Layer Ketiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita dengan tema Warung

*

Penat dengan hiruk pikuk kota metropolitan, bekerja 9 to 5 dari Senin sampai Jumat, aku mutuskan untuk menggunakan jatah cuti tahunanku sisa tahun lalu. Total ada enam hari, dan untungnya kepala divisiku sangat berbaik hari mempersilakanku untuk langsung menghabiskan jatah cuti itu dalam sekali waktu. Sebab, biasanya beberapa kepala divisi agak berat melepas anak-anaknya mengambil cuti apalagi di masa-masa workload yang sedang gila seperti sekarang.

Jumat sore, aku langsung tancap gas ke stasiun setelah mengambil koper yang sudah kusiapkan malam harinya. Kali ini, destinasi pertamaku bukan rumah Mama dan Papa, melainkan rumah Uti tersayang. Pikirku, berlibur ke rumah Uti yang masih berada di desa akan lebih mebuat ragaku segar dibanding berpindah dari kota metropolitan satu ke kota metropolitan yang lain.

Jadi, kurasa itu semua sudah cukup menjelaskan bagaimana akhirnya aku bisa berakhir di warung sembako Uti sejak pukul 9 pagi. Biasanya Uti ditemani oleh satu karyawan warungnya. Namun, sebab hari ini ada tetangga yang mulai hajatan pernikahan anak perempuannya, karyawan Uti yang juga masih tetangga Uti mengajukan ijin untuk tidak masuk kerja. Alhasil, satu hari penuh, aku yang menemani Uti di warung.

"Wuk, Uti mau nggoreng ayam sebentar, ya? Kamu nunggu di sini. Nanti kalau ada yang beli, terus kamu nggak tau harganya, masuk bentar ke rumah," ujar Uti sambil bersiap pulang ke rumah yang berada persis di samping warung.

"Siap, Uti," ujarku mantab.

Ternyata, oh ternyata, tidak berapa lama, ucapan sakral sudah menyahutku dari depan warung.

"Tumbas!" seru seorang wanita. Tumbas artinya beli.

Pembeli yang kutemui adalah wanita paruh baya yang kalau aku tidak salah ingat, rumahnya berada di belakang rumah Uti.

"Lho, Mbak Edelweis, ya?" seru beliau.

Aku terkekeh kecil sambil menjawab, "Iya, Budhe."

"Baru libur to ini?"

"Ambil cuti, Budhe. Kangen Uti," ujarku menanggapi ramah tamah beliau.

"Oalah iya, Mbak. Lha, terus, mana temannya kok nggak diajak?"

"Temennya nggak ikut cuti Budhe," ujarku masih belum memahami kode ala ibu-ibu.

"Lha kok nggak ikut cuti Mbak? Disuruh cuti no, biar dikenalin ke Uti sama tetangga di sini," ujar beliau menggebu-gebu. Beliau melanjutkan dengan volume lebih lirih, "Uti itu udah pengen nggendong cicit."

Oh.

Oh!

Tertawaku meledak. Tertawa karir, lebih tepatnya.

Uti, jangan nggoreng ayam lama-lama! []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro