1. Runaway

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku kehilangan hitungan ketika pohon utuh pertama muncul, membelah kegelapan tanpa ujung yang sebelumnya menemani malam-malamku yang terjaga. Sambil menarik napas panjang untuk merenggangkan semua otot yang tanpa terasa sudah sangat kaku, aku bersandar di sebuah pohon yang tampak tak ada bedanya dengan pohon-pohon lain di sekitar kami.

Ah, tidak, Ratna, apa kau buta? Tingginya saja sudah berbeda. Daunnya berbeda. Besar batangnya saja juga sudah berbeda.

"Ya ampun...." gusarku di tengah sepi. Aku dan kemampuanku yang sangat payah di alam liar.

Tanganku tanpa sadar sedikit terkulai ketika beristirahat sejenak, menyibakkan buntalan kecil yang sejak perjalanan ini dimulai, tidak pernah pergi dari dekapanku. Aroma amis darah, daging, dan organ segar menyeruak ketika seprai itu tersibak meski tidak ada angin di sekeliling kami.

Segumpal daging itu masih tidak bergerak. Masih sama seperti kali terakhir aku mengeceknya. Merah dan kecil, bentukan itu bahkan tidak serupa Manusia, jika bukan karena bentuk jantungnya yang berdetak dan tengkorak kepalanya yang mulai terbentuk.

Tanganku menyentuh jaringan rapuh itu. Kasar seperti serat rami, tapi bergumpal seperti tepung yang dilarutkan. Noda merah tercetak di jari jemariku ketika menyentuhnya. Aroma darah membaui tubuhku sekali lagi.

Tidak salah lagi, jika bertemu Manusia, aku pasti akan disangka orang sinting dengan tendensi membunuh tingkat tinggi.

Untungnya, aku belum bertemu satu manusia mana pun sampai detik ini.

Tunggu, aku tidak seharusnya bersyukur untuk hal itu kan?

Yah, terserahlah. Aku tidak mau memusingkan hal sepele seperti itu saat ini.

Yang penting aku tidak bertemu Manusia. Tidak ada keadaan yang bertambah kacau. Bisa-bisa ada anggapan aneh atau malah lebih buruk, mereka akan melaporkan ke siapa saja kalau aku masih hidup sambil membawa-bawa potongan tubuh termutilasi. Dan sim salabim, aku akan jadi buronan bagi siapa pun yang cukup jeli pada rumor, padahal aku sedang menghindari rumor macam apa pun.

Dan itu bukan hanya karena keberadaan diriku.

Diam-diam, aku melirik gumpalan daging di dalam dekapanku. "Mungkin memang benar, segalanya akan lebih mudah jika aku meninggalkanmu saja,"

Tapi aku tidak bisa. Di sanalah kesalahannya.

Aku tidak bisa meninggalkan makhluk ini sendirian di tengah api yang melalapnya. Aku tidak bisa membiarkannya mati. Jadi di sinilah aku, ikut mati bersamanya sambil berusaha menjaga sisa nama baik agar tidak berakhir sebagai 'monster gila' sekali lagi. Sudah cukup di jaman Belanda aku mendapat julukan Monster gila untuk kali terakhir. Jangan lagi.

"Ah, masa lalu, ya?" Mataku memandang angkasa, memandangi bintang gemintang yang dalam mataku terlihat jauh lebih terang daripada yang mereka gambarkan di buku-buku. "Kalau kita punya banyak waktu, Eka, mungkin aku akan menceritakan sedikit soal masa lalu yang pernah melintas di negeri ini. Sebagian mungkin buruk. Sebagian besar sangat buruk, tapi ada...." Aku memejamkan mata, mengingat kata 'rumah' yang kini terpotret abadi sebagai sesuatu tak terlupakan dalam diriku. "Ada juga beberapa hal yang—

Suaraku terpotong sebuah denyut yang datang tiba-tiba.

Aku tersentak. Kemudian aku menunduk, memandangi segumpal daging di dalam pelukanku. Mataku menyipit, mencoba mengamati satu perubahan apa pun dari sana.

Tanganku meraba denyut di leher dan dada. Tidak ada denyut sekuat itu di dalam tubuhku. Tidak salah lagi, denyut tadi bukan berasal dariku. Tapi berasal dari mana? Dari Eka yang bahkan belum punya mata untuk mengedip ini?

Aku meraba jantung itu, pelan-pelan agar tidak merusak jaringannya. Tidak ada denyut spontan apa pun yang teraba tanganku. Tidak ada tanda kehidupan apa pun yang terlihat oleh mataku selain denyut lemah jantung itu yang sama sekali tidak berubah.

Perasaanku saja? Tidak. Tadi aku jelas merasakan gerakan otot.

"Sudah dua hari." Aku menghitung, lalu menghela napas.. Tanganku menutup tubuh Eka sekali lagi dengan seprai agar tidak dilihat mata mana pun yang tengah mengawasi di tengah hutan gelap ini. Tapi tak bisa kutampik, terus saja kutatap seprai itu, seolah dengan demikian, makhluk mungil di dalamnya bisa mendadak saja hidup dan bergerak sesuai harapanku sejak awal. "Sudah dua hari dan tidak ada perubahan."

Sudah dua hari dan berlalu sejak kami meninggalkan Jogjakarta. Dalam kasus yang biasa aku tangani, dua hari dari kematian satu Spesies Langka artinya mereka sudah menari dan berlari sebanyak yang bisa kaki mereka capai sekalipun di hari pertama, mereka ditemukan dalam keadaan hanya tinggal tulang belulang.

Sementara Eka, selama dua hari ini dia tidak banyak berubah. Tidak hidup kembali, tapi jelas pemulihan dirinya bukan sesuatu yang bisa dilakukan Budak normal. Albert sudah pasti tidak bisa pulih dari sesuatu seperti ini bahkan dengan darahku sebagai jaminannya. Kami berdua sudah melihat lima puluh lebih spesimen untuk ini.

Tapi gadis ini jelas sesuatu yang berbeda.

Tidak langsung hidup seperti Spesies Langka, tapi tidak langsung mati seperti halnya Budak. Hanya pertumbuhan jaringan dan tengkorak kepala. Selebihnya, belum ada perubahan sama sekali.

"Sudah jadi apa kamu sebenarnya ... Yureka Caiden?"

Percuma. Berapa kali pun aku menanyakan hal itu kepada diriku, memoriku, dan seluruh pengalamanku selama seribu tahun lebih hidup, tidak pernah ada jawaban yang mampu hadir.

Sesuatu seperti Eka terlahir setelah Perang Merah. Manusia buatan dari Spesies Langka. Kopian dari kopian Manusia Abadi.

Sesuatu yang bahkan tidak bisa dijamah oleh seribu tahun kehidupan. Satu-satunya kunci jawabanku adalah makhluk-makhluk kuno di luar sana yang paling tidak ingin aku temui saat ini.

Sekali lagi aku memandang sekeliling. Tidak lama lagi dunia akan segera berubah. Sekali lagi sejarah akan berputar kembali ke awal. Kembali menjadi tidak ada apa-apa, dan pena akan kembali terukir oleh sang pemenang.

Sekali lagi aku berada di persimpangan. Ingin berada di dalam bayangan yang terlupakan oleh sejarah kelam atau mengukir nama di atas semua lautan darah ini.

Biasnaya, tanpa perlu pikir dua kali, aku sudah akan dapat jawaban.

Kali ini, aku tidak begitu yakin.

Tidak, Ratna.

Saat ini ada peran lebih penting bagimu.

Sambil menanamkan pikiran itu ke dalam benak, aku mendekap tubuh mungil Eka lebih erat. Hanya sedikit lebih erat. Kemudian aku melirik ke sekitar, kali ini dengan tujuan pasti: berusaha mengenali vegetasi di sekelilingku.

Paman Zen dan Tante Rini sudah berkali-kali pindah, beberapa bahkan ke luar Pulau jawa. Dan karena aku tidak ingat sudah menyeberangi laut, ini pasti masih di dalam pulau Jawa.

Seharusnya aku sudah paham separuh dari pulau Jawa selama dua abad tinggal bersama mereka. Setidaknya aku seharusnya bisa tahu di mana aku singgah dengan melihat vegetasi atau suhu atau dialek yang digunakan oleh orang-orangnya.

Baiklah, syarat ketiga tidak mungkin karena tidak ada Manusia lewat. Syarat kedua juga tidak mungkin karena suhu apa pun tidak terasa di kulitku. Jadi hanya tinggal syarat yang pertama.

Syarat yang dengan sial harus aku akui, tidak berhasil sama sekali.

Kepalaku menunduk, lalu dengan gusar, aku menggeleng keras-keras saat tahu sudah gagal. "Semua tumbuhan ini terlihat sama saja!"

Dua hari, hanya itu info yang aku punya. Dua hari perjalanan tanpa henti dengan hanya dua jam istirahat di masing-masing hari. Dalam kecepatan paling tinggi yang bisa aku raih. Sejauh apa aku sudah berlari? Sejauh apa kakiku sudah membawaku?

Aku yakin sudah berlari secepat yang kakiku bisa capai. Tapi meski sudah kecepatan penuh kukeluarkan berkali-kali, ujung pulau jawa tidak jua terlihat.

Entah kami sudah berada di mana sekarang. Sudah di Jawa Timur ataukah masih di Jawa Tengah atau justru aku sudah salah arah dan malah berputar menuju Jawa Barat.

"Ya ampun..." Aku tidak henti memaki ketololan diri sendiri.

Padahal aku sudah sebisa mungkin mengikuti arah matahari terbit. Arah timur. Aku juga sudah menghindari basis-basis Manusia maupun persinggahan yang tampaknya dihuni oleh seseorang.

Tidak banyak yang bisa aku ketahui selain dari posisi kami sudah cukup aman dari perimeter Aruna atau Manusia mana pun.

Sekali lagi aku membaui udara, mencium dedaunan dan aroma hutan, aroma tanah, beberapa tikus tanah, dan beberapa bangkai binatang yang tidak begitu penting. Tidak ada aruna hidup di sekitar kami. Bagus. Aku mungkin tidak sepenuhnya salah kali ini. Semoga.

Yah, semoga saja penciumanku tidak begitu tumpul. Semua aroma darah dan api selama Jogjakarta membuat penciumanku sedikit ... bingung selama dua hari ini. Sekarang, setelah menyatu beberapa lama dengan dedaunan dan tanah sekali lagi, penciumanku sudah sedikit lebih baik.

Setidaknya itu yang aku rasakan. Tidak ada makhluk hidup di sekitar sini yang bisa aku jadikan bandingan.

Tiba-tiba angin berembus di belakangku, meniup sebagian rambutku. Jari jemariku menyentuh ujung helaian hitam itu, mendadak merasa gamang.

"Semuanya kembali sama."

Dua hari lalu rambut ini terbakar sampai nyaris tidak bersisa. Kepalaku bahkan sudah meleleh sebagian. Tapi sekarang rambut ini kembali utuh dan panjang. Dalam waktu satu malam saja. Ketika aku membuka mata di pagi harinya, rambut ini sudah kembali tumbuh ke ukuran, ketebalan, dan panjang yang sama.

Persis seperti saat aku pertama kali mati.

"Segalanya berhenti...." Aku menatap ke langit yang kelam kelabu sembari melantunkan kembali pengetahuan yang kudapat dari masa lalu itu. "Setelah kematian pertama."

Aku menoleh sekali lagi ke arah langit. Berbeda dari langit kelam di Jogjakarta, langit di atas kepalaku dipenuhi bintang gemintang yang bekerlap-kerlip tanpa terhalang polusi cahaya apa pun. Itu artinya kami sudah jauh dari Jogjakarta, tapi jauh ke arah mana, itulah yang harus aku tahu segera.

Aku bangkit berdiri. Sekali lagi berniat melanjutkan perjalanan. Kugerakkan kedua kaki dan tangan, merasakan keempatnya kini bisa digerakkan dengan sedikit lebih bebas dari sebelumnya.

Mataku memandangi sekeliling. Mencoba mencari arah yang tadi hendak aku tuju sebelum beristirahat.

Gagal. Aku tidak tahu dari mana tadi aku datang.

Untuk kesekian kali, aku memaki dalam helaan napas: "Aku benar-benar benci diriku sendiri."

Angin berembus di sekelilingku, membawa aroma yang berbeda di setiap arah. Kebanyakan beraroma darah, tapi ada aroma air, hutan, dan tanah yang bisa aku ikuti, meski tidak tahu pasti ke mana arah itu akan membawaku.

Air. Sebaiknya aku pergi ke tempat aroma air itu berasal. Tidak terdengar suara sungai, tapi semoga itu memang sumber air.

"Baiklah." Aku menunduk ke arah buntalan seprai di dekapanku. "Kita berangkat, Eka."

Tanpa buang waktu, aku segera meraih sisa tubuh Eka dan mendekapnya. Merangkulnya dengan kehati-hatian yang membuatku sendiri terkejut. Aku bangkit berdiri, membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapan, lalu menghadap ke arah yang kuyakinin sebagai arah timur dan mengambil satu langkah.

Namun mendadak semuanya berubah gelap.

***

"Mengakulah! Kau membunuh dua orang keluarga Bertrand dengan sihirmu yang keji!"

Satu ember air es sekali lagi tersiram ke kepalaku. Pecahan balok-baloknya yang keras sempat terjatuh ke atas rambutku sebelum jatuh berkelontang ke lantai.

Bahkan dalam keadaan hanya diterangi sebuah lilin yang nyaris padam seperti ini, aku bisa melihat dengan jelas jari jemari kakiku yang telanjang dan membiru. Mereka berangsur-angsur pulih. Di lantai batu di bawah kaki, aku bisa melihat setiap guratan dan retakan, begitu pun dengan beberapa lembar daun lumut kecil yang sudah tumbuh menembus batu yang rapat di bawah sana, hidup dari air es yang mengalir dari proses pencairan dua ember es batu yang masing-masing merendam kakiku.

Sedikit, aku menggerakkan kaki, melihat anak-anak sungai memerah di permukaan es batu dan di bawah kakiku. Guratan merah itu juga muncul di jari kakiku yang pucat, tepat di kulitku yang sobek.

Kelihatannya kulitku terkelupas karena menempel dengan salah satu balok.

Kepalaku disentak, dipaksa untuk menghadap ke depan. Bertatapan dalam jarak dekat dengan seorang pria berkepala plontos dan berkumis tebal. Ia berbau seperti keringat, besi berkarat, dan jamur yang biasanya ada di makan siang yang lupa kumakan. Alis pria itu turun. Mulutnya berkoar di bawah kumis hitamnya yang tebal, meneriakkan sumpah serapah yang tidak aku mengerti untuk siapa.

"Mengakulah kalau kau penyihir!"

"Tidak."

Kepalaku dihantam ember besi kuat-kuat. Darah mengucur dari kepalaku, tapi sebelum sempat menetes ke wajah, luka itu sudah pulih. Pria ini tidak menyadarinya.

"Pembohong!"

"Tidak."

Sekali lagi satu ember es disiramkan ke kepalaku. "Kau membunuh keluarga Bertrand di tengah malam! Kau meminum darah anak bungsu mereka yang masih di timangan seperti binatang!"

"Bukan aku."

Hanya karena tetangga Nyonya Bertrand pernah melihatku bermain dengan putri kecil mereka sehari sebelu terbunuh, aku berakhir di sini.

Hanya karena tidak ada satu pun warga desa yang mengenalku, aku diikat di kursi ini.

Mereka semua bahkan tidak menaruh perhatian sedikit pun kepada dua orang desa yang sama misteriusnya denganku, tapi mendadak lenyap di tengah semua kekacauan akibat kematian tragis satu keluarga ini. Mereka hanya menjadikan kehilangan itu sebagai dakwaan tambahan untukku, menuduhku ikut menghabisi nyawa dua pengembara baik hati yang singgah di desa terpencil ini.

"Kalau bukan kau, lantas siapa?" Pria itu menjambak rambutku. "Oh, apa pria yang bersamamu itu? Pria yang mengasuhmu seperti anak anjing? Dia otak di balik semua ini?"

"Bukan!"

Aku tidak sengaja membelalak ke arahnya. Aku bahkan tidak sengaja menukas dan mengatakan jawaban itu dengan nada yang terlalu tegas, tapi aku tidak menyesal. Tidak sekalipun imbalannya adalah satu tinju di wajah.

Tuan Klaus tidak bersalah. Beliau mungkin memang terlalu keras kepala karena tidak ingin pindah dari tempat ini secepatnya sesuai saranku, tapi dia sedang berusaha. Dia sedang menangkap dua makhluk yang buron itu. Dia sedang berusaha membersihkan namaku.

Dia sedang berusaha melindungiku.

Seperti biasanya.

"Ini urusanku." Pesan Tuan Klaus sebelum pergi, bergema di dalam kepalaku. "Urusanmu adalah jangan biarkan satu pun dari penduduk desa terluka."

Sumpah serapah kembali mengalir. Air yang dingin kembali menghujani kepalaku sampai aku yakin rambut-rambutku ikut meluruh.

Kemudian air di sekitar kakiku berubah menjadi pasir. Seperti air, mereka mengalir ke sekelilingku, memenuhi tubuhku yang terikat di kursi. Aku mendongak, tapi cahaya menyilaukan di atas sana terlalu menghalangi pandanganku.

Jangan melukai ataupun membiarkan mereka terluka. Apa pun risikonya.

Segerombolan kalajengking hitam jatuh ke atas pasir. Kaki-kaki mereka yang gesit segera membawa mereka kepadaku. Pasir sudah membenamkan tubuhku sampai ke pinggang.

"Karena kau anak-anakku mati!"

Mulutku dimasuki pasir. Kemudian dari dalam lautan keemasan yang mematikan itu, keluar lusinan ular berbisa yang menatap nyalak ke arahku. Mulut mereka semua membuka saat menyambarku tanpa ampun.

Mereka hanyalah makhluk lemah yang bisa kau bunuh dalam sekali sentuh.

Pasir berembus ke sekeliling mataku, berubah dalam sekali sapuan menjadi jilatan api yang membara. Merahnya memenuhi pandanganku. Seperti seluruh kota Jogjakarta yang terbakar api. Tubuhku tidak bisa bergerak. Kaki dan tanganku diikat, disalib di atas kayu yang dikelilingi api. Mulutku disumpal. Tubuhku dirantai. Tidak boleh menyatakan satu kebohongan apa pun.

"Karena kau, panen di desa kami hancur setiap bulannya!"

Kemudian suara jeritan memekakkan telingaku. Angin berembus di sekeliling tubuhku, meniup semua api itu menjauh. Meluruhkan salib yang menyegel dan rantai yang membelenggu tubuhku. Dalam sekejap, aku terlantar di sebuah padang kosong tempat darah dan mayat bergelimangan seperti air dan bebatuan di sungai yang mengalir jernih.

Kau adalah kesalahan.

Aku menunduk, melihat kepala Edric menatapku dengan pandangan kosong. Senyum terukir abadi di bibirnya. Senyum yang aku tidak yakin pernah ada di bibirnya saat kami berada di titik ini, seribu tahun lalu.

Kau bisa membunuh mereka.

Aku menengok ke arah kiri, melihat Tuan Klaus membantu ratusan=-ribuan manusia yang selamat dan berduka. Membantu mengubur seluruh kerabat mereka yang tewas secara mengerikan di tangan satu orang.

Di tangan satu orang yang bahkan tidak pernah mendapat pemakaman yang layak.

Tidak, Ratna. Beliau tidak bermaksud demikian. Tuan Klaus hanya belum sempat, karena itu Edric tidak terurus seperti ini. Beliau hanya sedang kerepotan. Jika sudah tidak repot, beliau pasti akan ke mari. Beliau pasti akan datang, seperti sebelum-sebelumnya. Beliau selalu datang bukan?

Aku tersenyum pada kehampaan. Tubuhku jatuh berlutut di atas genangan darah. Di atas sisa-sisa pertempuran. Pandanganku menoleh ke sekeliling. Tidak melihat siapa pun di sekelilingku.

Tidak ada Albert. Tidak ada Lydia.

Ah, tentu saja. Mereka sedang berduka. Mereka sedang memakamkan seluruh keluarga mereka.

"Kasihan Albert ... Kasihan Lydia...." Mereka kehilangan seluruh keluarga dalam satu malam. Kehilangan satu desa. Lebih dari yang bisa aku bayangkan.

Satu desa. Itu pasti jumlah yang sangat banyak.

"Ratna pasti sedih ya?" Suara Edric bergema dalam kepalaku. Satu-satunya yang bisa ia tinggalkan di dalam diriku. Satu-satunya yang tidak akan tergerus oleh apa pun. "Ratna cantik kalau menangis, tapi aku lebih suka Ratna yang tersenyum ceria."

Sekali lagi, semua karena aku tidak patuh. Aku menolong putri Bertrand. Semua karena aku berteman dengan anak-anak di desa. Semua karena aku bertemu Edric. Semua karena aku memercayainya.

Makhluk-makhluk itu memangsa penduduk karena aku memancing menunjukkan jalan kepada mereka yang sedang terluka menuju desa terdekat. Kelaparan itu terjadi karena aku percaya pada makhluk yang salah. Monster-monster ini hadir karena aku membiarkan Edric.

Semua karena aku tidak patuh. Sekali lagi karena aku tidak mendengarkan nasihat Tuan Klaus.

"Jangan mendekati Manusia. Mereka makhluk rapuh yang lemah. Kau bisa menyakiti mereka."

***

Aku membuka mata dengan lemah. Kegelapan menyambut mataku. Kedipan pertama, kegelapan berubah menjadi lembayung. Kedipan kedua, cahaya bulan membentuk siluet hutan secara lengkap. Kedipan ketiga, kesadaranku menyatu dengan pikiran.

Apa yang terjadi?

Dengan pertanyaan itu menggelayut, perlahan aku bangkit dan duduk. Di atas tanah gembur yang sama dan rerumputan yang sama dengan yang terakhir kali aku ingat.

Ah, benar. Aku sebelumnya ada di hutan. Benakku yang berkejaran saling membentuk benang merah antara satu keeping kejadian ke kejadian dalam kecepatan yang bahkan akan membuat diriku di masa lalu kagum: aku sedang mencari jalan untuk menjauh dari Jogjakarta. Aku tersesat dengan Eka ada bersamaku.

Eka!

Buru-buru aku menunduk mengecek kedua tanganku sendiri. Buntalan seprai itu masih ada di dekapanku. Cepat-cepat kusingkap sedikit seprai itu. Napas lega segera keluar dari mulutku ketika isinya masih utuh. Hidup, berdetak, dan utuh. Bahkan kali ini aku melihat ada daging yang tumbuh di tengkoraknya. Kemajuankah itu? Entahlah. Benakku dipenuhi kelegaan yang terlalu berlimpah sampai aku tidak bisa menduga-duga perasaanku sendiri.

Selesai mencari tahu soal kondisi sendiri, mataku menjelajah sekitar. Lagi-lagi di hutan. Tanganku meraba-raba tempatku berbaring. Tanah gembur berlapis rerumputan dan dedaunan kering yang sama. Aku menghirup: aroma yang sama.

Aku kelihatannya tidak bergerak sama sekali.

Pingsan. Ah, benar juga. Itu istilahnya. Tidak sadarkan diri. Aku baru saja kehilangan kesadarn dan jatuh.

Sudah berapa lama aku pingsan di tempat ini? Terjebak di tempat ini?

Kuharap tidak begitu lama.

Aku memandang langit, melihat semburat biru di kejauhan. Mungkin memang tidak begitu lama. Aku ingat tadi masih malam. Pasti hanya beberapa jam.

Tapi, apa yang terjadi? Benakku yang masih keheranan bertanya-tanya.

Aku menatap tangan sendiri, melakukan kebiasaan yang selalu kulakukan setiap kali ada keanehan terjadi pada tubuhku. Kugerakkan jari jemari itu ke depan dan belakang, mengepal dan membuka. Tidak merasakan keanehan apa pun darinya. Aku mencubit tangan sendiri, lalu sedikit membengkokkan jariku. Pulih seperti sedia kala dalam kecepatan yang sama.

Tidak ada yang salah.

Tapi aku ingat aku terjatuh begitu saja. Kegelapan itu datang begitu cepat. Seperti jatuh dari langit. Seperti tirai yang tertutup dan jatuh begitu saja dari panggung teater yang sedang berlangsung, memotong adegan apa pun yang sedang dipentaskan di atas panggung.

Tidak, itu bisa dipikirkan lain kali. Selama tidak terjadi lagi dan aku berhati-hati, aku tidak perlu khawatir pada hal-hal yang tidak perlu.

"Belajarlah untuk fokus, Ratna."

Benar. Fokus. Seperti kata ... ah, benar juga. Sekarang aku ingat.

Angin tiba-tiba berembus di belakang leherku. Embusannya menerbangkan sebagian rambutku dengan lembut, membawa serta aroma lain yang tidak diundang. Aroma yang sebelumnya jauh dari radar penciumanku yang entah bagaimana sempat menurun tadi.

Tidak, bukan hanya penciuman. Telingaku juga tidak mendengar suaranya. Aku menghirup udara sekali lagi dan hanya aroma tanah dan aroma hutan yang tercium.

Sementara aroma ia yang berdiri tepat di belakangku sama sekali tidak tercium.

Ini benar-benar sesuatu yang salah.

"Setelah tidak sadar selama tiga hari di sana, kau mau pergi begitu saja?" Suara familier seorang pria menegurku. Suaranya terdengar sangat dekat. Paling tidak ada dua langkah di belakangku. Dan bahkan tanpa perlu berbalik, aku bisa menduga ekspresi apa yang sedang dibuatnya saat ini. "Bahkan belum ada satu menit sejak kamu tersadar."

Tiga hari?

Telingaku berjingkat menyadari fakta yang terlambat sampai ke otakku itu. Sambil mengernyit, menyembunyikan seluruh pertanyaan dari wajah, aku berbalik dan tersenyum.

Pria itu masih sama seperti kali terakhir kami bertemu. Setelannya polos hitam sederhana dengan seuntai syal merah rajutan tangan melingkari lehernya tanpa pernah absen. Dia bukan makhluk yang peka akan suhu dingin, tapi syal itu selalu menyelimuti lehernya seperti kulit kedua. Dan aku tidak pernah bisa tahu apa sebabnya.

Meski demikian, sedikit privasi itu tidak pernah mengubah apa pun di antara kami.

Aku masih saja seorang gadis yang suka tersenyum di hadapannya. Dan dia, masih saja pria yang terjebak abadi di tubuh seorang pria berwajah terlalu ketus. Alisnya yang senantiasa berkerut, bibirnya yang tidak pernah tersenyum, dan posturnya yang selalu siaga untuk menyerang itu tidak pernah sedikit pun lepas dari dirinya, kelihatannya. Bahkan selama momen singkat kami tidak bertemu.

"Tidakkah kau sedikit memaksakan diri?" Pria itu menegurku sementara mataku turun, terpaku pada sepatu gunung yang beliau kenakan. Berlumur tanah dan lumpur. Begitu pula dengan ujung celana hitamnya yang basah penuh rumput yang menempel ke bahan itu karena embun. "Ratna."

Ketika namaku dipanggil, aku kembali menaikkan pandangan. Bersitatap dengan sepasang mata merah yang kini seolah ingin mengulitiku hidup-hidup itu.

"Senang melihat Anda selamat," sapaku, mengundang sedikit lompatan alis pada mata merah itu. Apa Beliau mengira aku tidak akan bicara? "Tuan Ananta."

***

A/N:

Saya mau lompat-lompat karena ini chap pertama, tapi mengingat saya bukan tipe yang cocok dilihat melompat-lompat, saya diem-diem aja deh.

Di chapter pertama, saya langsung bikin rencana Ratna berantakan. Saya author yang sangat baik. Itu sudah pasti. 

Silakan tinggalkan vote, komentar, dan see you next chap! Jangan lupa tinggalkan doa semoga saya nggak khilaf delete cerita ini. Berhubung covernya bikin saya malu setiap malam. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro