#8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sore itu di sebuah ruangan yang berisi satu set sofa berwarna merah marun dengan meja bufet pendek yang di atasnya ada televisi layar datar di sudut ruangan dan di seberang itu ada pintu geser menuju halaman kecil di belakang rumah yang terisi tiang jemuran serta mesin cuci.

Dua orang yang ada di ruangan itu terfokus pada tayangan animasi di layar televisi yang menampakkan sosok laki-laki berambut kuning menyala dan mata biru terang.

"Itu siapa sih cewek yang rambutnya item panjang?"

"Yang itunya gede?"

Gendis mendengus. "Iya. Yang matanya gede."

Cowok yang berbaring di sofa panjang itu terkekeh. "Namanya Hinata."

"Dia siapanya Naruto?" tanya Gendis lagi. Melihat interaksi tokoh utama animasi itu dengan cewek berambut panjang yang terlihat dekat membuat Gendis penasaran.

Jarang-jarang juga Gendis mau menonton tayangan di televisi bersama adiknya. Cowok yang berbaring di sofa panjang itu adiknya. Satu-satunya saudara yang Gendis punya. Satu-satunya orang yang menjadi musuh, teman berdebat sekaligus penolongnya di saat apa pun. Galang Danu Prakasa.

"Hinata dari kecil suka sama Naruto, tapi Naruto nggak pernah peka, salah Hinata juga sih dia malu tiap ketemu Naruto," jelas Galang.

"Terus?"

"Yaudah tuh, lihat aja, akhirnya Naruto sadar sama perasaan Hinata dan dia juga suka sama Hinata."

Ada perasaan haru yang menyelubungi hati Gendis. Melihat bagaimana layar televisi itu menunjukan akhir bahagia dari sebuah perjalanan cinta yang rumit. Melalui potongan adegan flashback, Gendis seolah bisa merasakan kebahagiaan Hinata yang akhirnya perasaannya berbalas.

Mulai dari masa kecil mereka, Hinata diam-diam menyimpan kekaguman pada Naruto yang terus berkembang menjadi perasaan cinta. Hinata yang selalu ada untuk Naruto, menyimpan perasaan dalam diamnya dan rasa itu terus ada, tak berubah sejak mereka masih kanak-kanak sampai dewasa.

Dan sampai pada akhirnya Naruto mengatakan bahwa ia ingin menghabiskan seluruh sisa hidupnya bersama Hinata, menggenggam tangan gadis itu dan terus berlari bersama. Dengan tatapan mata penuh cinta, Naruto menggendong gadis berambut hitam itu dan terbang jauh ke langit.

"Jangan pernah lepaskan."

"Tak akan. Tak akan pernah ku lepaskan."

Akhir yang sangat manis, sangat amat manis untuk seorang Gendis sampai membuatnya berlelehan air mata.

Bagi Gendis itu adalah adegan termanis yang pernah dilihatnya selain adegan Jack yang memeluk Rose dari belakang di ujung kapal Titanic saat senja.

"Dih! Lo nangis? Lihat ginian lo nangis?" suara penuh rasa tak percaya dan wajah meledek itu membuat Gendis buru-buru mengusap air mata di pipinya.

"Berisik!" ujar Gendis cepat sebelum kemudian bangkit dan masuk ke dalam kamarnya.

Gendis melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Air mata terus mengalir di pipinya walaupun ia sudah membenamkan wajahnya di antara guling dan bantalnya.

Ada rasa sesak dalam dirinya yang menuntut dikeluarkan setelah sekian lama dipendamnya sendirian.

Gendis menangis sore itu. Menangisi kelemahannya yang sangat mudah terpancing emosi, menangisi hatinya yang belum juga bisa beralih dari sosok itu dan menangisi ketidakberuntungannya dalam hal cinta.

Tak seperti Hinata yang berakhir bahagia, kisah cintanya bahkan masih tanda tanya. Tanda tanya yang sepertinya hanya milik Gendis seorang karena Gendis yakin sosok itu bahkan nggak pernah menganggapnya ada.

Pagi ini awan menggantung rendah dengan warna kelabu yang membuat Gendis menatap langit cukup lama di samping pos satpam.

"Pertanda bakal ada yang nangis nih," ucap Gendis sambil melangkah menuju lobi belakang sekolahnya.

Pikiran Gendis melayang ke sore kemarin. Lalu senyum geli tersungging di bibirnya.

Kan lo yang kemarin nangis.

Saat pikirannya lurus seperti sekarang, kadang Gendis mentertawakan dirinya sendiri yang kadang terlalu sensitif. Hanya karena tayangan anime, ia sampai bisa menangis sesenggukan.

Walaupun alasan sebenarnya Gendis menangis bukan karena Hinata dan Naruto. Tapi, karena dia.

Dia yang telah begitu lama bertahta di hatinya.
Dia yang datang hanya untuk singgah.
Dia yang kemudian pergi tanpa kata perpisahan.
Dan dia yang membuat Gendis merutuki dirinya sendiri karena terlanjur jatuh hati terlalu dalam.

"Giza!"

Langkah Gendis kontan berhenti. Seiring dengan jantungnya yang juga berhenti berdetak sedetik sebelum kemudian berpacu lebih cepat.

Kenapa secepat ini? Gendis baru saja memikirkannya dan orang itu langsung muncul di dekatnya. Semesta sedang bercanda rupanya.

Mata Gendis sepenuhnya menatap ke depan. Perlahan ia menundukkan kepalanya dan menelan ludah. Beruntung ia berhenti di tepi koridor. Tak ada seorang pun yang menyadari bahwa Gendis mendadak jadi patung di sana.

Indra pendengarannya menangkap dengan jelas suara itu. Di tengah lalu lalang siswa-siswi di lobi belakang itu, Gendis masih bisa mengenali suara itu. Suara yang paling jelas terdengar di telinganya.

"Ck, lagian lo bego sih, kan udah gue bilang nggak kayak gitu caranya."

Kepala Gendis perlahan mendongak setelah suara itu menjauh. Matanya tertuju pada sosok itu.

Sosok cowok yang tengah berbincang serius dengan rekannya. Mengenakan jaket merah dan tas hitam  di punggungnya.

Dia masih sama. Masih tak terjangkau oleh tangannya. Bukan cuma fisik, tapi juga hatinya.

Gendis memasuki kelasnya dengan wajah datar. Baru setengah dari seluruh bangku yang sudah terisi. Termasuk Manda yang sudah berada di kursinya dan Sekar yang tumben terlihat sedikit berbeda hari ini.

Gendis akan menanyainya nanti.

"Pagi, Man," ujar Gendis menaruh tasnya di meja, lalu menyusul pantatnya di kursi.

Gendis kemudian menjatuhkan kepalanya di atas tasnya. Kedua matanya terpejam dan berusaha menstabilkan hatinya dengan menarik napas lalu mengembuskannya perlahan.

Gendis nggak pernah bisa merasa baik-baik saja tiap kali bertemu dengan dia. Walaupun faktanya cuma Gendis yang menyadari keberadaan cowok itu, sedangkan Gendis? Bias di matanya.

"Tumben lo udah dateng, Man."

"Iya, tadi nggak sengaja ketemu Giza di perempatan deket rumah pas nunggu ojek online. Terus disuruh bareng dia aja," terang Manda yang fokus pada ponselnya.

Betapa luar biasanya efek cowok itu bagi Gendis. Mendengar namanya saja, membuat Gendis langsung nggak berkutik. Dua kali di hari yang masih sepagi ini!

"Oh."

Respons Gendis yang datar itu membuat Manda mengalihkan fokusnya.

"Lo sama Giza tuh sebenernya kenapa sih, Ge?"

Gendis mendengus pelan. "Nggak kenapa-kenapa."

"Kalo nggak kenapa-kenapa, lo nggak mungkin langsung kabur tiap nggak sengaja ketemu."

Gendis mendecak. Tapi tak menjawab apa pun. Malas membahas hal-hal yang ujungnya akan menyakiti hatinya lebih dalam lagi.

"Lo ditanya diem aja, Giza ditanya juga jawabnya cuma ya gitu. Apanya yang gitu sih? Kalian tuh kenapa sih?" tanya Manda beruntun dengan nada frustasi.

Gendis menatap Manda sesaat sebelum kemudian menegakkan punggungnya.

"Udah. Nggak usah dipikirin. Cuma hal sepele."

Sepele. Tapi, tiap inget aja nangis. Dasar tukang bohong. Cibir satu suara di kepala Gendis.

Gendis meringis. Kenyataannya emang gitu, buat dia ini cuma hal sepele.

Kelas siang ini sepi. Semua orang pergi ke kantin, termasuk Mara dan Manda yang tak membawa bekal yang akhirnya pergi ke kantin bersama Rikza. Hanya tinggal Gendis dan Sekar seorang.

Gendis menatap lekat pada Sekar yang tumben jadi sangat pendiam. Gurat kesedihan begitu kentara di wajah chubby-nya tapi cewek itu nggak mau menampakannya. Orang lain bisa aja tertipu tapi tidak pada Gendis.

Gendis lebih dari tau ada hal yang nggak beres dengan temannya yang satu ini.

"Lo kenapa?"

"Apanya?"

"Ya lo kenapa? Tumben diem aja, nggak kayak biasanya," jawab Gendis setelah menelan nasi plus ayam gorengnya.

"Ah, nggak tuh, biasa aja."

Gendis mendengus. Nada yang Sekar gunakan pun berbeda dari biasanya.

"Sama orang lain lo bisa bohong, kalo sama gue nggak. Mau ngadalin kadal lo?"

Sekar tergelak. Kata-kata itu merupakan jargon Sekar. Dari semua orang yang pernah Gendis kenal, Sekar adalah orang yang paling jago masalah berbohong. Entah dari mana saja akalnya, Sekar selalu bisa mengelak dan semua orang percaya.

"Jadi?" tanya Gendis setelah menyuapkan sesendok nasi goreng yang jadi bekalnya hari ini.

"Jangan bahas ini, please," jawab Sekar dengan nada memohon.

Sontak Gendis mengalihkan tatapannya pada Sekar dan Gendis benar-benar terkejut melihat ekspresi Sekar sekarang. Pertama kalinya selama hampir dua tahun mereka dekat sebagai teman, Gendis baru kali ini melihat Sekar dengan wajah menahan tangis.

"Kenapa? Jangan nangis," ucap Gendis pelan dengan tepukan halus di lengan Sekar. Niatnya sih untuk menenangkan tapi semua itu malah berujung sebaliknya.

"Ah, Gendis jangan digituin, gue malah nangis nih." Air mata Sekar akhirnya jatuh. Bukan cuma setetes tapi sampai pada tetesan yang Gendis lupa menghitungnya.

"Ih, Sekar jangan nangis, nanti gue ikutan nangis nih," balas Gendis sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan. Menahan agar air matanya tak ikut turun.

Gendis nggak pernah tega melihat orang terdekatnya menangis. Apalagi untuk seorang Sekar, yang selalu terlihat ceria dan tak suka menunjukkan kesedihannya dengan air mata.

"Lagian lo sih, mancing mania." Sekar masih berusaha untuk melawak, berusaha untuk mentertawakan jokes recehnya itu tapi usahanya nggak berhasil, nyatanya air matanya masih saja turun.

"Jadi lo kenapa Sekar? Gue tau lo nggak baik-baik aja."

Gendis menatap lekat pada Sekar. Cewek itu menghela napas panjang dan mengusap air matanya sekali lagi.

"Lo tau kan kalo bentar lagi bakal ada turnamen taekwondo?"

Gendis mengangguk. Sekar sudah mengatakannya beberapa bulan lalu.

"Pelatih tuh percaya sama gue, minta gue buat ikut lagi dan udah daftarin nama gue."

"Terus?"

"Gue nggak tau ada apa sama nyokap gue, tiba-tiba dia tuh ngelarang gue latihan, Ge!"

"Kok?"

"Gue juga nggak tau. Minggu-minggu kemarin gue masih bisa ngumpet-ngumpet latihan. Tapi akhir-akhir ini nyokap tuh jadi yang bener-bener cuek."

"Lo udah nanya kenapa nyokap lo tiba-tiba kayak gitu?"

"Udah semua, Ge. Jawaban nyokap cuma dia tuh nggak pengen gue kecapekan terus pulang malem mulu gara-gara latihan."

"Tapi, sebelum-sebelumnya dia ngijinin lo aja kan?"

"Nah itu dia. Sebelumnya dia dukung banget sama kegiatan gue, tapi sekarang tuh kayak gitu. Gue nggak ngerti harus gimana." Nada pasrah Sekar yang terdengar jelas di telinga Gendis membuatnya meringis.

Ternyata selama ini Sekar menyembunyikan keresahannya sendirian.

"Gue nggak enak sama pelatih, dia tuh ngarepin gue banget karena terakhir kemarin gue dapet emas," lanjut Sekar setelah sebelumnya membersit hidung.

"Bilang aja ke nyokap kalo nama lo udah didaftarin," saran Gendis diplomatis.

"Udah, dan lo tau apa jawabannya?" tanya Sekar dengan air mata menggenang di pelupuk dan raut wajah menahan tangis.

Gendis menggeleng. Bibirnya terkatup rapat. Hatinya berkata hal ini lah yang membuat Sekar mengeluarkan air matanya.

"Terserah," ujar Sekar lirih lalu disusul tangis pelan.

Gendis berusaha untuk tersenyum walaupun rasanya ia ingin menangis juga.

"Nggak pernah, Ge, seumur hidup nyokap gue bilang terserah. Kalo kesel atau marah dia bakal ngomel tapi kali ini tuh dia udah diem," lanjut Sekar masih terus mengusap air mata yang membasahi pelupuknya.

Gendis mengangguk. Ini pasti berat untuk Sekar. Mengenal cewek di depannya ini hampir dua tahun membuat Gendis tau bagaimana keakraban Sekar dengan sang ibu. Mereka bukan tipe orang tua dan anak yang mengumbar kasih sayang, Sekar diperlakukan dengan cara yang sama seperti kedua kakak dan adik laki-lakinya, membuat Sekar menjadi sosok cewek pemberani. Tapi, di tiap cerita Sekar, Gendis tau ada kasih sayang mendalam dari sang ibu untuk anak perempuan satu-satunya dalam keluarga itu.

Gendis mengusap air matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum penyemangat.

"Bilang sama abang lo coba, tanya kenapa nyokap lo mendadak berubah pikiran."

"Ah, elah, mereka berdua sama sekali nggak bisa diharepin. Yang satu nggak peduli, yang satu anak nyokap banget," jawab Sekar menghapus air matanya kasar.

"Udah ah, nggak usah ngomongin ginian lagi. Gue nggak suka nangis-nangis gini."

Gendis tertawa kecil. Melihat wajah cemberut Sekar yang berlelehan air mata.

"Yaudah, lagian lo nangis."

"Lo duluan sih mancing," balas Sekar nggak mau kalah.

Lalu obrolan itu berlanjut dengan perdebatan siapa yang memulai acara tangis-menangis ini.

Episode animasi yang ditonton Gendis tuh The Last Naruto kalo nggak salah pokoknya yang akhirnya Naruto sama Hinata terbang sampe ke bulan gitu terus digendong
Ahhh aku baperrrrr!

Makasih udah baca, vote dan komen yaaaaaa!

Sengaja di upload pas malam minggu saat planet bekasi diguyur hujan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro