Part 7 Cincin Pengikat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Erum menatap penampilan Bia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tampak menilai dengan cermat. Dibandingkan Chellyn, Bia memang lebih cantik. Tetapi ia tak akan membiarkan kelebihan itu terlihat di matanya.

Bia sendiri tak banyak peduli dengan cara pandang Erum kepadanya. Sejak awal wanita paruh baya itu tak menyukainya. Dan Erumlah yang tak sudi dirinya menjadi menantu wanita itu. Sekarang, wanita itu tak punya pilihan selain menerimanya sebagai adik ipar. Sepertinya posisi itu memang lebih baik dibandingkan menjadi menantu.

"Aku tak tahu apa yang sudah kau lakukan Al Biru sehingga dia bersikeras melanjutkan rencana konyol ini, tapi kuperingatkan padamu, Bia. Kau tak akan mendapatkan apa pun dari pernikahan ini." Tekanan dalam suara Erum begitu dalam. Mempertegas sekaligus melemparkan sorot kebencian di kedua matanya.

Raut Bia masih begitu datar. Terlalu tenang setelah peringatan dari seorang Erum Atmadja. Ia sudah sampai pada titik terendah di hidupnya. Dibuang, dicampakkan, dikhianati. Hingga tak ada apa pun yang tersisa darinya. Maka sekarang pun tak ada apa pun yang perlu ditakutkannya. Termasuk Erum, yang akan segera menjadi kakak iparnya. "Benarkah?"

Kebencian di kedua mata Erum membeku, terkejut untuk satu pertanyaan yang berarti sebuah penantangan.

"Saya sudah mendapatkan beberapa yang saya inginkan di awal rencana pernikahan kami. Selanjutnya ..." Bia berhenti sejenak, dengan tatapan mata yang mengarah lurus pada Erum sebelum melanjutkan. "Saya penasaran, apa yang akan saya dapatkan lagi. Setelah resmi menjadi nyonya Atmadja."

Kebencian di wajah Erum seketika memucat, dan tak bisa lebih pucat lagi ketika Bia menunjukkan cincin dengan batu rubi berwarna hijau zamrud di jari manis wanita itu.

Cincin itu adalah cincin turun temurun dari keluarga mendiang ibu Al Biru. Jika Al Biru sudah memberikan cincin tersebut pada Bia. Bahkan sebelum adik tirinya tersebut menikahi Bia secara resmi, wanita itu menjadi bagian dari keluarga Atmadja. Itu sudah menjadi titah tak terucap dari seorang Al Biru Atmadja.

Bia menyelipkan rambutnya ke balik telinga, dengan gerakan yang begitu lembut dan memastikan cincin di jari manisnya terpampang jelas oleh pandangan Erum. "Apakah kakak sudah siap?" Bia sengaja menekan kata kakak sebagai panggilan kepada Erum.

"K-kau memanggilku apa?" desis Erum dengan bibir yang nyaris tak bergerak.

"Sebentar lagi kita secara resmi akan menjadi pasangan kakak beradik. Saya harus membiasakan diri dengan cepat, bukan? Kakak?" Sekali lagi Bia menekankan panggilan tersebut dengan sangat jelas.

Bibir Erum menipis keras. Kedua tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Menekan kuat-kuat keinginan untuk menampar bibir Bia. Jika ia menyentuh seujung kuku wanita ini, itu adalah sebuah penantangan untuk Al Biru. Sepertinya ia memang butuh usaha lebih keras untuk menyingkirkan Bia. Baiklah, kita akan lihat siapa yang akan bertahan hingga akhir nanti.

"Kita berangkat sekarang?" Bia mengambil tasnya dan bangkit berdiri. Berjalan mendahului Erum ke arah pintu.

Erum masih terpaku di sofa dengan tatapan tajamnya yang mengikuti punggung Bia. Kedua tangannya masih mengepal kuat di atas pangkuannya. Butuh beberapa saat baginya untuk melonggarkan ketegangan emodi di dadanya. Sebelum kemudian menyusul Bia yang sudah menunggu di depan pintu kamar yang terbuka.

***

Bia tak melewatkan kesempatan untuk menikmati semua kemewahan yang diberikan Al Biru dengan kartu ajaib berwarna hitam yang sudah ada dalam genggamannya. Hari pernikahan tak lebih dari dua minggu, jadi ia hanya membeli gaun pengantin yang sudah jadi. Seolah sudah berjodoh, gaun pengantin terbaik di butik istimewa tersebut sudah dikhususkan untuknya. Ukurannya pas dan terlihat sempurna di tubuhnya. Tak perlu menyesuaikan lagi. Pandangan Bia mengedar ke seluruh ruangan yang luas. Lebih luas dari kamarnya sebelum rumah kedua orang tuanya disita bank. Dan tentu saja ini adalah kamar utama di rumah ini. Sekarang ia sudah menjadi Nyonya Atmadja. Bia Atmadja. Rasanya napasnya telah kembali meski tak cukup melegakannya. Semuanya baru saja dimulai.

Al Biru sudah mengatakan acara pernikahan mereka akan dilangsungkan secara pribadi, tetapi resepsi jelas berbanding terbalik. Al Biru mempercayakan pesta yang terbaik pada Erum. Dan Erum sendiri meski membenci rencana pernikahan ini, tetap saja ia tak bisa menggores kepercayaan yang sudah diberikan Al Biru kepadanya. Ia merancang pesta tersebut jauh lebih baik dari pernikahan Bastian dan Chellyn. Yang tentu saja membuat menantunya itu berang bukan main.

"Lakukan saja apa yang mama inginkan, Chellyn. Apa kau mengerti?" tegas Erum pada sang menantu yang menolak ketika diminta untuk mengukur gaun yang akan digunakan dalam acara resepsi pernikahan Al Biru dan Bia bersama Bastian di butik.

"Tapi ini berlebihan, Ma. Gaun itu jelas gaun terbaik yang ada di lemari Chellyn. Dan Chellyn harus mengenakannya di hari pernikahan Bia? Tidak akan pernah." Tanya Chelly dengan jawabannya sendiri.

Erum mendesah pendek, mulai kesal dengan sang menantu yang ternyata lebih rewel dari perkiraannya. "Kau pergi ke butik sekarang atau kau akan mempermalukan mama di hadapan Al Biru?" Kali ini suara Erum lebih tegas. "Pikirkan apa yang Al Biru katakan jika kau tidak mengenakan gaun yang senada dengan semua anggota keluarga? Kecuali kau memang bukan bagian dari kami semua."

Chellyn menutup mulutnya kembali karena kehilangan kata-kata Erum. Dengan wajah memberengut menahan kesal, Chellyn pun bangkit berdiri dan berjalan ke arah tangga. Pergi ke kamarnya dan bersiap pergi ke butik.

***

Tanpa terasa, hari pernikahan semakin dekat. Chellyn dan Faida tak berkutik dengan rencana yang hampir sempurna tersebut. Seolah belum cukup kedongkolannya terhadap Bia, malam hari menjelang pernikahan Erum menugaskan keduanya ke hotel tempat Bia menginap untuk menemani wanita itu ke rumah di esok paginya.

Alasannya karena hanya Faida dan Chellynlah satu-satunya anggota keluarga Bia yang tersisa. Dan mereka tak boleh menunjukkan hubungan buruk mereka di hadapan Al Biru. Terutama di acara bahagia pria itu. Bahkan Erum memastikan agar keduanya tak membuat masalah, karena bisa dipastikan semua itu akan membuat Al Biru marah kepadanya.

Jika ingin menyingkirkan Bia, keduanya tak punya pilihan selain menunggu. Meski Faida dan Chellyn begitu tak sabaran. Keduanya harus melewati cobaan berat ini lebih dulu sebelum mendepak Bia dari keluarga Atmadja.

Mereka sedang melintasi lobi hotel ketika langkah Chellyn mendadakn terhenti. Matanya terperangah melihat sesosok yang berdiri tak jauh dari keduanya. "Jeno?"

"Siapa Jeno?" tanya Faida mengikuti arah pandangan sang putri. Melihat seorang pria yang mengenakan pakaian santai dan rapi tampak menunggu di kursi tunggu.

"Teman Bastian. Kenapa dia ada di ...." Kalimat Chellyn terhenti ketika Bia muncul dari dalam lift. Chellyn menarik sang mama dan bersembunyi di balik pohon palem dengan pot yang besar. Kemudian keduanya mengintip, melihat Bia yang menghampiri Jeno.

Keduanya tampak bicara dengan serius, yang tak bisa didengar oleh Faida dan Chellyn. Chellyn dengan sigap mengambil ponselnya dan mengambil gambar tersebut.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Kita akan membutuhkannya." Chellyn terus mendapatkan gambar sebanyak mungkin yang bisa diambilnya, setelah dirasa cukup, ia pun memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Dengan kilat licik yang melintasi kedua matanya. Begitu pun dengan Faida yang akhirnya memahami niat sang putri.

Cukup lama keduanya menunggu hingga Jeno dan Bia selesai bicara. Kemudian kedua wanita itu bergegas menghampiri Bia yang hendak masuk ke dalam lift.

Kening Bia berkerut dengan kemunculan kedua wanita itu.

"Ya, mama mertuaku memintaku menemanimu ke rumah besok pagi. Bagaimana pun, kita tak mungkin menunjukkan hubungan kasih sayang yang buruk di hadapan Al Biru, kan?" Chellyn menjelaskan dengan kesongongan yang membuat Bia semakin jengah. Tak butuh meladeni sepupunya yang masih kekanakan ini.

Bia hanya memutar bola mata dan masuk ke dalam lift.

"Aku bertemu dengan Jeno di depan." Mulut Chellyn benar-benar gatal melihat sang sepupu yang sama sekali tak peduli dengan keberadaannya. Seolah keduanya adalah makhluk tak kasat mata. Bia memang paling handal membuatnya kesal dan dongkol. Bahkan keterdiaman wanita itu pun tetap saja mengusiknya.

"Apakah dia menemuimu?" Chellyn tak menyerah untuk membuat sang sepupu buka mulut.

Akan tetapi Bia masih tetap bergeming. Yang membuat Chellyn kehilangan kesabaran dan menyentakkan pundak sang sepupu. Memaksa untuk menatapnya.

"Apa kau tuli?!"

Bia pun tak kalah kasarnya ketika menyentakkan tangan Chellyn dari pundaknya, hingga sang sepupu terhuyung ke belakang dan ditangkap oleh Faida dengan gesit.

"Apa yang kau lakukan, Bia?" bentak Faida. "Kau tahu Chellyn sedang hamil, kan? Bagaimana kalau dia terjatuh?"

"Kau sengaja, kan? Ingin membunuh bayiku?"

Bia hanya mendengus tipis. "Tidak bisakah kau menahan diri untuk tidak ikut campur urusanku? Apakah sepenting itu urusanku bagimu, hah?"

Chellyn menggeram. Tangannya terasagatal ingin meraih rambut di kepala Bia, tapi sang mama segera menahannya.

Lift berhenti, Bia pun melangkah keluar dengan seringai tipisnya mencemooh sang sepupu. Dari balik punggungnya pun ia bisa mendengar suara rengekan Chellyn.

"Lihat, Ma. Bahkan dia belum menikah dengan Al Biru saja sudah sesombong itu. Apa yang akan terjadi jika dia benar-benar menjadi bagian dari keluarga Atmadja?"

"Erum sudah memperingatkan kita untuk menahan diri," bisik Faida pada Chellyn. Mengusap pundak Chellyn demi menenangkan emosi sang putri. "Erum pasti memiliki rencana yang lebih baik. Kita hanya perlu percaya padanya."

Chellyn pun terpaksa menuruti Faida. Meski hatinya masih dongkol bukan main.

***

Bia menutup pintu di belakangnya dan mendesah dengan gusar. Sejenak memikirkan pertanyaan Chellyn tentang Jeno. Apakah Chellyn tahu kalau Jeno datang ke gedung ini untuk menemuinya?

'Kenapa kau memintaku turun?'

Jeno mengeluarkan amplop putih dari dalam saku celananya. Amplop itu cukup panjang sehingga dilipat jadi dua. 'Mungkin kau perlu mengetahui tentang ini?'

Bia mengambil amplop tersebut 'Apa ini?'

'Kuharap ini bisa membantumu mengambil keputusan sebelum kau menikah, Bia.'

Bia memahami maksud Jeno, ia pun mengembalikan amplop tersebut pada Jeno. 'Kalau begitu aku tak memerlukannya.'

'Bia?'

'Aku tahu kau mengkhawatirkanku, Jeno. Tapi keputusanku sudah bulat.'

'Kau tak bisa mengorbankan hidupmu untuk membalas perbuatanmu pada Bastian.'

Bia hanya memberikan seulas senyum tipisnya. 'Aku tahu apa yang kulakukan, Jeno. Semua tidak sesederhana itu. Percayalah.'

Jeno menghela napas panjang. Menatap tekad kuat dan keras kepala di wajah Bia dan tahu tak akan bisa mengubah keputusan wanita itu. Ia pun mengambil tangan Bia dan meletakkan amplop tersebut di tangan Bia kembali. 'Kalau begitu, kau bisa membukanya kapan pun. Setelah atau sebelum pernikahan.'

Bia menatap amplop tersebut, tanpa mengangguk atau menolak, mmebiarkan Jeno meninggalkan amplop tersebut di tangannya.

'Aku tidak bisa datang di pestamu.'

Bia mengangguk, masih dengan seulas senyum tipis di bibirnya. 'Aku mengerti.'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro