3. Within My Grasp

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kelihatannya aku sudah berjalan cukup jauh.

Berjalan mungkin bukan kata yang tepat jika kau bergerak begitu cepat sampai kakimu sakit, tapi aku tidak punya pedanan kata lain yang lebih baik ataupun memikirkan kata yang lebih tepat. Seluruh tenagaku terpakai untuk membawa gadis ini keluar sejauh mungkin dari Tuan Ananta dan hanya itu.

Omong-omong soal gadis satu ini....

Aku diam-diam membuka lipatan selimut yang membungkus tubuh Eka. Sedari tadi aku merasakan tubuhnya memberat. Aroma anyir darah pun berkurang dari dirinya.

Benar saja. Tubuh Eka memang bertumbuh. Daging di kepalanya sudah utuh dan aku bisa melihat beberapa petak kulit muncul di sana. Hal yang sama juga terjadi pada jari-jari tangannya. Struktur pulang sudah tumbuh lengkap di tubuhnya.

"Pantas saja berat sekali," gumamku.

Di satu sisi, itu hal yang bagus. Eka jadi punya kemungkinan selamat lebih besar sekarang. Harapan yang aku punya selangkah lagi mendekati kenyataan. Tapi di sisi lain, itu tidak bagus untukku. Bebanku jadi bertambah. Padahal kekuatanku tidak terasa berada dalam kondisi prima sekarang.

Sekarat, kata itu sekali lagi bergema dalam kepalaku. Terus terngiang dalam kepalaku sejak pergi meninggalkan Tuan Ananta.

Aku sekarat? Benarkah itu? Aku sudah sekarat? Aku mendekati tahap kehidupan yang telah lama aku nantikan: kematian? Itu bukan mimpi lagi? Kalau begitu kenapa rasanya ... masih sangat msutahil? Aku masih belum bisa percaya. Rasanya benar-benar terlalu aneh. Seperti mengkhayal.

Aku menunduk memandangi jasad hidup di dalam dekapanku.

Jika aku mati sebelum Eka bisa pulih sepenuhnya, siapa yang akan mengurus anak ini?

Aku mengerjap sendiri. Mendadak tergugu, sadar akan betapa aneh pikiranku tadi.

Aku baru saja memikirkan orang lain. Bukan keluarga, tapi seseorang yang benar-benar lain. Sesuatu yang bahkan tidak pernah aku rasakan untuk Gilang. Sesuatu yang ... benar-benar berbeda, sebuah emosi aneh yang membuatku bisa mengulum senyum tanpa kau benar-benar sadari.

Yureka Caiden. Kehadirannya tidak pernah begitu berpengaruh besar. Tidak pernah terasa sampai detik ini dan ketika sadar, aku sudah bergerak terlalu jauh.

Apa kiranya ini? Perasaan yang menggerakkanku ini, apa namanya?

Pertanyaan-pertanyaan itu masih ada di benakku hingga saat ini. Tapi aku tidak lagi begitu bertanya-tanya seperti sebelumnya. Pertarungand engan Edric kiranya memberiku sebuah petunjuk. Sesuatu yang baru aku sadari di akhir akibat ketidak becusan otakku dalam berpikir.

Eka adalah salah satu alasan. Eka adalah alasanku bisa memutuskan akhir dari semua ini.

Dia berharga. Dia tidak pantas dibiarkan mati.

Aku tertawa sendiri, lalu menutup kembali bungkusan Eka. "Benar juga...."

Aku menolongnya karena aku merasa dia adalah alasan terbaikku saat ini. Alasanku belum bergerak. Alasanku untuk tidak mengakhiri segalanya di sini sekarang juga.

Aku masih perlu hidup.

"Apa ada yang lucu, Nona?"

Aku menoleh ke arah suara yang tidak terduga itu. Sepasang mata merah yang berpendar balas menatapku dari balik kegelapan.

Aruna.

***

Aku perlu mengedip satu kali lagi sebelum sosok dari balik kegelapan itu semakin jelas. Seorang laki-laki dengan tubuh beraroma kental darah, seolah ia baru saja dihujani oleh banyak sekali darah dan yang lebih membuatku waspada, darah itu bukan hanya berasal dari satu orang. Aku bahkan mencium darah Aruna lain dari tubuhnya. Aroma darahnya masih segar.

Aku langsung bangkit berdiri sembari mendekap tubuh Eka tanpa berniat melepaskannya sedikit pun. Selimut itu menempel di tubuhku dengan terlalu erat sampai-sampai Aruna itu menyadarinya. Seirngai miring muncul di bibirnya yang terlalu merah. Ia tidak segan memamerkan taring.

Itu reaksi yang tidak aku harapkan. Biaranya Aruna akan segan dan ragu setiap mencium aromaku. Mereka kebingungan makhluk apa aku ini dan segan sejenak, meningkatkan kewaspadaan. Tapi kelihatannya aku harus terbiasa untuk tidak menerima perlakuan sama setelah semua ini. Biar bagaimapuan Edric dan Yusriza membuat kaum sepertiku jadi terkenal lebih dari yang seharusnya.

Tapi, Ya Ampun, ini bukan saatnya! Bahkan aku tidak bisa mendengar kedatangannya!

Sekarat.

Mungkinkah aku benar-benar sekarat?

Awalnya pikiran itu tidak begitu menakutkan, tapi dasar memang otakku berpikir terlalu lambat, aku bahkan lupa kalau ada Eka dalam tanggung jawabku! Bagaimana bisa aku melanjutkan perjalanan ini sambil melingundi Eka

Bagaimana mungkin aku bisa melawan sementara seluruh idneraku sekarang tidak bisa diandalkan?

"Makhluk aneh....." Aruna itu menyeringai. Matanya menyisir penampilanku dari atas ke bawah. Matanya berhenti tepat di selimut yang aku bawa. "Dengan barang yang beraroma sangat enak."

Aku mengerutkan kening. Apa ini artinya Eka berbau normal?

"Kamu tidak tampak terkejut," Berbeda dari nada santai Aruna itu, kedua cakarnya membuka di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Apa hinaan sudah menjadi makanan sehari-hari kalian?"

Kalian. Bukan hanya aku. Dugaan burukku terbukti. Makhluk sepertiku bukan rahasia lagi. Ini tidak akan jadi pertarungan yang mudah.

Ah, tapi bukankah aku juga yang memulai semua ini? Maksudku, jika saja aku tidak begitu bimbang saat itu, mungkin sampai sekarang kami masih menjadi sekumpulan mimpi buruk dalam mitos, bukan? Kalau dipikir juga, ini balasan yang sepadan untukku.

"Tidak mau bicara, hm, Nona?" Aruna itu mengangkat tangannya dalam posisi hendak mencakar sesuatu. Seperti predator yang bersiap-siap. "Sombong sekali...."

Darah melumuri setiap jengkal tangan itu. Aroma anyirnya yang sempat luput kini memenuhi hidungku dengan kecepatan dan jumlah yang brutal. Jika Eka sadar, ia mungkin akan mengernyit tidak suka pada aroma ini. Tapi bahkan aku sekalipun, tidak pernah melihat pemandangan darah yang menetes segar dari tangan makhluk hidup lain sebagai sesuatu yang nyaman dilihat.

"Aku bukan sombong," sahutku untuk kali pertama. Lalu secara perlahan, aku meletakkan Eka ke tanah "Aku hanya tahu, kamu bukan datang ke sini untuk basa-basi, Aruna."

Aruna itu tertawa. "Lumayan pengertian...." Ia langsung menerjnag. "Untuk ukuran Monster!"

Aruna itu mengarahkan cakarnya ke wajahku. Lenganku bergerak membentengi wajah. Aruna itu bermanuver cepat di udara. Tangannya mencengkam batang pohon tempatku bersandar dan mengayunkan kakinya dalam gerakan memutar.

"Kalau kau mau bertahan...." Sebuah suara bergema dalam kepalaku. Suara yang tidak seharusnya ada. Suara dari orang yang telah lama mati.

Edric.

"Kau tidak harus selalu menghindar."

Seulas senyum yang selalu ia tunjukkan di masa lalu kembali menyapa benakku, mengalihkannya dari pertarungan selama sekejap yang berharga. Tendangan Aruna itu menghantam rahangku. Tubuhku terhempas, tapi aku mencakar batang pohon tempat kami bertarung dan tanganku meraih kakinya.

Keningku berkerut dalam. Saat bergerak dan menahan serangan Aruna itu, sadarlah aku betapa tubuh ini terasa berbeda. Aku tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi atau seperti apa rasanya ini, tapi tubuhku seolah punya kehendak sendiri dan apa yang ingin aku lakukan tidak sampai ke ujung jari jemariku.

Cakaran yang aku maksud menghantam pohon itu pada nyatanya bahkan tidak sedikit pun meninggalkan bekas. Apa yang aku maksudkan sebagai cengkaman di kaki, pada kenyataannya tidak lebih dari genggaman lambat. Dan Aruna yang rupanya masih berpegangan pada pohon itu berpikir lebih cepat.

Dengan sebelah kakinya yang bebas, ia mendaratkan tendangan kapak yang seketika mematahkan leherku. Teralihkan oleh distraksi itu, tanganku terlepas dengan mudah, jauh lebih mudah hingga aku sendiri terbengong-bengong dibuatnya.

Di atas tubuhku, Aruna itu tertawa. Lalu embusan angin terdengar di sebelha telingaku, tepat sebelum tendangan Aruna itu menghantam gendang telingaku.

Suara mendadak hilang dari pendengaranku. Kesiembanganku runtuh. Kaki-kaki ini seakan terbuat dari tanah lumpur yang lembek alih-alih tulang dan daging yang solid. Tubuhuk terasa melayang, meski kenyataannya aku terjatuh. Tanganku berusaha menggapai sesuatu sementara leher dan telingaku memulihkan diri, tapi gerakan tanganku menjadi sangat lambat sampai aku sendiri frustrasi.

Kenapa aku tidak bisa meraih apa pun?

"Kaum yang hidup panjang seperti kita, memang ditakdirkan untuk kehilangan segalanya, Ratna." Suara Edric kembali terdengar di kepalaku. Senyum pedihnya, kata-katanya yang lirih, dan betapa situasiku benar-benar sama dengannya.

Perasaan yang aku rasakan saat itu masih terngiang-ngiang bahkan hingga detik ini. Aku tidak pernah begitu mengerti dentam apa yang menyiksa dadaku hingga jantung yang berdetak ini rasanya ingin meledak. Aku tidak pernah tahu apa yang menjeratku begitu kuat sehingga menyulitkanku setiap kali akan bernapas.

Edric menamai perasaan itu: keinginan. Aku menginginkan sesuatu.

"Tidak, mendapatkan sesuatu bukannya mustahiil." Kepedihan di mata Edric lenyap. "Kau bisa mulai mencarinya. Sesingkat apa pun mereka singgah, itu tetaplah sebuah kenangan. Kau suka sesuatu yang seperti itu kan? Sesuatu yang ramai dan menemanimu. Ratna tidak suka sendirian."

Kegelapan datang dalam bentuk titik-titik hitam dari pandanganku yang ironisnya baru saja pulih. Tanganku berusaha meraih lebih jauh ketika Aruna itu melintas di atasku. Dengan seringai penuh kemenangan, Aruna itu lantas berdiri. Dengan mata sendiri, aku melihatnya meraih selimut Eka. Sementara aku tidak berdaya.

Tidak, ini tidak benar. Tidak seharusnya seperti ini. Aku tidak seharusnya tunduk hanya karena pertarungan semudah ini.

Aku seharusnya bisa jauh lebih baik dari ini. Dia aruna. Aku bukan Aruna. Aku jauh lebih kuat dari Aruna. Aku seharusnya bisa menang. Tapi kenapa sekarang ... sekarang aku tidak berdaya? Karena sekarat? Karena aku hampir mati?

"Jiwamu yang separuh lagi sudah tertidur kan?"

Hanya karena itu? Hanya karena Arka tidak ada, aku juga tidak bisa ada? Ini seperti kutukan. Ikatan Jiwa ini seperti menyeret kami berdua ke kolam kesengsaraan yang sama jika ada satu yang berbuat salah. Tidak memberi kami kesempatan untuk memperbaiki apa pun. Memangnya kami apa? Kami bukan Manusia dan tidak boleh membuat kesalahan? Siapa yang membuat peraturan seperti itu? Berumur panjang bukan berarti aku tidak bisa berbuat kesalahan. Bukan berarti Arka selalu benar. Kami bisa saja salah. Kami bisa saja tersesat seperti sekarang.

Jadi seharusnya jika Arka tidak bisa bergerak, sudah kewajibanku untuk bergerak. Sudah seharusnya aku membetulkan segalanya. Dimulai dari tempat kesalahan ini bermula.

Tekadku sendiri.

"Atau Ratna bisa meniru caraku." Edric di masa lalu menambahkan dengan nada ceria. "Kalau tetap tidak mendapatkan apa-apa, Ratna curi saja dari orang lain."

Tidak, Edric. Kau salah. Mencuri tidak membuatku memiliki. Aku tidak mendapatkan apa-apa dari mencuri. Tanganku meraih lebih jauh, memaksakan tubuhku untuk bergerak. Bangkit walau hanya sedikit saja.

Pandanganku kembali semakin jelas. Titik-titik hitam itu memudar. Tapi apa yang aku lihat selanjutnya sama sekali tidak menyenangkan. Aruna itu memegang kepala Eka. Cakar-cakarnya menancap di tubuh Eka yang baru saja berdaging. Darah segar mengalir dari sana, menetes turun. Aruan itu membuka mulutnya dengan ekspresi kepuasan yang memabukkan tercetak di wajahnya dengan sapuan paling kotor yang bisa aku pikirkan.

Aku menggertakkan gigi, berusaha untuk bangkit lagi, meraih apa pun yang paling dekat. Apa saja.

Kemudian sesuatu menggenggam tanganku.

"Kapan pun kau jatuh...." Suara lain bergema dalam kepalaku. Suara yang akrab dan menghangatkanku dalam cara yang berbeda seperti Edric. "Kau jangan khawatir." Wajah samar seorang pemuda tanpa ekspresi muncul dalam benakku. Seperti saudarinya, selalu saja ada cahaya samar yang menyinari wajah mereka setiap kali aku mengingat kenangan yang pernah kami lalui bersama. "Aku akan selalu membantumu bangkit. Tidak peduli sejelek apa kau jatuh atau seberapa parah lukamu."

Genggaman tangan itu lenyap. Aku mengerjap dan sadar, rupanya aku sudah berhasil menangkap patahan dahan yang tersisa di batang pohon itu.

Dalam tubuh yang terasa lemah, anehnya aku masih bisa menyunggingkan senyum.

Terima kasih, Albert.

Dengan satu pegangan mudah itu, aku mementalkan tubuh dan melompat. Kepalaku berada di bawah dan tubuhku melayang, hanya beberapa kaki dari udara. Tidak cukup bagus jika ingin membuat serangan kejutan. Tenaganya memang lebih lemah dari perkiraanku, tapi ini saja sudah cukup.

Aruna itu baru saja menikmati tetes-tetes pertama darah Eka ketika aku melintas di atas kepalanya. Sebelah tanganku merenggut tubuh Eka, berusaha sehati-hati mungkin agar tubuh yang baru pulih itu tiadk tercerai berai kembali. Aruna itu terperangah sesaat. Ia lengah.

Tangan kananku yang bebas langsung menghantam lengannya yang sudah sembarangan menyentuh temanku. Lengan itu terputus.

Aku mendarat di belakangnya. Aruna itu meraung marah. Tangannya yang terputus langsung tumbuh kembali. Aku langsung menunduk menghindari sernagannya dan memutar kaki, menyandungnya. Keseimbangannya runtuh. Aku emmanfaatkan hal itu untuk melompat kembali dan menghantamkan tempurung lutut tepat ke rusuknya. Tualgn-tulang dan jaringan kerasnya menghancurkan tempurung lututku. Bunyinya berderak sampai telinga, tapi di sinilah keuntungan seseorang yang tidak merasakan sakit.

Aruna itu mendelik ke arahku. Memanfaatkan sedikit waktu yang ada, aku meletakkan Eka secara hati-hati ke tanah.

"Sialan...." Aku mendengar Aruna itu menyumpahs serapah. "Dasar Monster Sialan!"

Beruntung baginya, aku tidak suka membuang waktu. Sambil menarik napas, mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin, aku menyiapkan kuda-kuda. Ketika Aruna itu sudah ada dalam jarak yang sangat dekat, aku pun mementalkan diri dari tanah. Kedua tanganku memegangi kepalanya. Aruna itu lengah saat wajah kami berada sangat dekat. Darah yang melumuri tubuhnya membuatku sedikit kesulitan mengenggam, tapi sedikit cakaran menyeelsaikan segalanya.

Sayang, akibatnya Aruna itu jadi sadar lebih cepat. Aku pun langsung menendang pinggangnya.

Pinggang itu patah. Tidak seperti keinginanku yang ingin menghancurkan atau membelah tubuhnya seperti yang bisa aku lakukan. Tubuh ini benar-benar melemah dalam kecepatan yang mengkhawatirkan.

Aruna itu meraung ke depan wajahku. Raungannya dipenuhi kemarahan alih-alih rasa sakit. Tidak mau membiarkannya di atas angin, aku pun segera menghantamkan dua tinjuku ke kepalanya. Dalam-dalam. Pecahan tengkorak menusuk jari jemariku saat meraih ke dalam kepalanya. Otak terasa sangat lembut di dalam kepalan tanganku, seperti agar-agar yang terlalu berlendir. Tanganku meraih lebih dalam, menembus dan menghancurkan separuh otaknya, lalu mencabut keluar seekor cacing merah dari dalam kepala itu.

Sorot mata Aruna itu langsung mati. Sklera matanya membiru, Kulitnya memucat dengan bilur-bilur biru terlihat jelas di balik kulitnya. Bilur itu menghitam dengan cepat, mengisap daging dan isi tubuhnya, meninggalkan kerangka berbalut kulit.

Aku mendarat di tanah dengan mulus sementara tubuh itu melorot tanpa nyawa. Dalam sekejap, tubuh itu hanya tinggal kerangka. Semua bagian tubuhnya yang berupa cairan meleleh. Matanya tidak lagi tersisa, meninggalkan sepasang lubang menganga di dalam kepalanya, sementara cairan otak, pecahan tengkorak, dan ceceran otak mengalir keluar kepalanya.

Aku bangkit berdiri, di tanganku cacing Aruna menggeliat. Meronta meminta dilepaskan. Aku menatap cacing merah darah itu dari dekat. Ukurannya tidak lebih besar dari lintah air, tapi kerusakannya lebih besar dari yang bisa diakibatkan cacing mana pun.

"Aku kadang lupa betapa kalian ... benar-benar kecil," gumamku, lalu mencampakkan tubuh asli aruna itu ke tanah. Binatang itu perlahan-lahan berhenti meronta dan alih-alih meraung marah, ia mulai membentuk cairan bening kemerahan yang membungkus tubuhnya: kista.

Baguslah. Dia tidak berniat mencari mangsa dalam waktu dekat.

Aku segera berpaling ke arah Eka yang tercampakkan. Cacing itu tidak merasa Eka adalah makanan. Itu bagus.

Aku berlutut di depan tubuh itu. Setengah tidak percaya apa saja yang sudah aku lalui demi menyelamatkan satu orang ini saja. Tawa lemah keluar dari sela-sela bibirku.

"Kamu harus bayar ini dengan sangat ... sangat mahal nanti...." gumamku seraya membungkus tubuh Eka sekali lagi.

Tiba-tiba aku mendengar bunyi gemerisik. Menoleh dengan cepat, aku langsung bergerak melindungi Eka. Tanganku meraih tubuh Eka yang terbungkus selimut dan mendekapnya erat.

Tepat waktu ketika sepasang mata merah sekali lagi keluar dari balik kegelapan. Satu lagi Aruna. Ia menyeringai. Tubuhnya setengah menunduk seperti predator yang siap menyerang.

Memperlihatkan kepadaku bilur-bilur hitam di wajahnya.

"Kamu terinfeksi agatya," gumamku sesaat sebelum makhluk itu menerjang keluar.

Aku baru menghindari satu, ketika lebih banyak suara muncul. Menoleh ke belakang, aku membelalak ketika ada lebih dari selusin pasang mata merah menyala dalam kegelapan. Dan mereka semua menatap ke arahku.

"Ya ampun...." Aku nyaris tidak punya tenaga untuk sekadar mengeluh sekarang. "Malam ini benar-benar panjang."

***

Aku nyaris tidak punya tenaga untuk berjalan.

Pertarungan telah usai beberapa saat lalu. Tapi aruna-aruna itu memiliki cukup tenaga untuk mendesakku dan menggiringku ke tempat entah di mana. Hanya angin dan binatang yang tahu ke mana aku sudah berlari.

Aku tidak sempat melihat ke arah mana aku menghindari serangan mereka. Mungkin aku berjalan semakin dekat tujuan, tapi kemungkinan besar aku hanya kembali berputar, kembali tempatku berasal.

Itu buruk. Sama sekali tidak bagus.

Tidak, aku berusaha meyakinkan diri. Belum tentu seperti itu, kan, Ratna?

Sayangnya, kemungkinan buruk menjadi kenyataan jauh lebih sering daripada kemungkinan buruk, setidaknya dalam hidupku.

Tubuhku melorot di akar pohon terdekat. Pohon itu punya akar sebesar dua lenganku digabungkan dengan masing-masing bagian mencuat dari dalam tanah seperti jari-jari yang hendak bangkit. Aku menyandarkan punggung di salah satunya.

Mendadak saja, aku benar-benar tidak lagi bisa berjalan. Tubuhku ambruk dan duduk bersandar sepenuhnya pada pohon itu.

"Kamu lagi-lagi tertidur di sembarang tempat," Untuk kesekian kali, suara dari masa lalu menghampiriku. Suara yang hangat. Suara yang begitu aku rindukan jauh melebihi suara siapa pun. "Sebaiknya jangan memaksakan diri. Kalau kamu lelah, kamu bis beristirahat di sini."

Mataku memburam dan detik berikutnya, air mata jatuh menuruni pipi.

Aku berusaha menarik napas, tpai tidak banyak udara yang bisa aku tarik. Paru-paruku tersumbat. Rasa sesaknya membunuh.

Sakit, benar ... ini yang disebut Arka sebagai rasa sakit.

Ini yang disebut rasa lelah.

Aku lelah.

Ketika aku mencoba mendongak, aku hampir tidak punya tenaga untuk melakukannya. Langit mulai berubah lembayung di atas kepalaku. Aroma embun tercium kuat, pertanda fajar menyingsing.

Aku mengerjap perlahan, lalu menundukkan kepala. Darah menyelimuti tubuh dan pakaianku. Cakaran-cakaran aruna itu mencabik celana dan bajuku, meninggalkan cabikan penuh darah di sana.

Tidak ada luka. Aneh, bagaimana mungkin aku bisa lelah kalau semua luka itu sudah pulih?

Pertanyaan itu menggantung tanpa pernah terjawab.

Aku menunduk, memandangi Eka. Kata-kata Tuan Ananta bergema di kepalaku.

Jika aku benar akan mati, siapa yang akan mengurus gadis ini? Apakah nanti dia akan selamat sendirian sementara aku mati? Apa dia akan berhasil bertahan seorang diri dan tidak akan dimangsa?

Tidak, dimangsa oleh Aruna lain itu terlalu mengerikan. Jika dia ditemukan manusia pun mungkin dia akan dibunuh karena dicurigai sebagai sesuatu dari agatya.

Bukankah lebih baik jika ia dibunuh di sini saja? Daripada nasibnya tidak jelas. Setidaknya sebelum aku mati. Aku masih punya tenaga yang ckup. Jika hanya untuk membunuh Eka dalam wujud seperti ini, aku masih lebih dari sanggup.

Lagipula, sia-sia saja, kan, membiarkannya hidup jika aku tidak bisa menyaksikannya? Itu tujuanku sedari awal.

Benarkah begitu?

Tanganku yang sudah teracung, berhenti di udara, hanya dua jari dari kepala Eka yang hendak aku remukkan.

Benarkah alasanku hanya sebatas itu? Menyaksikan Eka hidup kembali?

Tanganku bergetar di udara, diguncang oleh kebimbangan.

Bukankah aku menolongnya untuk menyelamatkannya? Untuk memberi kabar gembira kepada orng-orang yang menantikan anak ini? Untuk ... sekali saja ... berbuat sesuatu yang benar dan menyadarinya?

Aku menggigit bibir. Tangan yang semula terbuka di udara, lantas terkepal kuat-kuat. Perlahan, tangan itu turun.

Sekali lagi aku bersandar di pohon. Kepalaku jatuh di atas kulit pohon yang keras, tanpa merasa sakit. Tawa pahit lolos dari mulutku.

Ini benar-benar lucu. Entah namanya tragis atau ironis, tapi .... Ini memang patut ditertawakan. Andai saja ada orang yang bisa ikut tertawa bersamaku sekarang ini.

Aku mendekap selimut itu lebih erat. "Kamu pasti akan tertawa ... kalau melihatku ... yang sekarang ini, kan ... Eka?" Mataku menunduk, mengamati selimut yang berdenyut dan bernapas hidup itu. Ia semakin hidup setiap detiknya. Denyut jantungnya semakin keras.

Itu pertanda bagus.

"Ah, tidak...." Aku lantas teringat, lallu tertawa sendiri. Kepalaku menunduk dan perlahan, mataku terpejam, membawa semua kenangan yang tadi muncul dan meredup secara bergantian dalam kepalaku. Kini terbayang suara Eka, tingkahnya, dan senyumnya yang konyol itu dengan jelas. Seperti saat hari-hari kami masih sangat mudah, sekadar belajar di akademi untuk bisa lulus. "Kau mungkin ... akan menghajarku ... seperti saat itu ya, kan.... Putri Caiden?"

Tidak pernah ada jawaban yang menyahutiku. Tidak penting juga. Aku memejamkan mata tidak lama setelahnya dan jatuh tertidur.

Tapi dalam tidur itu, lamat-lamat aku mendengar suara seseorang memanggil. Suara yang entah kenapa terdengar sangat jengkel.

"Bocah merepotkan...."

***

-

A/N:

Kembali setelah menghilang cukup lama. 

Bukan, saya bukannya mengabaikan karya ini. Ada karya lain yang minta diperhatikan. Sekarang dia udah puas diperhatikan, jadi saya bisa fokus ke sini lagi.

bab kali ini lebih banyak narasi dan pertarungan, karena ini baru pembukaannya. Saya tadinya ingin ini lebih panjang dan lebih menghajar Ratna, tapi saya rasa segini saja sudah cukup. Masih banyak pertarungan yang harus dia lalui nanti, jadi kita nantikan saja sama-sama. 

Dan untuk bab depan saya akan mencoba sudut pandang baru. Saya akan coba eksplorasi kepala dan kedalam karakter ini. Karena saya suka banget bikin sudut pandang dari om-om bete-an! XD

Segera nantikan ya! 



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro