#41

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kecewa.

Sekali lagi perasaan itu harus dirasakan Gendis. Kekecewaan yang pada akhirnya membawanya terisak di depan laptop yang masih menyala.

Untuk sekali ini Gendis nggak menyembunyikan isak tangisnya. Dibiarkannya perasaan kecewa itu lolos melalui celah bibirnya dan air mata yang membasahi pipi.

Suara langkah kaki mendekat tak membuatnya menghentikan tangis. Isaknya semakin keras begitu sang mama meraihnya ke dalam pelukan.

"Ma."

"Kenapa kak? Kenapa nangis?"

"Maaf," ujar Gendis lirih di antara isak tangisnya.

Mamanya menghela napas sejenak. Sebelum kemudian mengusap kepalanya yang tersandar di bahu sang mama.

"Nggak perlu ditangisi. Hidup nggak berhenti. Kamu masih muda. Masih banyak kesempatan."

Gendis mengangkat kepalanya dari bahu sang mama. "Maafin, Ma, maafin Gendis. Maafin Gendis nggak belajar bener-bener. Maafin Gendis nggak bisa banggain Mama."

"Mama selalu bangga sama kamu. Selalu. Nggak pa-pa kamu nggak kuliah di tempat prestisius, pada akhirnya skill dan kemampuan yang dilihat. Universitas Negeri bukan segalanya kan?"

Gendis diam menatap mamanya yang kini tersenyum. Senyuman teduh yang selalu bisa menenangkannya.

"Iya. Tapi kan, Ayah sama Mama pengen aku di sana."

"Manusia bisa berencana tapi tetep Tuhan yang menentukan. Mama tau kamu udah berusaha dan Mama juga yakin Ayah nggak bakal kecewa. Itu cuma tempat, sayang. Belajar kan bisa dimana aja."

Gendis bungkam. Isak tangisnya perlahan reda.

"Yang harus kamu selalu inget, nggak peduli berapa lama waktu atau dimana kamu belajar, asal semangat itu nggak pernah padam, kamu adalah pemenang," ucap sang mama penuh ketulusan yang terpancar lewat kedua matanya.

Gendis tertegun. Ia larut dalam senyum teduh dan pandangan menenangkan sang mama. Dua hal yang selalu Gendis cari ketika ia merasa hampir menyerah. Ia mungkin tak mengatakan apa pun perihal kekecewaannya pada sang mama, tapi sekedar menatap mamanya lama-lama itu sudah lebih cukup untuk menenangkannya.

"Ma. Makasih banyak. Makasih. Gendis sayang Mama." Gendis menghambur ke pelukan sang mama.

Mamanya balik memeluk erat. Pelukan hangat yang tak pernah berubah sejak dulu. "Mama juga sayang kamu. Jangan nangis nanti Mama ikut nangis nih."

Gendis tertawa kecil di sela air mata yang mengalir bersamaan dengan sebait doa agar mamanya selalu bisa bersamanya, selamanya.

Kedua mata Gendis tak sengaja menatap ke ambang pintu. Galang berdiri diam di sana dengan tatapan tenang.

Senyum Gendis terbit saat ia melihat bibir Galang bergerak mengucapkan sebaris kalimat tanpa suara.

"Gue selalu bangga sama lo."

Gendis menjatuhkan pilihannya pada sebuah universitas swasta yang terletak agak ke pinggir kota -berbatasan dengan kota sebelah-, sebuah universitas yang cukup punya 'nama'.

Setelah melalui perdebatan panjang dengan sang mama tentang biaya kuliah dan segala macam tetek bengek yang membuat Gendis awalnya menolak untuk kuliah di sana. Gendis tau mamanya pasti juga pusing memikirkan semua biaya yang harus dikeluarkan untuknya dan Galang. Mamanya cuma pegawai pabrik biasa dengan gaji pas-pasan, sedangkan biaya sekolah Galang dan biaya kuliahnya bisa dibilang lumayan mahal.

"Mama nggak pa-pa kerja keras, asal kakak sama Galang tetep dapet pendidikan yang bagus."

"Ini janji Mama ke Ayah. Tolong kamu ngertiin, Mama. Cukup kamu belajar dengan baik, itu udah bantu Mama. Masalah biaya itu urusan Mama."

"Mama tau kamu bisa. Ayo lah kak, jangan bikin Mama tambah pusing. Kamu sayang Mama kan?"

"Kalo lo nggak jadi kuliah di sana, gue nggak jadi sekolah di PN."

Kalimat penegasan sang mama dan ancaman Galang mengalahkan argumen Gendis.

Dan tebak siapa orang paling bahagia saat tau ia masuk di universitas itu, Zeva lah orangnya.

"Kan gue udah bilang kuliah di sini bareng sama gue. Kalo lo ada apa-apa kan gue bisa bantu. Ya kan?"

Gendis mengangguk masam pada Zeva yang tersenyum cerah dengan almamater warna navy yang membalut tubuhnya.

"Iya, iya. Jajanin gue lah," ucap Gendis setelah meletakkan tasnya di atas meja kantin fakultasnya yang sama dengan Zeva.

"Kurang ajar lo sama kating nyuruh-nyuruh."

Gendis cuma cengengesan sambil tangannya bergulir di atas layar ponsel. Matanya berhenti pada postingan terbaru teman-temannya di instagram.

Mara dengan senyum cerah mengenakan almamater warna kuningnya. Manda yang tersenyum lebar di antara banyak orang dan menandai akun universitasnya. Sekar dengan gayanya berfoto di depan lambang universitas yang terkenal itu.

Terbersit perasaan iri dalam hati Gendis. Teman-temannya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hidup mereka mudah dan selalu beruntung.

"Zee."

"Apa?" Zeva menoleh tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

"Lo pernah iri nggak sama temen-temen lo?"

"Iri?" Zeva mendongak, menatap Gendis tepat di mata. "Pernah lah. Kenapa emang?"

Gendis menghela napas panjang. "Kadang gue suka iri sama pencapaian temen-temen gue. Mereka selalu bisa di banggain, selalu bisa dapetin apa yang mereka pengen. Gue masih gini aja, masih struggling sama hidup gue dan semua impian-impian gue yang entah kapan bisa kesampean."

"Kenapa harus iri ketika ada banyak hal yang bisa lo syukuri?"

Gendis bungkam. Menunggu Zeva menjelaskan maksud dari perkataannya.

"Katanya lo nggak mau ninggalin nyokap, akhirnya lo nggak lolos PTN sama SBM dan tetep di sini kan. Kenapa nggak lo syukuri hal itu? Kenapa harus fokus sama hal lain yang cuma bikin lo nge-down?"

"Bukannya nggak bersyukur. Gue cuma ngerasa kurang, entah usaha gue atau doa-doa gue. Selalu aja hasilnya jauh dari temen-temen gue."

"Tiap orang punya jalan yang beda, punya waktu yang beda dan punya cerita yang beda-beda. Jalan lo masih panjang, Gul, nggak perlu nyesel atau stres."

Zeva menegakkan punggung lalu menatap Gendis lekat. "Hidup itu pilihan. Sekali lo milih jangan lo sesali. Nggak pa-pa lo sedih karena nggak bisa banggain nyokap lo, tapi jangan sampe lo sedih cuma gara-gara iri sama apa yang dipunya orang lain."

"Lo dulu juga gitu?" Gendis memicingkan mata.

Zeva mengangguk-angguk. "Iya, hidup gue dipenuhi rasa iri sejak orang tua gue cerai. Iri sama temen yang punya orang tua lengkap, iri sama temen yang kuliah di luar kota, iri sama betapa enaknya mereka pergi tanpa harus mikirin rumah. Perasaan iri itu bikin gue stres sendiri dan gue capek."

"Terus?"

"Yaudah. Gue nyoba buat nerima kenyataan aja, nerima pilihan yang gue pilih, dan bersyukur buat tiap hal yang gue punya."

Gendis menghela napas panjang. "Jadi dewasa nggak enak."

Zeva tertawa kecil. "Kesalahan terbesar gue adalah tumbuh lebih dari umur sepuluh tahun!"

Kalimat Zeva masih berputar di dalam otak Gendis yang memilih untuk singgah ke salah satu pusat perbelanjaan tak jauh dari tempatnya mengemban ilmu sekarang.

Gendis nggak punya tujuan khusus pergi ke sini. Ia hanya bosan dan ingin melupakan sejenak dari hal-hal yang memusingkan.

Sudah dua kali Gendis memutari mal ini. Dari masuk ke toko buku, masuk ke toko perawatan tubuh, bahkan ia sempat makan ayam goreng kekinian yang ternyata nggak terlalu enak itu sendirian. Terlihat menyedihkan memang tapi Gendis menikmati hal itu.

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam saat Gendis keluar dari mal untuk menyebrang karena angkot menuju rumahnya lewat di seberang jalan raya ini.

Gendis meneguk ludahnya ketika menyadari jika itu artinya ia harus melewati jembatan penyebrangan. Gendis dan ketinggian bukan dua hal yang cocok dipadukan, apalagi ini jembatan penyebrangan di atas jalan utama yang tak pernah sepi.

Duh, gimana nih? Apa naik ojek? Ah, sama aja harganya.

Larut dalam dilemanya membuat Gendis tak menyadari langkahnya sudah mendekat ke jembatan penyeberangan.

Sampe kapan lo mau takut sama jembatan? Coba keluar dari zona nyaman. Berani lawan ketakutan lo sendiri. Lo nggak akan nyesel.

Satu suara yang muncul tiba-tiba di dalam kepalanya membuat Gendis meringis. Nggak ada pilihan lain, Gendis akan melawan rasa takutnya ini.

Langkah pertama Gendis masih tegak. Sampai di atas jembatan Gendis masih bisa tersenyum. Dari tengah sampai ujung jembatan itu lah yang jadi lawan berat Gendis. Suara mobil dan kelebatan bayangan dari bawah sana membuat tubuh Gendis seolah terombang-ambing.

"Bentar lagi. Bentar lagi. Lo bisa, Ge. Lo bisa," ujar Gendis menyemangati dirinya sendiri dengan kedua telapak tangan terbuka. Ia berjalan seperti penguin.

Sampai diujung jembatan Gendis menghela napas panjang. "Berasa uji nyali."

Gendis menggelengkan kepalanya pelan sebelum kemudian turun dan menyetop angkot menuju rumahnya.

Klakson mobil yang terdengar begitu dekat menyentak Gendis yang otomatis langsung menoleh. Sebuah sedan hitam berhenti disusul kaca jendela yang terbuka.

"Masuk."

Gendis masih melongo di tepi trotoar. Menatap ke arah cowok yang menyuruhnya masuk barusan.

"Masuk. Ntar diklaksonin angkot belakang."

"Yoga?!" ujar Gendis dengan tatapan tak percaya. Siapa yang nggak kaget tiba-tiba cowok itu muncul dan menyuruhnya masuk ke mobilnya?

Tinnnn! Tinnn!

Yoga memberikan tatapan -tuh kan, gue bilang juga apa-.

Gendis masih berdiri dengan tatapan ragu. Sebelum kemudian teriakan abang angkot di belakang mobil Yoga memaksa Gendis membuka pintu.

"BURUAN! EMANG NIH JALAN PUNYA NENEK LO!"

Gendis mendengus. "IYA PUNYA NENEK MOYANG SAYA! APA?!" teriaknya pada abang angkot sebelum masuk ke mobil dan Yoga segera melajukan sedan hitamnya itu.

Gendis yang masih kesal itu menoleh begitu mendengar Yoga tertawa. "Apa lo ketawa?"

"Emang beneran nenek lo yang dulu punya jalan ini?" tanya Yoga dengan kekehan geli.

"Nenek moyang bangsa Indonesia ya nenek gue juga lah," jawab Gendis mengalihkan tatapannya ke luar jendela.

"Kok lo tau tadi gue?" tanya Gendis menatap Yoga sekilas.

"Tau aja."

"Oh. Lo dari mana emang?"

"Baru pulang kuliah. Lo juga kan?"

"Iya sih. Oiya, lo sama Mara kan barengan."

"Beda fakultas."

"Gue udah lama nggak ketemu Mara."

"Hmm."

Percakapan tanpa saling tatap itu usai saat mobil Yoga berbelok ke arah jalan rumah Gendis.

"Lo nggak nge-kos ya?" tanya Gendis lagi. Sebenarnya keki harus bertanya pada Yoga, tapi mau gimana lagi lebih baik mengobrol dari pada diam dan canggung.

"Nggak. Kasihan Aruna di rumah sendirian."

Gendis teringat adik Yoga yang juga teman Galang itu.

"Oh."

"Adek lo di PN juga?" Yoga melirik Gendis.

"Iya. Aruna juga?"

"Iya."

Gendis terkekeh. "PN sekolah turunan."

"Tadinya dia nggak mau di sana, tapi tiba-tiba mau."

"Oh ya? Kenapa nggak mau?"

"Males jadi bayangan gue katanya."

Gendis mengangguk-anggukan kepala. "Iya sih. Beban juga, pasti semua orang udah ekspektasi dia bakal kayak lo padahal kan tiap orang beda."

"Iya gue juga tau. Tapi cuma di PN gue masih bisa ngawasin dia."

"Lo punya mata-mata ya pasti," ujar Gendis memicingkan mata.

"Bukan mata-mata cuma orang yang di mintain tolong mantau Aruna."

Gendis mendecak. "Sama aja!"

Yoga terkekeh bertepatan dengan mobil yang berhenti di taman seberang rumah Gendis yang biasa dipakai untuk parkir.

"Makasih ya."

"Iya sama-sama."

Gendis tersenyum simpul lalu membuka pintu mobil. Dahinya berkerut saat melihat Yoga juga turun dari mobil.

"Lah kok lo ikut turun?"

"Emang nggak boleh?"

"Ya nggak sih, maksudnya kan-."

"Mau numpang sholat."

"Oh iya ya."

Gendis mengangguk dan berjalan lebih dulu. Yoga mengekor di belakangnya.

Rumahnya terlihat terang dengan semua lampu sudah menyala. Motor hitam Galang terparkir rapi di depan rumah.

"Assalamualaikum." Gendis mengucap salam sambil membuka pintu setelah melepas flatshoesnya.

"Waallaikumsalam!" sahut Galang dari dalam. Gendis masuk ke ruang keluarga, dan memang benar adiknya duduk di sofa bersama sepiring mie.

"Lo masak apa?"

"Masak mie rebus terus gue goreng lagi pake telor, bakso, sawi, wortel. Enak deh. Cobain nih."

Gendis duduk di samping Galang dan membuka mulut. Sesuap mie buatan sang adik meluncur mulus ke dalam mulut.

"Enak kan?"

"Hmm." Gendis mengangguk-angguk.

Tatapan Galang beralih ke belakang Gendis dan mengedik pada sang kakak meminta penjelasan.

Gendis menoleh dan meringis. Lupa kalau ada Yoga.

"Laper nggak? Galang abis masak mie nih enak."

Yoga mengangguk. "Iya tapi sholat dulu."

Gendis menunjuk pintu kamar mandi dekat dapur. "Di sana kamar mandinya, nanti sholatnya di kamar Galang."

Yoga kembali mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Galang langsung menatap Gendis dengan tatapan curiga.

"Kok lo bareng dia?"

"Ketemu di jalan."

"Masa?"

"Serius! Dah sana beresin kamar lo dulu." Gendis merebut piring dari tangan Galang.

"Ck."

Gendis terkekeh. "I love you!"

Galang bergidik dan masuk ke kamarnya setelah sebelumnya mendesis geli.

Holaaaaaaa
Kaget nggak gue update hari ini?
Nggak ya, yaudah dah
Gue lagi seneng jadi update deh ehehehehe

Makasih yaaaa buat yang udah nungguin dan selalu komen!
Ku senangggggg!

TERIMAKASIH BANYAKKKK!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro