02 | Cute Ketos

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Davian Feliz Ruhaka, dia bukan jenius seperti kedua kakaknya. Akademiknya hancur. Tak ada yang bisa dibanggakan dari bungsu Keluarga Feliz ini. Apalagi dengan sifat pembangkang yang kian menjadi.

Ruha... semakin dicap buruk.

Itu semua tak lebih dari pengaruh keluarganya sendiri. Ruha yang penurut berubah sejak kematian Mama-nya dalam insiden kebakaran rumahnya beberapa tahun lalu. Kedua kakaknya sudah memiliki kehidupan sendiri. Ruha yang masih di bawah umur harus rela hidup dalam neraka Papa-nya yang menikah lagi.

Memiliki ibu tiri.

Satu hal yang tak pernah terbesit dalam pikiran Ruha kalau itu akan terjadi. Dan lebih mengesankan lagi bahwa wanita yang menjadi ibu tirinya itu masih berusia 27 tahun. Lebih muda tiga tahun dari kakak pertamanya.

Gila!

Memang segila itu Papa-nya. Lebih gila lagi bisa-bisanya wanita itu mau menikah dengan pria tua macam Papa-nya. Apalagi kalau bukan karena... harta.

...

"Kenapa pulang? Kehabiasan uang?"

Ucapan penuh nada sindiran itu Ruha lontarkan pada seorang wanita muda yang baru saja memasuki rumah. Gaya busana yang sangat terbuka hampir menampilkan payudara. Wanita itu berjalan gontai kearah Ruha yang duduk di sofa.

"Hei bocah! Ambilin minum!" perintahnya. Lantas merebahkan diri pada sofa yang sama dengan Ruha.

Wajah merah berantakan dengan aroma alkohol yang menyengat. Ruha yakin wanita di sampingnya itu habis mabuk-mabukan.

"Lo siapa nyuruh-nyuruh? Punya kaki punya tangan, ambil sendiri!" Ruha lantas berdiri pergi meninggalkan wanita gila tersebut. Tapi baru beberapa langkah, Ruha berhenti saat sesuatu menghantam kepalanya dengan kuat.

Duagh!

Refleks Ruha meringis dan memegangi kepala belakangnya. Sesuatu basah mengalir dari sana. Dan tak jauh dari kakinya ada sebuah high heels merah tergeletak.

"Bocah ngga tau sopan santun. Kalau di suruh Mama itu nurut! Mau ku adukan ke Papa kamu biar dihukum, hah?"

Jennifer, wanita berparas cantik itu berdiri dan mendekati Ruha dengan wajah marah. Satu tangannya menggenggam high heels nya yang lain. Langkah gontainya berdiri tepat di depan Ruha yang menatap tajam.

"Ambilin Mama minum!" perintah Jennifer lagi.

Ruha mengepalkan kedua tangannya dengan erat. "Nggak. Mau! Jalang kaya lo itu ngga pantes jadi Mama gue! Buat apa gue nurut!"

Buagh!

"Katakan lagi! Aku jalang? Hah?!"

Buagh!

Jennifer kembali memukul Ruha dengan heels miliknya. Membuat luka baru pada anak itu. Perkataan Ruha sudah menyulut emosinya.

"Ya! Lo itu jalang! Apa perlu gue kasih kaca biar sadar, hah?! Lo itu beban di sini!" Ruha berteriak. Matanya menatap nyalang pada Jennifer yang kembali mengangkat heels merah di tangannya.

"Dasar anak kurang ajar! Yang beban di sini itu kamu! Biang onar! Anak bodoh!"

Heels merah itu kembali akan menghantam wajah Ruha. Tapi dengan cepat Ruha menangkisnya kali ini. Ia memegang erat tangan Jennifer sehingga pergerakan wanita gila itu terhenti.

"Lepaskan!" geram Jennifer. Kedua mata mereka bertemu dengan penuh emosi.

Ruha masih tak mau melepas tangan Jennifer yang memegang heels. Cengkeramannya bahkan semakin erat.

"ANAK SIALAN! LEPASKAN! SEHARUSNYA KAMU IKUT MATI BERSAMA MAMA KANDUNG KAMU SAJA DULU!"

Rahang Ruha mengeras mendengar itu. Wanita murahan seperti Jennifer berani menyinggung Mama-nya. Itu membuat Ruha benar-benar marah.

"Lo berani-beraninya..." geram Ruha. Aura anak itu berubah mengerikkan.

"Apa? Mau ngapain kamu?"

Jennifer yang mendadak takut, berjalan mundur saat Ruha mendekat. Apalagi melihat wajah marah Ruha yang memerah padam. Tangan kanannya yang memegang heels bahkan sampai bergetar.

"Berhenti di sana! Kamu mau ngapain!" pekik Jennifer.

Ruha terus berjalan untuk memojokkan Jennifer. Hingga sampai tak ada tempat lagi untuk Jennifer mundur. Punggung wanita itu sudah menyentuh dinding. Jennifer lantas menutup mata saat melihat Ruha mengangkat telapak tangan.

"Dasar jalang sial—"

"RUHA! APA-APAAN KAMU?!"

Seketika tangan Ruha yang terayun berhenti. Ia refleks menoleh ke belakang. Tepat dimana Papa-nya berada. Feliz, pria itu berjalan penuh amarah mendekati Ruha yang memojokkan Jennifer. Di lain sisi, Jennifer merasa lega dengan kehadiran Feliz yang tepat waktu. Tubuh wanita itu merosot ke lantai.

"Apa yang mau kamu lakukan kepada Mama kamu, hah?! Kamu mau memukul Mama kamu?!"

Feliz menarik tubuh anak bungsunya menjauh dari Jennifer. Matanya menatap Jennifer sekilas yang terlihat ketakutan. Hal itu memicu amarahnya semakin besar.

"Dasar anak tidak berguna! Apa ini yang kamu lakukan setiap Papa tidak ada di rumah?"

PLAK!

Satu tamparan diterima Ruha. Tamparan kuat yang mampu membuat luka baru pada bibir anak remaja tersebut. Feliz bahkan tak mau repot-repot bertanya perihal luka lain pada wajah Ruha yang sebenarnya dibuat oleh Jennifer.

"Minta maaf pada Mama kamu!"

Ruha yang masih syok dengan tamparan tadi semakin dibuat terkejut. Ia menatap sang Papa tak percaya.

"Apa? Papa mau Ruha minta maaf sama dia?" tunjuknya pada Jennifer. "Ruha ngga akan minta maaf! Dia duluan yang cari gara-gara!" pekik Ruha.

Jennifer yang mendengar itu segera berdiri. "Ruha, Mama cuma minta kamu ambilin minum karena Mama capek baru pulang. Kalau kamu ngga mau ambilin ya udah, Mama ngga apa-apa. Kamu ngga harus marah sampai mau mukul Mama."

Omong kosong penjilat!

"Bohong! Papa lihat ini." Ruha menunjuk pelipisnya yang berdarah. "Wanita itu mukul Ruha, Pah!"

"Enggak sayang. Aku ngga mukul Ruha. Ruha udah begitu saat aku pulang." Jennifer mencoba membela diri. Memasang wajah semelas mungkin sambil memegang tangan Feliz.

Feliz yang sudah dibutakan oleh cinta gilanya. Pria itu lebih memilih mempercayai omongan Jennifer ketimbang anaknya sendiri. Matanya kembali menatap nyalang pada Ruha.

"Kamu yang fitnah Mama kamu! Papa itu tau kamu biang onar. Sekarang kamu minta maaf cepat! Sebelum Papa paksa kamu dengan kekerasan."

"Ruha tetap ngga akan minta maaf!"

Grep!

Tangan Feliz mencengkeram tengkuk leher Ruha dan mendorong anak itu hingga jatuh berlutut di depan Jennifer.

"Minta maaf!" perintah Papa-nya penuh penekanan.

Ruha mengangkat wajahnya dengan mata memerah. Menatap Jennifer yang juga menunduk menatapnya. Wanita itu tersenyum miring. Benar-benar wanita menjijikkan. Emosi Ruha kian membuncang. Ia dengan cepat menepis tangan sang Papa di lehernya dan berdiri.

"RUHA NGGA AKAN MINTA MAAF!" teriak Ruha dan berlari keluar dari rumah. Tak peduli sang Papa akan bertambah marah setelah ini.

...

Malam-malam Ruha berjalan sendiri tak tentu arah. Ia tak mungkin pulang untuk malam ini. Tapi Ruha juga tak punya tujuan.

"Sshh... sial, masih berdarah lagi," gerutu Ruha saat menyentuh pelipisnya yang masih mengeluarkan darah. Belum lagi luka di kepala belakangnya juga. "Gimana ngga jadi bodoh kalo kepala gue aja dipukulin kaya gini"

Ruha mengusap pelipisnya dengan ujung lengan sweater, tapi sakitnya malah semakin menjadi-jadi.

"Jadi anak brokenhome gini amat. Punya dua kakak ngga ada yang peduli. Punya Papa malah bucin sama lonte. Hah, bangsat..." Ruha berjongkok, kepalanya terdongak menatap langit gelap yang tak berhiaskan bintang. "MAMA! KENAPA NGGA AJAK RUHA AJA!"

Teriakan Ruha menggelegar di jalan. Anak itu tak peduli meskipun dipandang aneh oleh orang-orang yang lewat. Ruha berjongkok cukup lama untuk merenung. Kemudian mengeluarkan ponselnya membuka kontak telepon. Dua kontak kakaknya ia pandangi cukup lama.

Siapa yang harus ia hubungi? Setidaknya untuk berbagi cerita apa yang ia alami malam ini.

"Tapi emang mereka bakal peduli?" Ruha berdecih dan tersenyum miring.

Lebih memilih mematikan ponselnya dan kembali menaruh benda tersebut pada kantong celananya. Ia juga tak mungkin menghubungi teman-temannya. Seorang Ruha yang seperti ini tidak boleh diketahui oleh siapapun. Bisa turun gelar berandalan miliknya dan berganti menjadi anak miskin kasih sayang.

"Cari makan aja lah."

...

"Selamat datang!"

Suara pegawai minimarket langsung menyambut Ruha begitu masuk. Ruha lantas segera mencari beberapa makanan ringan sekaligus plester untuk lukanya. Dan di sela-sela mencari makanan di rak, ia tak sengaja melihat seseorang yang familiar.

Itu Alby.

Masih dengan pakaian yang sama sehabis pulang dari rumahnya. Refleks Ruha melihat jam ponselnya. Jam setengah sepuluh malam.

"Hei! Lo ngapain di sini? Mana masih pake seragam," ucap Ruha sambil menepuk pundak Alby.

Terlihat kalau anak itu terkejut karena tindakan Ruha.

"Ini minimarket. Udah tau 'kan mau ngapain?" timpal Alby dan kembali pada aktifitasnya.

Ruha terus mengikuti Alby kemanapun anak itu berjalan dengan sesekali mengambil beberapa makanan ringan.

"Ya, emang lo ngga pulang? Jam segini masih keluyuran pakai seragam."

"Gue abis les privat," jawab Alby.

"Wah! Anak pinter kaya lo masih aja les privat?" Ruha terkekeh mengatakan itu.

"Gue gurunya."

Ruha langsung diam. Terlihat sekali perbedaan kapasitas otak seorang Ruha dan Alby.

"Lo sendiri ngapain malem-malem di luar? Itu juga kepala kenapa? Lo abis tawuran setelah belajar bareng gue tadi?" Ganti Alby balik bertanya sambil menatap Ruha di belakangnya.

"Kepo!"

Alby berdecih mendengar balasan Ruha. Anak berjaket merah itu lantas berjalan menuju kasir meninggalkan Ruha di belakang. Ia menaruh barang belanjaannya di atas meja kasir agar segera di hitung.

"Semuanya jadi enam puluh lima ribu," kata kasir tersebut.

Alby segera mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Tapi saat ingin membayar, tangannya dicekal oleh sosok Ruha yang tiba-tiba sudah di sampingnya.

"Biar gue yang bayar," ucap Ruha kemudian meletakkan belanjaannya ke kasir. "Tolong hitung lagi sama ini!"

Itu membuat Alby menyatukan alisnya. Kesambet apa Ruha sampai jadi baik begini? Tapi ada baiknya, uangnya jadi tidak berkurang.

"Terima kasih telah berbelanja~"

Ruha keluar dari minimarket setelah Alby. Melihat Alby yang pergi tanpa mengucapkan sepata kata apapun lagi membuat Ruha mendesah. Langkahnya jadi mengikuti si Ketua OSIS itu.

"Main pergi aja. Timbal baliknya mana?" ucap Ruha sambil mencekal tangan Alby. Alby lantas menoleh dengan wajah kesal. Dan itu lucu.

"Kalo ngga ikhlas bilang aja. Gue bisa balikin uang lo." Alby mulai kembali mengeluarkan dompetnya. Sontak Ruha menahannya.

"Enggak! Gue ngga mau timbal baliknya uang. Sama aja lo beli sendiri. Sini! Ikut gue!"

Ruha menarik Alby pergi menuju taman bermain di dekat minimarket. Membawa anak berkulit putih itu pada ayunan dan mendorong pundak Alby hingga duduk.

"Duduk di sini. Temenin gue bentar!" pinta Ruha.

"Tapi gue harus pulang." Alby kembali berdiri. Dan Ruha kembali mendorong Alby duduk di ayunan.

"Gue bilang duduk!"

Terpaksa Alby patuh. Ruha lantas mengambil plester dalam kantong plastiknya dan menyodorkannya pada Alby.

"Apa?" tanya Alby tidak mengerti.

"Pasangin!" Ruha menyingkap rambut yang menutupi pelipisnya. Ia berjongkok di depan Alby menunggu anak itu memasangkan plester. "Ayo cepet! Udah perih ini."

Dengan kesal Alby mengambil plester di tangan Ruha. Ia membuka penutup plester tersebut dan menempelkannya pada pelipis Ruha. Kemudian menekan-nekan luka tersebut.

"Akh! Sakit woi!" pekik Ruha. Ia memegangi tangan Alby dan menjauhkannya dari pelipis. Alby terlihat tak peduli.

"Udah selesai, sekarang biarin gue pulang."

"Masih kurang satu lagi." Ruha tersenyum. Ia menunjuk bibirnya dengan jari tangan yang tak memegangi Alby.

"Apaan! Kok lo jadi ngelunjak gini!" pekik Alby menarik tangannya dari Ruha dan berdiri menjauh.

"Jangan gitu, muka lo merah tau. Bilang aja lo juga suka waktu gue cium di rumah tadi." Ruha semakin tertawa lebar saat melihat Alby yang menghindari tatapannya. Menyembunyikan pipi merah yang lucu itu. "Salahin aja bibir lo yang manis. Gue jadi candu."

"Lo gila!" Alby langsung berlari meninggalkan Ruha sendirian.

Ruha tak pernah tau kalau si Ketua OSIS yang kadang garang saat menghukum orang itu akan sangat lucu kalau salah tingkah. "Ih, malu-malu... haha! Jadi suka."

Sementara lanjut dah ya, berhubung draftnya lumayan banyak.

Hatur thank you yang udah vote dan komen. Ramein lagi komennya dong awkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro