini, keduanya mendapat kabar dari Emanuel kalau Alta sudah sadar. Dua anak itu langsung tancap gas ke rumah sakit sepulang dari sekolah begitu mendengar kabar tersebut. Kebut-kebutan di jalan dengan motor masing-masing untuk sampai lebih cepat. Dengan nafas memburu, berlari dari parkiran rumah sakit dan beberapa kali hampir menabrak perawat dan orang lain. Mereka berdua menuju kamar rawat Alta.

Ada rasa senang dan takut yang Wiku rasakan. Senang karena akhirnya Alta membuka mata setelah berhari-hari membuatnya khawatir. Dan rasa takut, ia takut jika Alta mengalami trauma berat karena kejadian itu.

Saat keduanya sampai, mereka mendapati Emanuel yang berdiri gusar di depan ruang rawat Alta.

"Kak Manu?" panggil Wiku. Emanuel lantas menoleh.

"Oh, kalian..."

Emanuel yang melihat Raga akan membuka pintu ruang rawat Alta langsung mencegahnya. Tentunya itu membuat dua anak remaja di depannya menatap bingung.

"Kalian jangan masuk untuk sementara ini" cegat Emanuel.

Alis Wiku berkerut. "Emang kenapa?"

"Alta ga mau ada orang lain di dalam. Suasana hatinya sedang buruk. Jadi lebih baik kalian jangan ganggu dulu, takutnya..."

Raga yang tak memperdulikan ucapan Emanuel lebih memilih langsung masuk. Membuat Emanuel langsung memekik mengikuti masuk.

Atensi Raga langsung menatap sosok Alta yang duduk sambil memeluk lutut dan menelusupkan wajahnya. Ia berjalan semakin mendekat. Begitu sampai di samping ranjang Alta, Raga mengangkat tangannya untuk menyentuh pucuk kepala Alta.

"Alta..."

Tubuh itu menegang mendengar panggilan dari Raga. Kepala Alta mulai terdongak, menatap Raga dengan wajah ketakutan yang sangat kentara. Mata sembab dengan bekas air mata mulai meleleh lagi.

"GUE BILANG JANGAN ADA YANG MASUK! KELUAR DARI SINI!! PERGI?!"

Alta berteriak histeris. Mendorong dan memukuli tubuh Raga untuk menjauh darinya. Tentu saja hal itu membuat Raga terkejut. Tapi bukannya menuruti perkataan Alta, Raga kukuh berdiri di samping ranjang.

"Alta! Lo kenapa, hah?" Raga memegangi kedua tangan Alta yang terus memukulinya. Mencengkeram pergelangan tersebut dengan kuat.

"PERGI DARI SINI!? JANGAN SENTUH GUE! LEPASIN TANGAN GUE?!" Alta menarik tangannya dari Raga dengan cepat, membuat infusnya yang masih tertancap berdarah.

"KELUAR!"

"JANGAN GANGGU GUE LAGI?!"

Beberapa barang di meja nakas Alta lemparkan kearah Raga. Wiku yang baru masuk dan melihat Alta seperti itu langsung syok. Yang ia takutkan sepertinya benar-benar terjadi.

"Ta! Ini gue Wiku. Lo tenang, oke? Ga ada yang mau nyakitin lo disini"

"GAK! PERGI KALIAN SEMUA!?"

Tak ada yang bisa Wiku dan Raga lakukan. Setiap mereka mendekat, Alta semakin histeris dan melemparkan barang-barang di sekitarnya. Mata yang terpancar penuh ketakutan.

Hingga pada akhirnya, sosok Emanuel datang dengan dokter dan beberapa perawat yang baru dia panggil. Dokter dan perawat tersebut langsung menenangkan Alta dengan menyuntikkan obat penenang dan membenahi infus yang sudah berdarah-darah menetes ke ranjang.

Emanuel segera menarik keluar dua remaja yang masih mematung. Menutup pintu ruang rawat dengan rapat. Ia menatap dua anak di depannya. Semua ini tak akan terjadi kalau saja mereka tak masuk. Terutama Raga yang memaksa masuk.

"Saya udah bilang jangan masuk untuk sementara waktu. Biarkan Alta sendiri. Karena kejadian waktu itu membuat psikis Alta terguncang"

Ucapan dari Emanuel memperjelas keadaan Alta.

...

Trauma Alta kembali. Hal yang sangat Wiku takutkan. Dan tentu itu bukan kabar baik. Ia sudah pernah melihat Alta seperti itu dulu, waktu SMP. Tatapan penuh ketakutan menatap orang lain.

Alta kini sedang tertidur karena obat tidur yang sengaja diberikan. Wiku terus memperhatikan wajah tidur itu, dari samping ranjang. Bahkan saat tidur pun Alta terlihat tak tenang. Kernyitan halus yang selalu nampak dan nafas yang terdengar tak teratur. Ia merasa sedih melihatnya.

"Seharusnya lo tadi ga main masuk aja" ujar Wiku, jelas di tujukan pada Raga yang duduk di seberang ranjang.

"Lo nyalahin gue? Gue juga ga tau kalo Alta akan sehisteris itu" timpal Raga.

"Waktu Kak Manu bilang jangan masuk dulu, harusnya lo nurut. Alta itu punya trauma, dan sekarang traumanya balik lagi karena kejadian kemarin" Wiku menghela nafas, menatap sendu pada Alta. "Sebelum Alta sadar besok, kita harus pergi dari sini"

Raga tak menjawab perkataan Wiku. Ia ikut menatap wajah Alta. Wajah yang masih banyak bekas luka dan memar itu. Amarahnya kembali terkumpul setiap kali menatap luka di wajah Alta yang dibuat bajingan-bajingan club basket.

Ia tak tau sejak kapan pandangannya pada Alta berubah. Dari yang dulunya hanya ingin membalas dendam atas kematian sang kakak, dan sekarang berubah menjadi rasa ingin memiliki. Apa itu yang dinamakan... karma? Raga tak pernah percaya itu sebelumnya. Ia bertindak sesuai kehendaknya dan tak pernah peduli akan orang-orang di sekitarnya.

Tapi setiap melihat Alta terluka seperti ini, membuatnya takut. Takut mata itu tak akan terbuka lagi. Terlalu banyak orang yang bisa menyakiti Alta. Dari mulai orang tua angkat Alta, anggota club basket, dan keluarganya yang masih menaruh dendam pada keluarga kandung Alta.

'Gue ga bisa lihat lo kaya gini, Ta. Lo pernah bilang gue akan dapat karmanya karena bikin lo menderita. Dan ya, gue ngerasain itu sekarang...'

Sosok Alta menjadi berharga untuk psikopat gila seperti Raga. Anak yang bahkan diragukan memiliki hati. Pada akhirnya menaruh peduli pada seseorang yang selama ini dibuat menderita.

...

Wiku yang bangun pagi-pagi sekali. Berniat untuk pergi dari ruang rawat Alta agar anak itu tak histeris lagi ketika bangun. Tapi sekarang malah dirinya yang dibuat panik karena Alta yang menghilang dari ranjangnya.

Awalnya mengira Alta mungkin ke kamar mandi. Tapi begitu dicek, tak ada siapapun di sana. Wiku dan Raga sama-sama mencari keberadaan Alta di sekitar ruang rawat. Keduanya kembali ke ruang rawat setelah setengah jam berkeliling rumah sakit dan tak menemukan Alta. Wiku berinisiiatif menghubungi Emanuel. Yang mungkin saja kembali memindahkan Alta dengan tanpa sepengetahuan mereka. Tapi jawaban dari dokter UKS itu malah membuat mereka semakin gusar.

"Kak Manu pindahin Alta lagi?" sergah Wiku begitu penggilannya diangkat Emanuel.

'Pindahin? Maksud kamu?'

"Alta sekarang ga ada di kamarnya. Alta hilang"

'Alta hilang? Astaga, apa lagi sekarang. Kalian semalaman bersama dengan Alta 'kan? Kenapa dia bisa hilang?'

Mereka juga tidak tau kenapa Alta bisa hilang. Semalam anak itu masih tertidur karena efek obat. Tiba-tiba saja pagi ini menghilang.

'Udah coba dicari di sekeliling rumah sakit?'

"Udah. Tapi ga ketemu"

'Hah, oke. Saya akan kesana sekarang'

Panggilan itu diakhiri oleh Emanuel. Wiku mendesah frustasi sambil menaruh ponselnya. Ia takut Alta kembali diculik. Tatapannya beralih pada Raga yang berjongkok di depan meja nakas dan beralih mengobrak-abrik ranjang rumah sakit, seperti mencari sesuatu.

"Lo cari apa?" tanyanya.

"Jaket gue ga ada" timpal Raga.

Wiku berdecak. "Bisa-bisanya Alta hilang lo malah cemasin jaket lo"

"Ponsel Alta juga ga ada"

"Apa?" kejut Wiku. "Jangan bilang Alta sendiri yang pergi dari sini"

Raga melirik kearah Wiku. "Coba lo telepon"

Wiku menurut. Ia langsung men-dial nomor Alta dan mengaktifkan mode loudspeaker. Nada sambung terhubung, dan panggilan itu diterima oleh Alta. Wiku sontak menegakkan tubuhnya yang duduk di sofa. Raga langsung mendekat.

"Halo, Alta! Ta, lo dimana astaga?"

'Jangan cari gue. Gue baik-baik aja'

Dan panggilan dimatikan begitu saja oleh Alta. Saat Wiku mencoba menelepon lagi, nomor Alta mendadak tidak aktif. Apa maksudnya dengan 'Jangan cari gue. Gue baik-baik aja', padahal disini mereka berdua khawatir bukan main.

"Gue tau dimana Alta" ucap Raga tiba-tiba sambil menunjukkan ponselnya pada Wiku.

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Yang dateng jenguk Alta siapa ya, hm
Btw,

Alta ilang yuhu~
Cepet isi ulang mental buat chapter depan

...

"Semua yang pernah nyakitin Alta akan dapat karmanya!"

_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro