18. Crossroads

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ratna.

Artinya permata yang cantik.

Edric yang memberitahuku arti nama itu. Sebuah nama dari negeri jauh yang diapit dua samudera. Sebuah nama yang datang dari tempat asalku berada, jauh dari tempat kami saling bertemu hari itu. Sangat jauh.

Ah, sejauh apa?

Aku tidak mengukurnya. Tidak sempat. Tidak tahu juga caranya waktu itu. Yang aku tahu, aku hanya melangkah dan terus melangkah mengikuti Tuan Klaus. Mengikuti jubahnya yang mengayun tertiup angin. Semi, hujan, panas, gugur ketika dedaunan memerah, bahkan ketika salju menutupi daratan, aku terus mengikutinya.

Tanpa pernah menyentuhnya.

Tanpa pernah berani berdiri di sisinya.

Karena setiap kali aku ada dalam pandangan matanya atau ketika kami tidak sengaja bersitatap, aku akan selalu menemui sorot itu di matanya.

Sorot yang pahit. Seperti seseorang yang ... terpaksa melihat sesuatu yang tidak ia inginkan.

Ah, ya, itu mungkin penggambaran yang tepat.

Analogi.

Benar, sebuah perumpamaan.

Betapa selama ini aku selalu kesulitan menemukan apa arti sebuah perumpamaan. Apa gunanya sebuah perumpamaan? Kenapa semua orang menggunakannya?

Hanya ketika aku kebingungan aku memahaminya.

Perumpamaan digunakan untuk bisa memahami lebih jelas tentang sesuatu yang berada di luar pemahaman. Pendekatan, jika mengutip istilah orang-orang pintar di luar sana. Menarik seseorang ke dalam posisi mereka untuk sekadar berbagi simpati. Agar bisa saling memahami. Sedikit lebih mengerti.

Untuk orang yang tidak tahu apa-apa sepertiku dan ... tidak pandai belajar, perumpamaan membantu.

Tentu saja, ini aku pelajari lama setelah peristiwa dengan Tuan Klaus. Lama sekali ... bahkan ketika Ghalih dan Adit masih kecil pun, aku masih belum bisa memahaminya.

"Aneh, bukan?" Aku mendongak pada langit yang berubah senja. "Makhluk berumur panjang, malah merasa hampir tidak memahami apa pun seumur hidupnya."

Meski bingung, satu senyum muncul di bibirku.

"Yah, tapi aku rasa itu wajar. Waktu dan kecepatan itu ... bukannya seharusnya memang berjalan beriringan, ya?" Aku menoleh ke belakang, tepat ke arah gadis yang sedari tadi sudah menunggu di balik bayang-bayang.

Eka berjalan perlahan ke arahku. Tanpa kata, tanpa mengalihkan pandang, lalu ia duduk di sisiku di tepi sungai kecil yang mengalir memisahkan hutan. Tepat di bawah dedaunan rimbun pepohonan. Tidak ada angin berembus. Tidak ada jejak pakaian yang tersisa menempel di tubuh kami.

"Muka lo kalut banget." Adalah komentar pertama Eka setelah ia duduk di sisiku. "Sesuatu ... terjadi selama gue nggak ada?"

Aku terkekeh pelan. "Apa-apaan, tuh? Seolah kamu pengasuh aku aja."

"Kebalik, ya?"

Aku mengangguk. "Dan nggak cocok juga. Bukan aku yang lebih paham soal dunia ini."

"Di antara kita berdua maksud lo?" Eka gantian mencebik. "Lo ngitungnya gimana, sih? Jelas-jelas umur lo ratusan kali lebih banyak dari gue, mana mungkni gue yang lebih tau banyak hal daripada elo."

"Kecepatan dan daya tangkap makhluk-makhluk berumur panjang seperti kami tidak secepat kalian." Aku menjeda sejenak. "Mungkin ... karena kami punya lebih banyak waktu memikirkan banyak hal, jadi kecepatan otak kami pun menyamai."

"Kesannya kayak orang bodoh."

Pedas seperti biasa. "Memang kenyataannya begitu."

Eka lantas terdiam. Dia tidak menyahutiku lagi dan membiarkan suara air dan kesunyian hutan menemani kami.

"Lo ketemu seseorang yang bikin lo keki?"

"Keki ... maksud kamu merusak suasana?" Ah, aku dan bahasa pergaulan jaman sekarang, kadangkala kami memang sangat tidak cocok satu sama lain.

"Ya ... ketemu, ya?"

Sekarang gantian aku yang terdiam.

Merusak suasana? Entahlah. Aku tidak tahu apa yang dirusak oleh pertemuanku dengan Tuan Klaus tadi. Suasana hati ... memahami sesuatu seperti itu saja rasanya sulit.

Tapi jika dipikir-pikir lagi, tadi aku merasa tenang saat sebelum datang ke tempat ini, kan? Sekarang ... aku hanya membayangkan aku pergi dari sini sesegera mungkin.

Ah, benar. Sepertinya memang ada yang tidak lagi ada di dalam diriku setelah pertemuan kami tadi.

Itu biasa terjadi.

Selalu terjadi, sepertinya, sejak aku memahami ada yang aku rasakan setiap kali Tuan Klaus tidak ada di sisiku.

Ketenangan.

Ah, ya, kalau kuingat-ingat, ketenangan itu hadir saat Tuan Klaus pergi beberapa hari. Lalu aku menyelinap keluar pondok karena mengejar satu jemuran baju yang tertiup angin. Dedaunan sedang berguguran saat itu, jadi kain yang aku cuci tidak tersangkut banyak dahan.

Semakin jauh dari pondok, tanpa ada yang mengejar, tanpa takut akan ada yang muncul tiba-tiba di belakangku dan menegur dengan tatapan tajam ... Rasanya sedikit ... berbeda.

Aku belum tahu namanya ketenangan saat itu.

Perlu beberapa kali merasakannya dan satu penjelasan singkat dari Edric bagiku untuk bisa memahami inti permasalahan yang aku hadapi:

"Kau takut pada Klaus."

Takut ... ya, mungkin saja begitu.

"Kau tenang setiap kali dia tidak ada. Kau lega, karena kau takut padanya."

Sejak pertama kali merasakan ketenangan tanpa Tuan Klaus, setiap kali beliau hadir, rasanya selalu ... gelisah. Rasanya aku ingin pergi, menghilang, lenyap, dan begitu saja. Tidak perlu menatap matanya. Tidak perlu bicara dengannya. Tidak perlu mendengar suaranya. Tidak perlu merasakan kehadirannya di sisiku. Cukup aku sendiri, tanpa Beliau. Tanpa siapa pun yang dapat merusak ketenangan ini.

Sejak saat itu kehadiran Tuan Klaus selalu terasa ... janggal.

Mengganggu.

Hingga perlahan, tanpa aku sadari, tumbuh suara hati sumbang yang semakin lama semakin gelap nadanya.

Aku harap dia tidak pernah pulang.

Seiring waktu, suara-suara itu semakin bertambah. Semakin kencang.

Pondok tanpa Tuan Klaus sangat nyaman.

Kenapa bukan Edric saja yang tetap kembali?

Kenapa Tuan Klaus harus kembali begitu sering?

Hingga akhirnya, permintaan gelap itu terkabul pada suatu hari. Dengan cara yang tidak aku duga. Dan dengan hasil yang tidak pernah aku duga. Kepergian yang dulu aku nantikan dan diam-diam aku syukuri ketika akhirnya tiba itu ... aku tidak pernah memikirkan apa dampaknya bagi orang-orang di sekelilingku. Bagi Lydia dan yang lain yang sudah menjadi milik Tuan Klaus.

Aku tidak mempertimbangkan kemungkinan lain di balik sebuah kehilangan.

Kehilangan bukan sekadar tidak tampak di mata atau tidak dapat bertemu lagi.

Ah, kalau diingat-ingat, betapa bodohnya....

Sungguh, aku di masa lalu ... apa yang dia pikirkan? Menghilang bisa berarti banyak hal. Banyak bencana. Banyak kerugian. Tuan Klaus penting dan menopang hidup banyak orang.

Sementara Ratna Kusuma? Siapa yang akan menangisinya jika ia menghilang?

Malahan, bukannya itu adalah yang diinginkan Tuan Klaus selama ini?

Agar "Ratna" menghilang?

Jadi sebenarnya ... jika aku menghilang ... bukankah itu bagus?

Kalau begitu kenapa ... kenapa di saat pertemuan tadi, Tuan Klaus tampak ... dan cara bicaranya serta kata-kata yang Beliau sampaikan, terdengar....

"Tidak akan aku biarkan ada yang menangkapmu!"

Itu seharusnya kata-kata peringatan, kan? Peringatan kepada orang-orang yang ingin menangkapku agar mereka berhati-hati. Aku bukan makhluk jinak yang bisa ditangani seenaknya. Itu peringatan bahaya untuk orang lain, jadi kenapa ... Beliau mengatakannya kepadaku?

Sayang, tidak peduli mau dipikir sekeras apa, aku tetap tidak menemukan jalan keluarnya.

Ah, sudah aku duga. Kami memang mustahil saling memahami.

Beliau terlalu sulit dipahami.

"Dibilang merusak suasana ... agaknya kurang tepat." Aku menghela napas. "Mungkin lebih tepatnya ... dia membuat aku ketakutan."

Eka menyahut seadanya dengan satu gumaman panjang. Aku melirik dan gadis itu tidak tampak bingung atau bertanya-tanya. Dia hanya memandangi kaki-kaki kami yang berselonjor di atas dedaunan kering.

Ah, tentu saja. Yang membuat aku ketakutan hanya segelintir orang. Tidak akan sulit menebaknya.

"Lo ketahuan dan gue ... ketemu orang yang nggak terduga hari ini." Eka mengakui dan aku tidak bisa tidak terkekeh.

"Ada apa sebenarnya sama hari ini, ya?" gumamku. "Kita kayaknya ketemu masalah yang sama di dua jalan berbeda."

"Mungkin karena sejak awal masalah kita emang beda."

Aku tersenyum. "Bukan cuma masalah kita, kok, yang beda."

Kebenaran yang mencubit di balik kata-kata itu membuat kami berdua terdiam.

Benar juga, kalau dipikir, bagaimana kami berdua bisa tetap bersama seperti ini, ya? Bahkan sampai sekarang, ketika Eka sudah....

Diam-diam aku meliriknya lagi. Kedua kaki Eka sudah pulih. Tangan dan kaki sudah. Wajah? Tidak ada masalah. Singkat kata, secara fisik, Eka sudah kembali seperti sedia kala.

"Kamu ... kalau dilihat-lihat, udah pulih sepenuhnya, ya?'

Pertanyaan itu membuat Eka berpaling kepadaku. Menaikkan sebelah alisnya dan menatap heran.

"Ya, terus?"

"Terus....?" Aku membeo.

Benar juga. Terus apa?

Memangnya kalau Eka pulih, terus apa?

Ah, tidak, bukan begitu.

"Maksud aku, kalau kamu udah pulih, seharusnya kamu bisa jalan-jalan sendirian, kan? Belanja sendiri, melindungi diri sendiri, dan...."

Melanjutkan perjalanan sendiri, lanjutku tanpa suara.

Aneh, hal yang biasanya bisa aku ungkap dengan lisan dan tidak perlu sembunyi-sembunyi, malahan sekarang tertahan begini. Padahal aku bisa saja blak-blakan, tapi ... rasanya seperti mengusir.

Apa memang tidak mengusir?

Apa aku boleh bilang seperti itu? Mumpung Eka sudah sehat lagi.

Hal yang berbeda mungkin bisa aku katakan untuk organ dalam dan fisiologisnya, tapi entah bagaimana cara mengecek itu semua tanpa memancing keributan yang tidak perlu atau menumpahkan darah. Aku kurang paham.

Tapi jika Eka sudah seperti ini, aku rasa akan aman-aman saja jika kami....

"Lo mau kita pisah jalan." Eka mencuri kata-kata itu dariku. "Begitu, maksud lo?"

***

"Lo mau kita pisah jalan hari ini?"

Eka menegaskan dan sekali lagi mencuri kata-kataku. Sebuah konfrontasi langsung, berbeda denganku yang berbelit-belit dan jadi berkemelut dengan perasaan sendiri.

Eka memilih langsung terabas dan terus terang saja.

"Yah, bukannya itu wajar?" sahutku juga, mencoba ikut blak-blakan. "Kamu udah pulih. Artinya aku nggak ada lagi kewajiban untuk merawat kamu. Tuan Saka, yah, mungkin dia akan dibebaskan. Yang jelas, dia Aruna dan dia ada di pihak Gilang. Soal keselamatannya, aku yakin kita tidak perlu khawatir."

"Paling parah, dia hanya akan dipaksa dorman." Eka menyimpulkan. "Tapi gue rasa juga itu nggak akan jadi masalah. Toh ... gue nggak akan merasa rugi."

Karena orang yang kami kenal menjadi Budak Saka ... sudah tidak ada lagi.

Sebuah kesunyian penuh duka berbunyi tanpa suara di antara kami.

"Dan hari ini kita ketemu orang-orang yang sepertinya bakal menyusahkan." Aku menimpali. "Jika kita nggak berpisah jalan di sini, ada kemungkinan mereka bisa menggunakan kita untuk melacak satu sama lain."

"Menangkap ekor untuk menemukan kepala, ya?"

Aku mengangguk. "Aku secara teknis adalah buronan karena menjadi penyebab tidak langsung semua pembantaian beberapa waktu lalu. Mereka mencariku pasti tidak berniat baik atau menyambutku dengan tangan terbuka. Tapi kamu ... kamu berbeda, Eka."

Eka menatapku lamat-lamat, kini. Tatapannya tidak bisa aku artikan.

"Mungkin ada orang yang menunggu kamu. Mungkin dia juga akan bahagia saat sadar kamu masih hidup. Kamu juga punya keluarga yang mungkin sekarang—

"Lo juga punya."

Tukasan itu membungkamku.

"Nggak usah banyak cincong dan bikin gue mikir pusing sendiri. Itu rumah dan orang-orang di dalamnya, lo anggap apa kalau bukan keluarga?" Eka menyahut dengan cuek. "Saudara-saudara lo itu, bokap lo juga, mereka yang rela baku hantam dan hajar gue habis-habisan karena nyerang lo, mereka semua keluarga lo juga, kan?"

Aku tidak bisa menjawabnya.

"Nggak usah bawa-bawa soal ikatan darah karena kita berdua tau itu omong kosong banget."

Karena Eka juga tidak hidup dengan keluarga kandung. Aku tidak bisa memakai alasan itu pada Eka.

"Mereka ... mereka lebih baik tanpa aku." Kepalaku tertunduk.

Ah, memalukan. Malah aku yang menundukkan kepala lebih dulu sekarang dibandingkan Eka.

"Lebih baik nggak ada yang menyangkut-pautkan aku dengan mereka. Nanti, mereka bisa kena bahaya. Lebih baik begini. Lebih baik mereka nggak tau aku masih ada."

Tapi Ghalih tahu, pikiranku berkhianat.

Ghalih tahu dan jika Adit bertanya, aku tahu Ghalih tidak akan bohong pada adiknya. Jika mereka berdua tahu, hanya tinggal tunggu waktu sampai Paman Zen dan Ibu tahu. Aku yakin mereka berdua bukan orang-orang nekat. Mereka tidak akan menjemputku tanpa alasan, tapi tetap saja, aku punya alasan untuk khawatir pada dua bocah itu. Mereka seringkali tidak berpikir panjang dan sumbu emosi Adit sependek batang korek api.

"Gue rasa mereka nggak akan sependapat soal itu, eh." Eka menghela napas. "Itulah nyusahinnya keluarga."

"Eka sendiri? Tadi ketemu seseorang juga, kan?"

"Nggak kayak lo, gue nggak ketemu yang penting-penting amat. Well, seenggaknya, nggak ketahuan."

"Kenapa?" Aku tidak bisa menghentikan diri dari bertanya. "Ada yang mencari Eka. Ada yang merasa kehilangan karena Eka nggak ada. Aku selamatkan Eka bukan untuk Eka lari selamanya—

Tuk!

Kata-kataku terpotong oleh sentilan pelan Eka di dahi. Tidak terasa sakit, tapi tetap saja bisa menghentikan kata-kataku.

"Ini badan gue. Ini nyawa gue. Mau gue pakai buat siapa, itu urusan gue." Eka menghela napas. Dia tampak keras kepala. "Ya, gue tau, ada yang nangis dan mungkin sekarang udah setengah waras karena nggak nemuin gue di mana-mana. Tapi, harus gue akui, lihat dunia tanpa ada dia itu ... terasa berbeda."

"Berbeda?" Dalam artian baik atau buruk?

"Ya, gue jadi bukan siapa-siapa. Dari nol lagi." Eka bangkit berdiri lebih dulu. "Melihat dunia sebagai bukan siapa-siapa. Bukan Budak Aruna, bukan Caiden, bukan buronan. Cuma sebagai Eka yang Manusia biasa, itu bukan sesuatu yang amit-amit banget buat dijalanin, kok."

Eka berkacak pinggang di sisiku.

"Malah, gue lebih suka kondisi begini. Yah, kalau ada katana di pinggang gue, mungkin gue bisa bilang itu dengan lebih pede."

Aku tidak bisa tidak mendengkus pelan saat mendengar pengakuan angkuh itu. Bukan keangkuhan kuno seperti Aruna. Eka menunjukkan arogansi Manusia. Keangkuhan tengik yang dangkal seperti Manusia biasa.

"Mumpung ada kesempatan, gue mau lihat dunia dari sudut pandang yang lain. Gue mau kenal dia dari sudut pandang yang lain. Mungkin, malah sudut pandang yang baru." Eka sedikit membuang muka ketika melanjutkan. "Dengan begitu, mungkin gue bisa lihat sisi dia yang selama ini gue nggak kenal dan nggak mau dia ungkapin ke siapa-siapa."

Gilang, ya.

Yah, aku tidak akan ikut campur soal itu. Semua hubungan mereka adalah urusan mereka. Aku hanya pengamat dari jauh.

"Kalau begitu seenggaknya, kamu seharusnya bersama orang yang kamu percaya, bukan sama aku."

"Emangnya kenapa sama elo?" Eka balik bertanya.

"Kamu lupa kita pernah berkelahi?"

"Bukannya itu wajar buat teman?"

Kata terakhir itu membuatku membelalak. Segera, Eka membuang muka.

"Ya—ya, maksud gue, kayaknya berantem itu biasa di antara dua orang jadi—

"Eka, perkelahian kita melibatkan kehilangan nyawa."

"Eskalasi konflik...."

Aku terkekeh. Alasan macam apa itu? "Maksud kamu, karena kita berdua bukan Manusia?"

"Yah...." Eka mengedikkan bahu. "Kalau lo punya tenaga yang bisa tumbangin dua pohon dalam sekali hantam, eskalasi konfliknya nggak mungkin berhenti cuma di adu jotos atau jambak-jambakan rambut, kan?"

"Pikiran macam apa itu?" Meski bertanya, aku tertawa puas.

"Pikiran yang keluar dari gue, tentunya." Eka menyahut dengan percaya diri. "Selain itu, gue rasa, perjalanan bareng temen perempuan itu gue butuhin sesekali. Bosen jalan sama cowok-cowok mulu."

"Ah, benar juga. Eka kebanyakan dikelilingi cowok-cowok, ya?" Aku menyahut. "Bosan, ya?"

"Banget. Kayak pake baju lepek belum dicuci tiga hari. Bosennya kebangetan."

Entah sejak kapan, obrolan kami berubah ringan dan renyah. Diselingi tawa dan senyuman. Diselingi canda dan beberapa gurauan. Hingga akhirnya setelah berhenti, kami hanya bisa menghela napas bersamaan sembari menatap langit sore.

"Makasih, ya."

"Hm? Buat apa?"

"Karena udah mau jadi teman seperjalanan aku," ucapku tulus. "Yah, walau aku nggak bisa menjamin perjalanan ini bakal mulus atau kita nggak bakal bertengkar. Itu risikonya, kan? Aku harap kamu udah pertimbangin risiko itu sebelum kamu memutuskan tadi."

"Gue nggak bego soal itu, kok. Jelas gue udah pertimbangin juga." Eka menyahut santai. "Kita pantau Jakarta dan kondisi om-om satu itu sembari berjalan. Gue cari tahu apa yang gue mau tau, dan lo bisa nikmatin waktu lo ... ngelakuin apa pun yang lo mau, ya, kan? Dengan begitu, perjalana kita nggak bakal berasa sia-sia atau boring banget."

"Nggak buruk juga idenya." Aku setuju. "Tapi aku harap kamu siap-siap, ya. Kamu lagi bareng buronan. Pasti ... pasti, seseorang udah mengutus pengejar untuk aku."

Suasana hening sejenak, tapi tidak untuk waktu lama.

"Kalau itu, sih, gue nggak ikutan." Eka mengangkat tangan. "Pengejar lo ya urusan lo. Selama itu nggak ganggu gue."

"Sepakat."

Kami berdua kembali menatap ke arah sungai kecil ketika ada sekuntum bunga hanyut bersama aliran air. Kelopaknya yang utuh perlahan terburai seiring batu dan arus yang ia lalui.

Terima kasih, Eka.

Terima kasih karena sudah mau menemaniku. Dalam sunyi, aku mengatakannya. Tak terdengar. Tak terlihat bicaranya.

"Aku hanya bisa berharap." Ucapku, menutup hari itu. "Semoga perjalanan kita nanti menyenangkan ... Yureka Caiden."

***

Catatan pengarang:

Setelah ini akan masuk time skip lagi ya. 

Langsung lompat adegan? Maybe.

Langsung ke konflik selanjutnya? Sangat mungkin. Nantikan saja, ya. Tahun ini tahun yang cukup berat bagi saya dan kondisi saya secara total, jadi maafkan kalau kualitas tulisan saya menurun, saya akan usahakan yang lebih baik di tahun depan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro