04 | Pacar?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Ruha mengetuk-ngetukkan pensil di tangannya pada meja belajar dengan berpangku tangan. Tatapannya tak lepas dari Alby di depan. Anak itu tengah serius mengoreksi lembar soal yang sudah ia jawab.

"Lo ngga tanya kenapa nyokap gue masih muda?"

Tanpa mengangkat wajah, Alby melirik Ruha dengan sudut matanya. "Gue bukan manusia yang suka kepo."

"Itu artinya lo bukan manusia. Karena kebanyakan manusia itu suka kepo sama orang lain."

"Kebanyakan manusia, artinya ngga semua manusia suka kepo urusan orang lain, 'kan? Dan gue termasuk minoritas orang yang ngga suka kepo," tegas Alby dan kembali fokus mengoreksi jawaban Ruha.

Ruha tertawa mendengarnya. Ia lantas berdiri menuju laci mejanya dan mengambil sebuah bungkus rokok dari sana.

"Gue kasih tau ya, wanita itu cuma nyokap tiri gue. Lo orang pertama yang tau ini...," ucap Ruha sambil mencari-cari pemantik api. Begitu dapat ia kembali duduk di karpet dimana mereka belajar. "...lo ngga tau 'kan gimana rasanya punya nyokap tiri kaya dia? Luka di kepala gue itu bekas dipukul dia pakai high heels. Oh, anak kayak lo itu tipe anak yang lahir di keluarga harmonis, jadi mana mungkin ngerasain rasanya dipukulin."

Alby menghentikan tangannya yang menulis sejenak. Menatap Ruha yang sudah menyalakan pemantik api untuk merokok.

"Tolong jangan ngerokok!"

"Kenapa? Mau ceramahin gue? Ingat ya, ini di rumah gue bukan lagi di sekolah. Lagian wajar aja kalo cowok ngerokok, kayak lo ngga pernah aja." Ruha tersenyum miring dan lanjut membakar batang nikotin di mulutnya.

Dengan sengaja Ruha meniupkan asap rokoknya kearah Alby. Anak itu refleks mengibaskan tangannya dan menutup mulut serta hidung. Beberapa kali Alby terbatuk karena asap rokok yang berhasil terhirup dan tentu membuat Ruha terkejut.

"Eh, lo beneran ngga pernah ngerokok?"

Ruha sedikit panik saat batuk Alby tak kunjung berhenti malah semakin intens. Ia segera mematikan rokoknya dan membuangnya ke tempat sampah, kemudian mengambil gelas air di atas meja dan duduk di samping Alby.

"Ini, minum!" suruh Ruha menyodorkan gelas tersebut pada Alby. Tangannya yang lain memegang buku tulis untuk menyingkirkan sisa asap yang mungkin masih ada.

Alby hanya meminum air tersebut sedikit sebelum kembali menaruh gelasnya ke meja. Beruntungnya batuknya sudah cukup membaik.

"Baru kali ini gue nemu cowok ngga suka rokok," ucap Ruha dengan nada mencibir.

"Dari 137 juta populasi laki-laki di Indonesia, ngga mungkin semuanya itu perokok. Dan kalo lo bilang baru kali ini nemu cowok ngga ngerokok, artinya lingkungan pertemanan lo itu yang salah."

"Maksud lo teman-teman gue salah karena mereka ngerokok, gitu?" ucap Ruha dengan serius.

Wajahnya maju semakin dekat dengan Alby. Alby langsung memundurkan tubuhnya. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkejut dengan wajah Ruha yang tiba-tiba sedekat itu.

Plak!

"Ja-jangan deket-deket..."

Alby mendorong wajah Ruha dengan kasar dan memalingkan muka.

"Aih, badan lo kecil tapi tenaga lo ngga main-main ya," gerutu Ruha dengan tubuh yang hampir terjungkal.

Awalnya Ruha sedikit kesal, tapi begitu melihat telinga Alby yang sedikit merah membuatnya menahan senyum. Lagi-lagi Alby salah tingkah di depannya.

"Alby, telinga lo merah. Malu ya?"

Refleks Alby langsung memegangi kedua telinganya. "Enggak! Siapa yang malu."

"Kalo ngga malu kenapa ditutupin? Tuh, pipi lo juga merah." Ruha semakin gencar menggoda Alby. Menurutnya, Alby yang malu-malu itu sangat lucu. Ia jadi ingin terus melihat wajah si Ketua OSIS itu memerah karenanya.

Ruha kembali mendekat. Sangat dekat. Hingga Alby harus merelakan tubuhnya terbaring di karpet dengan Ruha yang mengungkungnya di atas. Jantungnya berdetak brutal saat wajah Ruha perlahan turun kearahnya.

"Ru-ruha, mau ngapain?" Alby menutup matanya takut.

Melihat mata bulat itu menutup rapat membuat Ruha gemas sendiri.

Cupp~

"Lo mau jadi pacar gue?"

Ucapan yang tak pernah Alby kira akan terucap dari bibir seorang berandalan seperti Ruha. Dan lagi, ditambah pipinya yang dikecup seperti itu.

BUAGH!

Dengan wajah memerah entah malu atau marah, Alby bangkit setelah meninju wajah Ruha dengan keras. Alby mengambil langkah mundur menjauhi Ruha yang sekarang memegangi pipi.

"Kita sama-sama cowok, Ruha! Cowok sama cowok mana mungkin pacaran?!" seru Alby.

"Kenapa ga mungkin? Kakak gue aja pacaran sama cowok."

"Apa? Kok bisa? Tapi 'kan, biasanya orang pacaran itu cowok sama cewek." Otak Alby langsung macet mendengar perkataan Ruha itu.

"Emang lo ngga tau? Cowok sama cowok, juga bisa pacaran."

Ruha berdiri, memasang senyum penuh arti. Mengikis jaraknya dengan Alby. Membuat si Ketua OSIS itu tersudut sampai tembok kamarnya. Lucu melihat wajah itu kebingungan mencari cela saat kedua tangannya mengurung di kedua sisi. Ia sedikit menunduk mensejajarkan wajahnya dengan Alby.

"Ingat ciuman kemarin? Lo yang mulai, jadi harus tanggung jawab."

Alby refleks menahan wajah Ruha yang ingin mendekat kearahnya. "Tapi... tapi lo yang minta!"

"Terus kenapa lo mau aja?" senyuman Ruha mengembang. Seketika membuat Alby bingung mau menjawab apa.

Tangan Ruha terangkat memegang tangan Alby yang menahan wajahnya. Lantas menciumi sela-sela jemari kurus itu dengan melirik wajah Alby yang semakin merah.

"Tangan lo kecil banget. Tapi anehnya dengan tangan sekecil ini bisa dua kali mukul gue kayak tadi..." Ruha beralih pada wajah Alby. "...gara-gara ciuman lo kemarin, gue sampai kepikiran ga bisa tidur."

Cuup~

Kembali dua bibir itu bersatu. Hanya saling menempel selama beberapa detik sebelum Alby sadar apa yang sedang Ruha lakukan padanya.

Duagh!

"Ekh—"

Pekikan Ruha tertahan di tenggorokan saking tak sanggupnya. Kedua tangannya kini berganti memegangi selangkangannya yang baru saja ditendang Alby dengan lutut. Ruru nya berdenyut.

Begitu lepas dari Ruha, Alby segera kembali ke meja dan membereskan buku-bukunya. Wajah merahnya tak kunjung hilang.

"Alby, lo—ah! Tanggung jawab kalo ruru gue ngga bisa bangun lagi!" geram Ruha berguling di lantai. Matanya menatap Alby yang sudah siap pergi. "Lo mau kemana? Lo belum jawab gue!"

"Gue pulang!" pamit Alby tanpa menatap Ruha sedikitpun dan langsung melesat pergi keluar dari kamar Ruha.

Tinggal lah Ruha sendiri, bersama ruru nya yang masih tersakiti. Ia berdecak kesal. Sepertinya untuk mendapatkan si Ketua OSIS itu tak akan mudah.

"Alby, jangan jual mahal dong. Gue 'kan jadi makin suka."

...

Alby kira ucapan Ruha malam itu hanya sebuah candaan belaka. Candaan yang sebenarnya tak ada lucu-lucunya kalau dipikir. Mana mungkin laki-laki dan laki-laki menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih? Ia bahkan tak pernah dengar yang seperti itu sebelumnya.

"Albyyy..."

Sekali lagi untuk beberapa hari ini, ia harus berurusan dengan berandal sekolah satu itu.

Sosok tinggi itu menjulang di antara siswa-siswi lain yang mengantri di kantin. Wajah songong seolah tanpa dosa berjalan kearahnya dengan satu tangan membawa nampan nasi.

Dan begitu Ruha menaruh nampan di depannya, Alby sontak berdiri.

"Mau kemana? Abisin dulu makanannya." Ruha dengan tenaga dalamnya memegang pundak Alby dan kembali membuat anak itu duduk.

"Kenapa sih, lo ganggu gue mulu?"

"Ganggu? Ngga ganggu..." Ruha melihat Alby yang mulai makan kembali. Kemudian menatap nampan Alby yang hanya berisi nasi dan lauk sayur saja. "Lo cosplay kambing? Kenapa cuma ambil sayur aja. Ini, gue kasih sosis gue."

Ruha memindahkan sosis dari nampannya ke nampan Alby. Dan Alby melirik sekilas.

"Ambil balik!" pinta Alby.

"Kenapa? Lo harus banyak makan daging biar cepet gede."

"Tapi sosis banyak lemaknya, gue ngga makan itu," jelas Alby dan mengembalikan sosis pemberian Ruha ke nampan Ruha.

Ruha berdecak, "Pantes ngga numbuh. Kalo mie ini?" sekarang Ruha mengangkat mie-nya dengan garpu.

"Mie banyak karbohidratnya, udah sama kayak nasi. Kalo dimakan bareng nanti karbohidratnya numpuk, ngga baik."

"Lo makan aja pemilih banget. Heran." Ruha akhirnya mulai melahap makanannya sendiri.

Mereka makan dengan khidmat. Sampai suara gaduh terdengar, membuat seluruh penghuni kantin menatap kearah pintu masuk. Rombongan berandal sekolah datang dari sana. Riko, Gamma dan Gaffi. Mereka bertiga lantas berjalan menuju meja Ruha dan Alby.

"Lo dicariin kemana-mana malah nongkrong di sini. Tumben makan siang dikantin sama..." Gamma melirik Alby di depan Ruha. "...sama si Alby? Wah wah, ada apakah gerangan?"

Gamma dengan santainya duduk di samping Alby dan merangkul pundak si Ketua OSIS itu. "By, punya duit?"

"Buat apa?" timpal Alby sedikit risih dengan kehadiran teman-teman Ruha tersebut.

"Buat beli rokok, ya? Lima puluh aja."

"Ngga ada! Adapun ngga gue kasih!"

Jawaban dari Alby itu langsung dihadiahi Gamma dengan geplakan di belakang kepala. Yang sontak membuat Ruha menajam dan dengan kasar menaruh sendoknya ke atas meja. Tentu itu membuat Riko dan Gaffi yang di samping Ruha berjingkat.

"Ru! Biasa aja naruh sendoknya. Kaget, sat!" umpat Riko yang tak didengar oleh Ruha.

Tatapan Ruha masih pada Gamma yang saat ini mengusak-usak kepala Alby.

"Gam! Singkirin tangan lo!" perintah Ruha.

Mendengar nada dingin itu membuat Gamma langsung mematuhinya dan menjauhkan tangannya dari kepala Alby.

"Geser!"

Lagi, Gamma menuruti perintah Ruha dan bergeser sedikit menjauh dari Alby.

Tentu membuat ketiga teman Ruha itu terkejut. Satu hal yang sama dalam pikiran mereka. Sejak kapan seorang Ruha peduli dengan si Ketua OSIS itu? Padahal Ruha itu tipe orang yang tak pandang bulu kalau mau memalak.

"Gue pergi duluan." Alby yang menyelesaikan makan siangnya lebih cepat segera beranjak dari sana.

"Sampai ketemu di kelas, By!" seru Ruha dengan nada yang ceria, berbanding jauh dari yang tadi.

Begitu hanya tinggal mereka berempat, kini ketiga orang di sana memandang Ruha dengan penuh tanya.

"Ru, apa nih? Kenapa gue ngga boleh malakin si Alby? Jangan bilang lo jadi takut karena dia Ketua OSIS," ucap Gamma dengan wajah berkerut.

Ruha masih santai melanjutkan acara makannya. Menatap ketiga teman-temannya yang menuntut jawaban, lantas berucap. "Dengerin, mulai sekarang jangan ada yang berani malakin si Alby. Kalian boleh malakin siapapun anak-anak di San Juan, kecuali Ketua OSIS itu. Paham?"

"Lah kok gitu sih, Ru! Itu namanya ngga adil dong. Kenapa Alby punya hak istimewa gini?" Kali ini Riko berseru.

"Dan juga, sejak kapan lo jadi deket sama Ketua OSIS itu?" Gaffi bertanya.

"Kalian nurut aja deh. Dan jangan lupa kasih tau anak-anak lain juga, pokoknya jangan ada yang cari masalah sama Alby. Khusus dia biar jadi urusan gue sendiri," ucap Ruha dan kembali menyuapkan satu sendok nasi ke mulutnya. "Mending sekarang kalian ngantri ambil jatah makan siang. Sayang banget kalo ga diambil, menu hari ini lumayan enak tau."

"Iya deh iya aja mah apa kata pak ketua. Fi! Ko! Ayo ambil makan!" ajak Gamma berdiri menyeret Gaffi yang berada di samping Ruha. Ia lantas menatap Riko yang tak ikut berdiri. "Ko! Lo ngga makan?"

Riko melirik sekilas, "Kalian duluan."

"Oke!"

Sepeninggalan kedua temannya itu kini Riko beralih menatap Ruha. "Ru! Jangan bilang anak yang lo maksud waktu itu si Alby?"

Ruha menimpali dengan senyuman. "Hu'um."

"Astaga, Ruha! Lo beneran mau macarin cowok? Kenapa ngga cari cewek aja sih," ucap Riko dengan volume suara yang cukup besar.

"Ngga usah keras-keras juga. Lo niat kasih tau satu kantin kalo gue ini gay, hah?"

Riko berdecih, "Lagian lo sendiri, dulu awal kelas 10 lo masih normal."

"Jangan salahin gue, salahin kakak gue yang bawa pengaruh buruk!"

Memang harus banyak-banyak mengelus dada kalau bersama Ruha. Bisa-bisanya menyalahkan kakaknya sendiri karena orientasi seksual yang mendadak belok.

"Dah lah terserah lo aja. Mending gue makan," ucap Riko dan berjalan pergi menyusul duo Gamma dan Gaffi tadi.

Terima kasih buat vote, komen kalian sebelumnya. Kasih kritik boleh banget.

Gak nyangka juga udah tembus 1k pembaca. Makasih banget.
(⁠つ⁠≧⁠▽⁠≦⁠)⁠つ

Mau main tebak-tebakan?
Tebak nama kakak Ruha (⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro