62 | Malam Yang Panjang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Emanuel berlari dengan tergesah memasuki rumah sakit. Pikirannya gusar. Wiku mendadak tak mengangkat panggilannya. Padahal baru lima belas menit lalu anak itu bisa dihubungi. Ia takut ada apa-apa terjadi.

Saat sampai di depan ruang rawat Alta, Emanuel langsung membuka pintunya dengan kasar. Langkahnya melebar dengan cepat memasuki ruangan tersebut.

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sosok Wiku yang berada di lantai tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Netranya langsung bergulir kearah ranjang. Ranjang itu kosong.

"Joan kemana... ga mungkin pergi sendiri 'kan. Ah, astaga! Apa aku terlambat" panik Emanuel. Ia menjambak rambutnya sendiri karena frustasi.

Langkahnya mendekati Wiku. "Wiku! Hey, bangun Wi!" panggilnya dengan menepuk pipi Wiku berulang kali.

Anak tinggi itu lantas mengernyit. Dan mata Wiku terbuka perlahan. Butuh beberapa detik untuk mengumpulkan kesadaran dan mengingat apa yang terjadi. Tubuhnya terasa sakit.

"Wi, apa yang terjadi? Alta mana?"

Wiku mencoba mencerna pertanyaan dari Emanuel di depannya. Tubuhnya langsung bangkit begitu mengingat semuanya.

"Alta! Alta dibawa sama Om Hendery" panik Wiku.

"Apa? Kamu yakin itu Hendery?" tanya Emanuel memastikan. Dan anggukan kepala dari Wiku sontak membuatnya menggeram keras. Ia lantas berdiri dengan cepat dan berlari keluar.

"Eh, Kak Manu mau kemana?!" teriak Wiku.

Emanuel sudah keburu menghilang dari pandangannya. Wiku pun tak punya pilihan lain selain menyusul Emanuel.

...

Raga menjadi tahanan rumah sekarang.

Niatnya untuk mencegah sang Papa dan kakaknya kembali menangkap Alta, malah dirinya yang disekap. Di kurung di kamar lamanya dengan keadaan tangan dan kaki diikat.

Entah sudah berapa jam berlalu sekarang. Keadaan lampu kamar dimatikan dan hampir tak ada cahaya masuk membuat kamarnya gelap gulita. Raga tak bisa melihat apapun selain kegelapan.

"TOLONG SIAPAPUN BUKAIN PINTUNYA?!"

Kesekian kalinya teriakan Raga menggema sampai ternggorokannya sakit berteriak. Dan hasilnya tetap sama. Tak ada yang menyahutinya.

"Ah, sialan!" umpatnya.

Raga mencoba berguling di lantai. Meraba-raba sekitarnya dengan tangan yag terikat ke belakang. Sungguh, itu sangat sulit. Hingga tangannya mencapai sebuah meja. Ia menggunakan itu sebagai tumpuan untuk berdiri. Kembali meraba permukaan meja guna menemukan sesuatu yang bisa memotong ikatannya.

"Ayo, please! Masa ngga ada apapun..."

Pyaarr...

Ia terpenjat dan refleks menatap bawah. Tangannya sepertinya tak sengaja menjatuhkan sesuatu dari meja. Raga lantas berjongkok meraba lantai. Beberapa pecahan kaca berserakan. Itu bagus! Benda itu bisa ia manfaatkan.

Tangannya mengambil satu pecahan kaca yang lumayan besar, Kemudian berusaha keras memotong tali di tangannya dengan pecahan kaca tersebut. Sangat susah. Tapi meski begitu Raga tetap tak putus asa.

"Cepetan putus bangsat!"

Patss!

Setelah berusaha keras sampai tangannya berdarah-darah, akhirnya tali yang mengikat pergelangannya putus. Raga segera melanjutkan memotong tali di kakinya. Begitu semua tali yang mengikatnya sudah terlepas, ia segera mencari saklar lampu.

Cahaya langsung mengusir kegelapan yang ada. Raga sedikit mengerjap menyesuaikan matanya lantas melirik jam dinding. Pukul 11 malam. Itu artinya sudah sekitar tiga jam ia terkurung di sini.

Dan, bagaimana keadaan Alta sekarang. Ia takut Papa dan kakaknya berhasil membawa Alta dan menyekapnya.

"Alta, tunggu gue..."

...

Mobil hitam milik Hendery membelah jalanan kota dengan kecepatan sedang. Jalanan malam ini sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan besar seperti truk yang masih lewat.

Fokus Hendery menatap ke depan. Sesekali menoleh kearah samping kemudi dimana Alta berada, masih belum sadar. Diusapnya rambut hitam itu secara perlahan, kemudian turun ke pipi tirus yang masih tertutup masker.

"Kamu kurusan, hm? Papa ga suka kalau kamu kurus begini. Papa akan merawat kamu..."

Hendery menarik tangannya dan kembali fokus ke depan.

"...kita pergi dari sini. Ke luar negeri dan hidup berdua di sana" monolog Hendery. Ia mempercepat laju mobilnya.

Di tengah perjalanan itu, mata Alta terbuka. Anak itu sadar. Dengan kernyitan halus di dahi, matanya mengerjap perlahan. Guncangan dari mobil yang melaju cukup cepat itu membuatnya refleks meringis. Tubuhnya terasa sakit semua. Terlebih lagi perut sebelah kanannya.

"Ukhh..."

Alta menggeram pelan, mencengkeram perutnya yang terasa sakit dan perih. Sesuatu yang basah keluar dari sana.

Itu darah.

Jahitannya kembali terbuka.

"Kamu sudah sadar? Kenapa? Ada yang sakit?" Hendery bertanya.

Mata tajam pria itu menelisik setiap jengkal tubuh Alta. Dan berhenti pada tangan Alta yang mencengkeram perut. Pakaian rumah sakit itu sudah bernoda darah sekarang. Dahi Hendery sontak berkerut. Dan kakinya refleks menginjak rem.

"Kenapa dengan perut kamu?"

Hendery memang tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Yang ia tau hanyalah keberadaan Alta di rumah sakit. Penyebab kenapa anak itu bisa masuk sana, ia tak tau apapun.

Tangannya menyingkirkan tangan Alta dari atas perut. Ia membuka pakaian rumah sakit itu dan terkejut saat menemukan perban menutupi area perut kanan Alta. Darah merembes sedikit demi sedikit dari sana.

Hendery berdecak, matanya beralih menatap kearah wajah Alta. Peluh sudah membasahi wajah pucat itu.

"It's okay. Kamu akan baik-baik saja. Papa akan bawa kamu ke rumah sakit setelah kita pergi dari sini"

Alta tak merespon apapun yang diucapkan Hendery. Bahkan untuk berpikir kenapa dirinya bisa ada bersama pria itu dan di mobil ini, dirinya tak sanggup. Tubuh dan kepalanya terlalu sakit.

"Ini! Tahan darahnya keluar dengan ini" pinta Hendery sambil mengambil jas dokter yang ia gunakan sebelumnya.

Ia meletakkan jas putih tersebut di perut Alta dan meletakkan tangan anak itu di atasnya untuk menahan. Hendery beralih membuka masker yang menutupi setengah wajah Alta agar anak itu bisa bernafas lebih mudah.

Tapi lagi-lagi dirinya dibuat terkejut saat mendapati darah keluar dari hidung Alta.

"Oke, tenang. Harus tenang" ucap Hendery lebih untuk dirinya sendiri.

Sebenarnya ia harus cepat-cepat membawa Alta pergi menuju bandara. Membawa anak itu ke luar negeri sebelum keluarga kandungnya mengambil Alta kembali.

Dirinya sudah tau sejak lama bahwa keluarga kandung Alta mengawasi mereka. Di rumah, di tempat kerjanya, di sekolah Alta. Dimanapun mereka berada. Bahkan saat insiden jembatan, salah satu dari mereka ada di sana. Ia mengenalinya.

Dengan tisu yang tersedia di mobilnya, Hendery mengusap darah mimisan Alta perlahan. Alta seolah sudah pasrah dengan apapun yang terjadi. Apapun yang akan dilakukan pria di sampingnya ini, ia tak peduli kalau memang takdirnya harus seperti ini.

Alta sudah pasrah akan hidupnya.

"Kamu akan baik-baik saja..."

Hendery terus mengulang kalimat itu sambil membersihkan mimisan Alta yang belum berhenti. Wajah yang biasanya terlihat dingin dan tak berperikemanusiaan itu, entah kenapa sekarang menampilkan ekspresi khawatir.

Aneh, pikir Alta saat menyadarinya. Orang-orang yang dulu sering menyakitinya kini berubah peduli. Apa itu benar-benar rasa khawatir karena peduli?

"Ke...napa..." ucap Alta nyaris tak terdengar.

Hendery mengerutkan alisnya. "Hm? Kamu ngomong sesuatu?"

Ia menghentikan kegiatannya mengusap hidung Alta. Menatap wajah anak itu yang kian memucat dengan mata sayu. Lagi bibir pucat itu terbuka dan bergumam. Hendery tak bisa mendengarnya karena suara klakson yang tiba-tiba.

TINNNN! TIIIINNNN!!

Suara itu semakin dekat dari arah belakang mobil. Kepala Hendery sontak menoleh manatap cahaya yang sangat menyilaukan dari belakang. Ia tak sempat melakukan apapun.

Itu terjadi sangat cepat.

BRAKKK!!!

Mobil yang ditumpangi Hendery dan Alta terpelanting, berguling-guling beberapa kali di jalan sepi tersebut setelah sebuah truk besar menabraknya dari belakang. Mobil itu hancur dibeberapa bagian dengan posisi terbalik.

Hendery yang masih sadar mencoba keluar dari mobil dengan keadaan kepala dan beberapa bagian tubuhnya yang berdarah. Tubuhnya hampir tak bisa bergerak karena terjepit.

Percuma.

Ia tak bisa keluar.

"Alta..." panggilnya pelan.

Keadaan Alta yang berada di sampingnya bahkan lebih parah. Anak itu kembali menutup matanya. Pakaian rumah sakitnya sudah berlumur warna merah darah. Sangat banyak. Bahkan hampir sekujur tubuh Alta mengeluarkan darah. Dan lagi, kepala anak itu kembali terluka parah. Darah segar terus mengalir dari sana.

Seseorang yang mengemudikan truk tadi keluar, berjalan mendekati mobil Hendery yang sudah hancur. Sosok tersebut kemudian melihat ke bagian dalam mobil sebelum tersenyum puas.

"Tuan Feliz, saya sudah melaksanakan tugasnya..."

Sosok itu bicara di telepon.

'Apa anak itu mati?'

Pria dengan pakaian hitam itu berjongkok. Tangannya memeriksa beberapa kali ke wajah Alta. Memastikan sesuatu.

"Ya, anak ini tidak mungkin bertahan dengan luka separah ini. Dia sekarat"

'Kau yakin? Kalau anak itu ternyata masih hidup, nyawamu sebagai taruhan'

"Saya yakin sekali. Oh, dan untuk pria satunya? Dia masih hidup. Apa harus saya bunuh?"

'Siapa? Hendery? Biarkan saja. Aku tidak ada urusan dengan orang itu. Yang terpenting adalah anak itu harus mati'

"Baik!"

'Sekarang pergi dari sana, sebelum keluarga kandung anak itu datang. Jangan sampai ketahuan oleh siapapun"

Sambungan telepon itu terputus. Pria berpakaian hitam itu lantas berdiri untuk pergi sesuai dengan perintah. Tapi baru beberapa langkah, pria itu kembali berbalik. Seringaiannya mengembang.

"Akan lebih baik kalau mereka mati terpanggang" ujarnya sambil mengeluarkan sebuah pemantik api dari saku celana. Pria itu menyalakan pemantik tersebut sambil tersenyum lebar, "Selamat tinggal..."

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Chapter depan END

✧◝(⁰▿⁰)◜✧

_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro