Bab 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ubah warna background WP-mu ke warna hitam

Happy Reading^^

______

Yang pertama kali terlihat Joe ialah wajah yang begitu damai. Bibirnya mengukir senyum walau samar, mata sebiru laut itu tenang memperhatikan tetesan cairan infus yang terhubung dengan lengan kiri Joe. Rambut pirang wanita berpakaian putih itu disanggul, tertutupi topi khas para pekerja kesehatan. Tak yakin, apa benar Joe berada di rumah sakit bukan berada area wanita-wanita elegan yang menuntut pendidikan sarjana? Baru pertama kali ia melihat wanita anggun dan begitu menarik di mata Joe.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

Joe tersentak, menggeleng cepat tatkala si perawat manis itu mendekat. Ah! Seumur hidup lelaki itu baru berkesempatan melihat gigi gingsul secantik milik suster ... Mina, nama yang terjahit di pakaiannya.

Pintu terbuka, seorang laki-laki lain masuk, menenteng kantong kertas dan dua botol kopi siap minum. Menempatkan diri di sofa samping ranjang Joe, sesekali ia tersenyum menggoda ke arah pasien yang malu-malu di depan seorang suster.

Serius! Joe berdeham. "Bolehkah infusnya dilepas, saya sudah tak memerlukannya lagi."

Mina menggeleng, membuka lembaran kertas yang dari tadi ia bawa, kemudian mengatakan bahwa perlu persetujuan dokter untuk melepaskannya. Lagi pula kondisi Joe masih belum pada kondisi yang stabil, bisa saja sesak napas Joe kembali begitu sudah jauh dari rumah sakit. Bibir bengkak dan ruam-ruam merah sudah berangsur hilang, tetapi Mina mengkhawatirkan kondisi saluran pernapasan Joe. Agaknya masih memerlukan istirahat satu atau dua hari lagi untuk memastikan bengkak di saluran pernapasan sudah mengempis.

Memang pada dasarnya pria yang keras kepala, Joe meminta dipanggilkan dokter supaya lekas pergi dari sini, ia harus segera menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.

Mau tak mau Mina menuruti permintaan pasien yang tengah memohon, lalu keluar, meninggalkan Joe dengan polisi muda yang tengah memakan santai roti kacang merah.

Barusan ingatannya kala berkunjung ke kediaman Jeffere kembali, Joe sedikit tidak percaya dengan apa yang menimpanya. Makan pai tidak pernah membuat alergi Joe kambuh, mau di mana pun pai yang ia dapat. Bahan untuk membuat makanan manis itu sangat jarang menggunakan sirup jagung, lalu pai apel itu? Baru-baru ini yang mengetahui penyakitnya hanya ... duh! Evelyn yang terakhir mengetahui itu! Kenapa pula ia malah tak sadar tengah menjadi target bocah itu! Joe menyesali menganggap Evelyn lucu ... eh! Atau anak itu memberitahukan ibunya, lantas Bella yang sengaja meracik pai apel dengan sirup jagung?

"Pak, Anda kenapa?" Keheranan mendapati Joe tiba-tiba meninju ranjang sambil menggerak-gerakkan bibir cepat seolah mengutuk seseorang. 

Lengannya bergerak mengelus dada singkat, menatap si pemuda dengan wajah siap menerkam siapa pun yang menggangu Joe. Memorinya berputar di kasus mayat anak lelaki yang tewas di kolam taman lalu. Meski bukan Joe yang memegang kasus, setidaknya ia tahu. Kalau tidak salah ditemukan sebuah apel bersamaan ketika pengangkatan jenazah dari kolam. Joe menggosok kedua tangannya, jika diurutkan berdasarkan bukti sebuah apel yang terlihat belum berada di air dalam jangka waktu yang lama, bisa saja.

"Hei, bagaimana perkembangan kasus terbunuhnya Max Steve?" tanya Joe, menggeser tubuhnya hingga duduk berhadapan dengan polisi muda itu.

"Masih nihil, sepertinya kasus tersebut akan ditutup dengan kesimpulan kecelakaan biasa."

"Sudah memeriksa CCTV? Posisi kolam tersebut sedikitnya pasti terekam kamera jalan utama perumahan Chapel Hill."

Joe mengerang gemas ingin mencekik siapa saja polisi yang menangani kasus tersebut, begitu orang yang ditanya menggeleng. "Siapa yang bertanggung jawab?"

"Pak Carlos."

Ahh ... Carlos rupanya! Setelah bebas dari penjara beraroma obat-obatan ini ia akan langsung melepas lencana pria itu, serta meminta kepala kepolisian untuk memecatnya. Bagaimana bisa seorang polisi sekelas Carlos tidak kompeten dan teliti seperti itu? Lihat saja nanti.

Ketukan di pintu mengejutkan kedua orang yang tengah seru membahas kasus, seorang dokter masuk diikuti Suster Mina yang mengekor di belakang lengkap dengan membawa kotak plastik berisi plester, kapas, gunting, dan dua botol bertuliskan alkohol.

Dokter berperawakan kecil itu menggunakan stetoskop, menempelkan di dada sebelah kiri Joe, kemudian meminta pasien keras kepala yang ia tangani untuk membuka mulut lebar-lebar. Dokter itu mengangguk setelah pemeriksaan yang ia lakukan sudah cukup.

"Keras kepala seperti batu." Tangannya gesit menyentil kuping Joe. "Bengkaknya sudah membaik, jadi boleh dibuka. Saya akan membuatkan resep, obat bisa diambil di apotek. Jangan lupa obatnya ditelan." Dokter itu menyerahkan tugas selanjutnya kepada Mina, ia bergegas pergi untuk melanjutkan kewajiban sebagai seorang pengabdi kesehatan.

"Dokter yang unik," celetuk Joe, sedikit tercengang dengan perilaku dokter barusan. Baru kali ini ada yang berani menyentil telinganya dan juga bahasa dokter itu seperti orang tua Joe.

Mina tertawa pelan, cekatan jemari lentik suster itu melepas plester yang menahan jarum infus agar tetap di tempatnya. "Mohon maklum, beliau memang agak nyentrik." Ia menempelkan kapas yang sudah dibasahi alkohol tepat di mana jarum ditusukan, menariknya pelan kemudian segera menempelkan plester agar darah tidak keluar dari bekas luka. Tugasnya selesai, Mina pamit undur diri, menghilang di balik pintu.

Joe berganti pakaian dengan baju sebelum ia menukarnya dengan piyama pasien. Bergegas membawa obat di apotek, kemudian menuju parkiran tempat di mana mobilnya berada---ia tahu lokasi kendaraan roda empat itu dari petugas rumah sakit yang berada di bagian informasi.

Sekitar lima belas menit, Joe sampai di kantor tempatnya bekerja. Sekilas tampak biasa-biasa saja, tetapi ia mulai sadar ketika beberapa orang melihatnya dengan tatapan mengasihani. Buru-buru masuk ke bangunan besar itu, langkahnya terhenti begitu melihat sosok jangkung berjanggut putih yang tengah bercakap dengan polisi bertubuh tambun.

"Tuan Joe, sudah kembali." Lovanko merangkul Joe, menepuk pelan bahu tegap Joe lalu mengalihkan pandangannya ke arah Carlos. "Ini rekan yang akan menemanimu, Tuan Carlos."

"Menemani apa, Pak?" Joe dibuat heran, rekan apa maksudnya? Apa pula Carlos membawa kotak berisi barang-barang yang ada di kantornya. Naluri Joe memberikan sinyal bahaya.

Lovanko mengulum senyum, mencium batangan kayu yang selalu ia bawa kuat-kuat, kemudian berkata, "Joe Brown dan Carlos Muchsin resmi diberhentikan."

Tidak mungkin! Joe pasti sedang bermimpi, ia masih tidur pulas layaknya bayi di ranjang hangat rumah sakit. Dirawat Suster Mina yang manis, merasakan sesak akibat alerginya. Namun, ketika melihat Carlos menggeleng pasrah, Joe tidak bisa berkata apa pun.

Lovanko permisi, kembali masuk. Memberhentikan langkah beberapa saat sebelum pintu tertutup. Lovanko menepuk tangannya kuat sekali. "Selamat tinggal!" serunya dengan senyum lebar penyebab keriputnya semakin terlihat jelas.

"Atas dasar apa?" Pertanyaan yang telat dikatakan Joe. Menendang kotak barangnya yang tergeletak di depan pintu. Polisi-polisi yang lain hanya bersimpati sambil menepuk punggung Joe, memberikan dukungan semangat, walaupun tak berguna sama sekali.

"Apa sudah baikan, Joe?" tanya Carlos, ya, para polisi mendapatkan kabar bahwa Joe masuk rumah sakit kemarin malam.

Tidak ada jawaban, Carlos hanya bisa menggeleng maklum, menghela napas menatap ke atas seraya berkata pelan bahwa ia lapang dada menerima semua ini. Diterima dan dipecat dalam sebuah pekerjaan sudah menjadi hal lumrah dalam kehidupan. Cukup adil sebenarnya, itu karena Joe dan Carlos tidak becus menjadi seorang polisi yang baik, tidak perlu menyalahkan siapa pun dalam pemberhentian mereka berdua.

"Kau harus menjelaskan ini semua, Carlos." Joe mengangkat kotak dengan kasar, melirik tajam ke arah polisi di sampingnya lantas berjalan menuju mobil, mengabaikan teriakan polisi muda yang kini kehilangan panutannya. Sungguh! Ia tak tahu kenapa dipecat!

"Tentu," balas Carlos, "bagaimana kalau di Muchsin's Cafe."

"Terserah." Joe mengikuti Carlos, tidak ada gunanya marah sekarang, mendengar penjelasan rekan kerja yang doyan donat itu lebih patut dilakukan daripada mengejar orang tua itu.

Jika semua sudah jelas akar perkaranya, ia bisa menentukan harus bagaimana ke depan merelakan profesi yang sangat dicintainya atau Joe bisa menuntut si manusia kayu manis itu agar memberikan pekerjaannya kembali, secara baik-baik atau dengan sedikit tinju.

"Sial! Topiku tertinggal di rumah Jeffere!"


Selamat datang kembali, Joe! Maaf menjadikanmu korban tangan jahil Evelyn, setelah ini selesai saya akan berikan manisan paling enak versi gambarnya. Oke?

Semakin hari benang kusut mulai terbuka pelan-pelan, butuh ketekunan untuk mengetahui siapa yang ada di kedua ujung penyebab dua pembunuhan serta latar belakang Edward melakukan semua itu.

Jadi, ikuti kisah Evelyn dan jangan lupa sediakan media untuk melepas kekesalan, bila Evelyn melakukan hal-hal bodoh lainnya.

Selamat menikmati!

Papay!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro