11 | Kisah Lampau & Luka Lama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Baru lima menit lalu Alby menutup pintu setelah Ruha pergi. Dan kini ada yang mengetuk pintu rumahnya. Alby langsung kembali ke depan untuk membukakan pintu.

Cklak!

"Bunda? Bunda Rena tumben ke sini."

Sesosok wanita cantik dengan dress kasual berdiri tepat di depan Alby. Wanita itu tersenyum dan mengusak kepala Alby sebelum masuk ke dalam.

"Kamu udah dua kali ngga nemuin bunda. Jadi bunda yang kesini buat nemuin kamu."

"Akhir-akhir ini Alby sibuk, jadi ngga sempet ke tempat bunda. Niatnya Alby mau ke sana abis ujian bulanan minggu depan."

Renata, wanita yang Alby panggil bunda Rena itu menghela nafasnya. Matanya menatap teduh anak laki-laki di depannya.

"Alby, jadwal kamu harus nemuin bunda itu udah bunda atur. Sesibuk apapun kamu, kamu harus sempatin ke tempat bunda karena itu lebih penting. Atau kamu mau bunda jemput aja biar ngga lupa?"

Alby langsung menggeleng, "Ngga perlu, nanti malah ngerepotin bunda. Bunda 'kan orangnya sibuk."

"Bunda bisa luangin waktu buat kamu. Bunda juga ngga ngerasa direpotin."

"Beneran ngga usah bunda. Alby janji deh, buat yang bulan depan Alby datangnya tepat jadwal."

Renata kembali mengusak kepala Alby dengan gemas seperti anak kecil. Senyum cantiknya terkembang untuk beberapa saat sebelum tersadar sesuatu. Tangannya berhenti mengusak kepala Alby dan kini memegang kening anak itu.

"Alby, kamu demam sayang?" cemasnya.

"Udah lumayan turun dari pada semalem. Bunda ngga usah khawatir."

Tubuh Alby diseret Renata untuk duduk di sofa. Diikuti dirinya yang juga duduk. Tangannya tak lepas terus memeriksa seluruh tubuh Alby.

"Tetep aja kamu demam, apalagi dari semalem kamu bilang. Kamu 'kan tinggal sendiri, ngga ada yang jagain. Gimana bunda ngga khawatir?"

"Ada temen Alby yang baik jagain Alby semaleman. Tadi pagi juga Alby dibikinin sarapan sama dibantu minum obat," jelas Alby bercerita.

"Temen kamu?" Renata berkerut bingung. "Ah, anak jaket hitam yang tadi keluar dari rumah kamu? Bunda ngga sengaja lihat sebelumnya. Namanya siapa?"

"Namanya Ruha, dia anak yang Alby ajarin setiap pulang sekolah."

Renata mengangguk paham. Yang selama ini wanita itu tau, Alby tak banyak bercerita tentang teman-temannya setiap ia tanya kehidupan sekolahnya. Jadi, ia ikut senang mendengar Alby ternyata punya teman dekat sekarang. Apalagi dengan baiknya menjaga Alby yang demam semalaman.

"Bunda mau minum apa? Biar Alby bikinin," tawar Alby, anak itu segera berdiri menuju dapur.

"Eh enggak perlu, Alby. Bunda ke sini niatnya mau jemput kamu. Hari ini juga kamu harus diperiksa," ujar Renata sambil mengikuti Alby yang sudah ada di dapur.

Niat Alby mengambil gelas di rak pun terhenti dan kembali memandang bundanya tersebut.

"Dua hari ini kamu izin dulu sekolahnya. Kita ke rumah sakit buat lakukan pemeriksaan rutin kamu."

"Tapi bunda, minggu depan Alby ada ujian bulanan. Alby masih harus bela—"

"Alby!" potong Renata tegas. Wanita itu mendekati Alby dan memegang kedua pundak anak tersebut. "Sekolah bisa nomor dua. Yang paling penting itu kesehatan kamu, sayang. Bulan lalu kamu udah lewatin pemeriksaan, bunda izinin. Tapi kali ini kamu harus nurut sama bunda, ya?"

Alby tak bisa mencari alasan lain lagi sekarang. Ia hanya bisa mengangguk menuruti kata bunda Renata nya. Renata tersenyum puas karena akhirnya Alby patuh.

"Nah sekarang kamu siap-siap. Ngga usah mandi, langsung ganti pakaian aja soalnya kamu masih demam gitu. Bunda tungguin di sini"

"Iya bunda." Setelah menjawab Alby langsung menuju kamarnya untuk berganti pakaian.

...

Sehari tanpa Alby di kelas, Ruha mencoba membiasakan diri dan bertahan agar tak membolos. Kalau biasanya ada Alby yang bisa ia pandangi, seharian itu ia mati-matian menahan kantuk mendengarkan guru berceloteh sana-sini.

Sayangnya, Ruha yang ingin mencoba teladan gugur di hari kedua.

Hari ini seharusnya Alby sudah masuk sekolah. Tapi dari pagi Ruha tak menemukan sosok Alby dalam kelas. Tak menemukan sepeda merah Alby di parkiran sekolah biasanya.

Pesan tak dibalas.

Telepon tak dijawab.

Ruha kini duduk termenung di sofa markas setelah dinyatakan gugur menjadi anak teladan. Membolos adalah jalan terbaik menghindari kantuk berkepanjangan di kelas.

Seperti biasa, ada tiga manusia yang ikut menyertai Ruha membolos bersama. Mereka... Riko, Gamma dan Gaffi yang sejak tiga puluh menit lalu saling lempar pandang satu sama lain karena melihat seorang Ruha termenung diam.

"Ru, lo kalo punya masalah cerita gih. Diamnya lo selain tidur itu bikin orang takut tahu." Riko berinisiatif tanya.

Ruha hanya melirik sekilas sambil memasang tampang sedih.

Plak!

"Nggak usah sok melankolis anjir?! Cerita mah cerita aja!" geram Riko setelah menggeplak kepala Ruha. Bukannya kasihan dengan Ruha, Riko malah dibuat emosi.

"Psikopat si Riko," gumam Gamma diangguki Gaffi. Hal itu masih bisa didengar Riko yang langsung melempar tatapan tajam.

"Btw, si Alby gimana kemarin mabuknya? Dua hari ini gue ngga lihat lo bareng dia, Ru," tanya Riko kembali menyamankan duduknya sambil makan camilan.

"Itu yang gue pikirin sekarang. Kemarin dia ngga masuk karena sakit. Tapi kalo hari ini gue ngga tau. Takutnya dia masih sakit," timpal Ruha lesu.

"Sakit?" ulang Gamma. "Anjir, Ruha. Lo apain Alby sampai sakit? Udah lo unboxing, hah?"

"Bener juga, lo bilang sama gue kemarin nginep rumah Alby. Jangan-jangan beneran lo gituin si Alby waktu dia masih mabuk? Otak lo 'kan mesum banget."

Ruha yang tertuduh memasang wajah syok. Secabul itukah dirinya dimata teman-temannya? Benar-benar ketua yang terbully.

"Nggak lah! Gue masih punya kewarasan. Si Alby itu demam gara-gara mabuk alkohol kemarin," jelas Ruha.

"Oh gitu. Berarti ini salahnya si Riko. Bisa-bisanya anak masih suci dikasih minum alkohol."

Grep!

Dengan tenaga dalamnya Riko mencengkeram leher Gamma. Wajah full senyum yang terlihat mengerikkan menatap Gamma yang kini mengadu sakit.

"Gam, keluar bentar yuk. Kita berantem diluar!" Gigi-gigi Riko bergemeletuk.

"AAA! Ampun Riko, gue bercanda!"

Ruha dan Gaffi hanya menjadi penonton saat dua teman mereka itu saling kejar-kejaran di dalam markas. Benar-benar kekanakan.

"Fi, gue pergi duluan ya" pamit Ruha dan berdiri. Gaffi lantas menoleh.

"Mau kemana?"

"Ke rumah Alby. Gue ngga tenang."

...

Mobil hitam yang dikendarai Alby dan bunda Renata baru saja berhenti di depan rumah Alby. Renata menoleh ke sampingnya, tempat Alby berada. Anak itu tidur selama diperjalanan, mungkin kecapekan.

"Alby..." panggilnya lembut. Tangannya menggoyang bahu Alby pelan.

Alby sedikit menggeliat sebelum membuka matanya. Butuh beberapa detik untuk memproses keadaan di sekitarnya sekarang.

"Udah sampai ya, bunda?" tanyanya sambil mengusap mata.

Renata tersenyum melihat tingkah Alby yang kelewat gemas itu. Padahal Alby sudah bukan anak kecil lagi. "Udah sayang."

Setelah mengumpulkan segenap nyawanya, Alby turun dari mobil. Renata lantas memapah tubuh Alby memasuki pelataran rumah. Di depan pintu, ada seseorang yang sedang duduk menunggu. Begitu menyadari kehadiran Alby dan Renata, orang itu langsung berdiri.

"Alby lo kemana aja? Dari siang gue nungguin disini sampai gue kira lo pindah rumah."

Orang itu, Ruha. Dengan cemas langsung memeriksa setiap jengkal tubuh Alby dihadapannya. "Lo masih demam? Atau sakit yang lain?"

"Udah enggak. Ruha ngapain disini?"

"Gue khawatir, lo hari ini ngga masuk sekolah. Lo juga ngga bales pesan ataupun angkat telepon gue. Takutnya sakit lo tambah parah." Ruha terus menatap Alby intens.

"Dua hari ini ponsel gue dipegang bunda, jadi gue ngga tahu," jelas Alby sambil melirik Renata di sampingnya.

Saking fokusnya dengan Alby, Ruha sampai melupakan kehadiran sosok tersebut. Ruha langsung memasang senyum terbaiknya. "Oh, halo tante," sapanya.

Renata ikut tersenyum membalas Ruha.

"Kalian berdua lanjut ngobrolnya di dalam aja ya. Udah mulai malem, udaranya dingin," titah Renata sambil membawa Alby masuk ke dalam. Ruha mengikuti di belakang.

"Kamu ganti pakaian dulu, bunda mau bikin makan malam." Renata mengusap pelan bahu Alby yang mengangguk. Kemudian beralih pada Ruha. "Ruha ikut makan malam juga ya?"

Dengan antusias Ruha mengangguk semangat. Hal itu membuat Renata sedikit terkekeh.

Sepeninggalan Alby ke kamarnya, Renata segera menuju dapur untuk memasak. Ruha tak tinggal diam dan mengikuti wanita tersebut ke arah dapur.

"Loh Ruha ngapain ikut ke dapur?" tanya Renata saat melihat Ruha di belakangnya.

"Mau ikut bantuin tante masak. Biar cepet jadinya," jawab Ruha.

"Emang kamu bisa masak?" Renata menatap tak percaya.

"Bisa dong tante."

"Ya udah, kalo gitu pertama kamu bikin nasi dulu, ya?"

Ruha menunjukkan dua jempolnya dan dengan cekatan mulai melakukan tugasnya. Renata sendiri mulai mengambil bahan-bahan mentah di dalam kulkas dan segera mengolahnya. Dua orang itu sibuk berkutat di dapur dengan sesekali mengobrol santai.

"Kamu sama Alby udah lama temenan?" tanya Renata disela-sela masak.

"Baru sih, tante. Sejak Alby ngajarin aku," jawab Ruha.

"Oh, begitu." Renata mengangguk paham. "Ah iya, kamu yang kemarin jagain Alby semalaman waktu sakit ya? Tante ucapin makasih sama kamu. Tante agak khawatir waktu tau Alby sakit, dia 'kan tinggal sendiri."

Renata berhenti sejenak dari kegiatan memasaknya. Ia menatap Ruha yang sedang mengiris wortel.

"Kamu tau, tante sebenarnya bukan bunda kandungnya Alby."

"Alby udah cerita kok, tante. Tante itu walinya Alby, ya 'kan?"

Renata cukup terkejut dengan itu. "Alby cerita ke kamu langsung? Kamu juga tau kalau ibu kandungnya Alby udah meninggal?"

Ruha mengangguk sebagai jawaban. "Tapi cuma tau sekadar itu aja, kalo sebabnya Alby ngga cerita."

Sebuah tepukan Ruha rasakan pada punggungnya. Tepukan itu menjadi elusan lembut.

"Ibu kandung Alby meninggal bunuh diri saat Alby bahkan belum genap lima tahun. Dan ayah Alby dipenjara karena membunuh istri keduanya, ibu tiri Alby. Waktu kejadian itu Alby masih umur tujuh tahun."

Gerakan tangan Ruha yang memotong wortel langsung terhenti seketika. Ekspresi yang semula riang berubah.

"Kenapa tante tiba-tiba cerita itu ke aku?" tanya Ruha.

"Kamu teman pertamanya Alby yang tante kenal. Alby udah sendirian sejak kecil. Ngga ada dari keluarga orang tuanya yang mau ngerawat dia. Waktu Alby cerita dia punya teman dekat, tante ikut seneng. Alby jadi punya tempat sandaran lain selain tante..." Renata menghela nafas sejenak.

"...Alby itu anak yang tertutup soal perasaannya, Ru. Saat dia sakit, dia ngga akan bilang kalau dia sakit. Saat dia sedih juga. Semua dia pendam sendiri. Tante harap dengan adanya kamu, Alby jadi bisa lebih terbuka lagi. Tante minta tolong sama kamu ya, Ruha?"

"Tante ngga usah khawatir soal itu," timpal Ruha dengan senyum meneduhkan.

Melihat bagaimana khawatirnya Ruha saat Alby tak masuk sekolah membuat Renata tau kalau anak didepannya memang tulus berteman dengan Alby. Maka dari itu ia menceritakan masa lalu Alby dengan mudahnya. Berharap Ruha bisa menjadi penyembuh luka lama Alby karena orang tuanya.

"Ngomong-ngomong, aku boleh tanya satu hal lagi ngga tante?"

Renata mengangkat alisnya. "Tanya apa?"

"Soal... sakitnya Alby..."

Arigathanks buat yang udah vote dan komen (〃` 3′〃)

Sedikit informasi soal cerita ini, latar waktunya sekitar 5 tahun dari cerita Another Pain. Jadi coba hitung kira-kira umur Raga kalo misal masuk sini berapa? Hehe...

Ssht, ini rahasia! Scroll ke bawah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Raga bakal muncul disini loh nanti.

(づ ̄3 ̄)づ╭❤️~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro