10.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Loh, kok Minji Noona tidak ada?" begitulah pertanyaan yang keluar dari mulut Jungkook ketika dia tiba di kantor.

Yoongi yang sedang membaca tulisan Minji di komputer menjawab dengan santai.

"Cuti beberapa hari."

"Hah? Cuti? Maksudmu Noona liburan, begitu?" reaksi Jungkook benar-benar konyol dan terlihat seperti bocah. Taehyung memukul pelan kepala belakang Jungkook sehingga pria itu berdecak pelan.

"Masa kau tidak tahu cuti? Tahun lalu kan kau paling banyak cuti," sindir Taehyung sedikit kesal. Jungkook cemberut—lagi. Menghempaskan satu kantung belanjaan di pantry dengan tidak bersemangat. Dia bahkan mengeluarkan satu bungkus ramyeon hanya untuk dipandangi dengan nanar.

"Padahal aku sudah beli ramyeon pedas kesukaan Minji Noona." Terselip nada kecewa pada ucapan Jungkook. Yoongi menghela napas, terkadang dia merasa mempunyai satu orang anak yang perlu diajak bicara dari hati ke hati setiap hari.

"Hanya tiga hari, dia bilang begitu. Penulis itu butuh refreshing, tahu kan?" ujar Yoongi yang kelihatan masa bodo dengan wajah penuh tanya Jungkook.

"Lebih baik kau mengurus hal lain, pekerjaanmu masih banyak yang belum selesai."

Menghentakkan kaki kesal, Jungkook kembali ke meja kerjanya. Sementara Taehyung diam-diam mendengar informasi tentang Minji melalu percakapan tadi. Benaknya kembali digelayuti oleh dugaan. Apalagi belakangan dia merasa Minji benar-benar menyembunyikan suatu masalah.

Ketika Taehyung sibuk dengan pemikiran yang masih belum tentu benar, ponselnya bergetar. Nama Min Ahri muncul di permukaan layar, yang lantas membuat senyum Taehyung mengurai untuk beberapa detik.

~

Tiket kereta menuju Busan digenggam erat. Jonghun menepuk bahu Minji beberapa kali untuk menenangkan. Semalam dia datang ke apartemen Minji—seperti biasa. Minji pikir, akan ada celotehan menyebalkan tentang kencan buta lagi. Namun, tidak sama sekali. Ini kabar buruk, yang cukup membuat perut Minji melilit ketika mendengarnya.

"Kau pasti akan baik-baik saja di sana," kata Jonghun sambil merapatkan coat milik Minji. Adik perempuannya itu gelisah, dengan mata setengah bengkak dan sembab. Posisinya sulit, tapi dia benar-benar harus ke Busan.

"Ibu membutuhkanmu. Dia sakit dan ingin putri satu-satunya ada."

"Tapi—"

"Dia tetap Ayahmu, jangan mengelak lagi. Ini situasi kritis."

Minji akhirnya memeluk Jonghun. Dia sangat takut, jujur saja. Tiga tahun tidak pulang, dan sekarang dia harus mengatasi luka lamanya sendiri—tanpa bantuan Jonghun. Sejak semalam dia merengek agar Jonghun ikut dengannya, tapi jelas tidak mungkin. Kakak laki-lakinya itu sedang berusaha membuat lagu untuk soundtrack salah satu drama yang akan datang.

"Kau harus pergi, keretanya sudah datang."

Maka, dengan enggan Minji melangkah memasuki peron. Jonghun menatapnya dengan teduh, seolah mengatakan kau akan baik-baik saja melalui tatapan matanya itu. Minji akhirnya duduk di peron, bersebelahan dengan seseorang yang tertidur dan menutup diri hingga wajahnya tidak terlihat.

"Telepon aku kalau sudah sampai." Itu yang terbaca oleh Minji ketika kakaknya berbicara dan mengisyaratkan telepon dari jemarinya. Minji menghela napas dan mengangguk. Tak berapa lama, kereta mulai berjalan semakin cepat hingga Jonghun tak terlihat lagi.

Minji bersender di kursinya. Ingin menangis tapi rasanya air mata itu akan jatuh sia-sia. Menangis tidak merubah keadaan, dan ibunya benar-benar harus dijenguk. Baru saja Minji memutuskan untuk tidur, seonggok manusia di dalam selimut berwarna hitam itu menggeliat. Sedikit membuat Minji tidak nyaman karena pria itu benar-benar meregangkan tangan. Minji menepuk kasar jemari orang itu karena nyaris menusuk bola matanya. Dengan spontan selimut itu terbuka, memperlihatkan wajah setengah pucat yang menggeram keki.

"Loh, Park Jimin?"

Pria yang dipanggil Park Jimin itu mengambil kacamatanya lalu berseru seperti yang dilakukan oleh Minji.

"Kutu buk—ouch, maksudku, Minji?"

~

Taehyung bertemu lagi dengan Min Ahri seusai jam kerja. Gadis itu menyesuaikan diri dengan cepat, dan Taehyung tidak menduganya sama sekali. Dia pikir, Min Ahri adalah gadis yang pemalu—bahkan untuk menatap matanya. Namun, dia salah besar. Kebanyakan skinship hari ini berawal dari Min Ahri dan —sejujurnya— Taehyung sedikit risih akan hal itu.

"Tidak enak, ya?" tanya Min Ahri. Taehyung berdehem kaku lalu memilin spaghetti-nya dengan antusias, berusaha menampik kalau makanan itu terlihat tidak enak. Min Ahri tersenyum senang, kemudian mengelus punggung tangan Taehyung dengan lembut.

"Jadi, bagaimana rasanya jadi penulis tidak tetap?" tanya Taehyung untuk memecah keheningan diantara mereka.

"Maaf?"

Taehyung sedikit mengernyit dan berhenti mengunyah. "Yah, kakak sepupuku bilang kau penulis tidak tetap di kantornya. Aku ingin bertanya, bagaimana rasanya?"

Min Ahri hanya membuka mulutnya untuk beberapa saat karena terlalu terkejut. Pertanyaan itu sederhana, tapi cukup memutar otaknya. Apa rasanya jadi penulis? Padahal dia tidak bisa merangkai kata dengan baik. Well, bisa dibilang dia tidak berbakat sama sekali.

"Yah begitu," ujar Min Ahri, mengaduk spaghetti-nya asal. "Dihantui perasaan bertanya-tanya setiap hari 'kapan aku jadi penulis tetap' kira-kira begitu."

Sepertinya Taehyung puas dengan jawaban rasional itu, dia mengangguk paham dan meneguk minumannya. Sudah hampir jam sepuluh malam, dan Min Ahri tidak ada keinginan untuk pulang duluan.

"Lalu, kau bagaimana?" tanya gadis itu setelah mereka selesai makan dan berjalan-jalan sebentar.

"Bagaimana apanya?"

"Maksudku pekerjaanmu," kata Min Ahri berusaha untuk tenang.

Taehyung menghela napas. Dia memutar ulang memorinya yang sudah lalu. Sejauh ini, menjadi fotografer adalah sesuatu hal yang membuat hidupnya lebih baik.

"Aku senang. Kau dibayar untuk hobby-mu. Aku orang yang cukup beruntung, omong-omong." Taehyung terkekeh dan mengedipkan sebelah matanya pada Ahri. Gadis itu berdebar untuk alasan yang klasik, dan selanjutnya mereka sama-sama berjalan bersisian sambil menggenggam tangan.

"Well, kupikir aku mulai menyukaimu," kata Taehyung santai. Min Ahri tersenyum, tidak sadar dengan pipinya yang merona. Semenit kemudian dia mengecup pipi Taehyung. Sedikit mengumpat setelahnya karena perilaku agresif yang tak bisa dikontrol. Namun, siapa sangka kalau Taehyung menangkupkan jemarinya di pipi dan mulai mengecup labiumnya dengan lembut? Tidak ada yang menyangkanya—bahkan Taehyung sendiri.

"Maaf," ujarnya pelan. Menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sambil meringis. Min Ahri gemas, berakhir mengecup kilat bibir Taehyung dan tersenyum penuh arti.

"Boyfriend?" kata Min Ahri ragu.

Taehyung tidak tahu apakah dia benar-benar menyukai Min Ahri. Sejauh ini, gadis itu baik dan memenuhi kriterianya sebagai pasangan. Mengedikkan bahu dan mulai merangkul gadis itu dia berkata, "Sounds good, girlfriend."

~

Berkat Park Jimin, perjalanan tiga jam menuju Busan dengan kereta jadi menyenangkan. Minji tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan teman sekolah dasarnya dulu. Pria itu banyak berubah—tentu saja. Pipi chubby Jimin benar-benar menghilang, digantikan dengan pipi tirus dan tulang rahang yang terlalu tegas dan kentara.

"Jadi, ibumu sakit?" tanya Jimin setelah mereka turun dari kereta. Minji mengangguk lesu.

"Ya, begitu. Ini pertama kali aku pulang setelah tiga tahun."

Jimin membulatkan mulutnya—tak percaya.

"Pantas aku tidak pernah melihatmu. Yah, kupikir kau cuma malas keluar rumah. Tapi—wow tiga tahun?"

Minji memutar kedua bola matanya jemu. Reaksi berlebihan Jimin selalu membuatnya kesal. Lagi pula, banyak orang yang tidak pulang ke rumahnya bertahun-tahun lebih lama daripada Minji.

"Karena pekerjaan. Sudahlah, kenapa jadi membahasku, sih?"

"Penasaran. Kau kan jarang terlihat. Dan ini pertemuan kembali kita. Bagaimana membeli sesuatu dulu untuk ibumu? Aku ingin menjenguk, tidak enak kalau datang dengan tangan kosong," jelasnya panjang lebar. Minji mengeratkan tangan di ranselnya. Ide Jimin lumayan bagus juga, tapi itu berarti dia sedikit mengulur waktu untuk sampai ke rumah.

"Tenang saja, tidak akan lama. Aku janji, yuk!"

Dengan gamblangnya, Jimin menarik jemari Minji dan berlari bersama. Mau tak mau, tubuh Minji ikut terbawa dan kakinya dipaksa berlari mengikuti Park Jimin itu.

"Jangan terlalu cepat, bodoh!" teriak Minji yang tak diindahkan sama sekali oleh Jimin.

~

Double update nih :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro