Vampire's Hope

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sinar bulan menyinariku. Aku tersiksa dalam kegelapan gang sempit. Air liurku tidak bisa berhenti menetes. Tidak peduli seberapa keras aku menahan diri mati-matian, rasanya mustahil untuk tidak minum darah.

"Viano. Ya ampun, kau ini kenapa sih? Kau terlihat lemas, belum minum darah manusia hari ini?"

Pemuda berambut pirang terkekeh lalu merangkul pundakku. Namanya Leon.

"Kita sudah sepuluh tahun bersahabat. Biasanya kita sering berburu bersama, tapi akhir-akhir ini kau menghindariku. Bahkan juga terlihat sering sakit. Apa yang terjadi?"

Aku menatap matanya dengan ekspresi sinis.

"Aku sedang puasa darah. Baru tahan tiga hari sih."

"Hah? Puasa darah? Sudah kuduga kau melakukan itu lagi. Ya ampun, kau ini gila sekali, Viano. Ingatlah! Kau ini vampir! Untuk apa kau menahan diri minum darah manusia?"

Leon menepuk jidatnya, menutup mata sejenak. Dia terlihat kebingungan sekali melihatku seperti ini. Tapi bukan perasaan khawatir yang ada di hatinya. Bibirnya menunjukkan sedikit senyum. Seolah-olah mengejek diriku yang 'aneh'.

Aku lantas melepas rangkulannya, lalu mendorongnya agak kasar.

"Inilah kenapa aku ingin menjauhimu. Sudahlah, cari saja vampir lain untuk dijadikan teman. Aku ingin sendiri dulu. Berdekatan denganmu yang sering ngomongin rasa darah membuatku tidak bisa konsisten berpuasa."

Aku segera berjalan pergi agar Leon tidak menggangguku lagi. Tatapanku masih sinis saat memandangnya.

"HAHAHAHAHA! HEY VIANO! Jangan bilang ... kau ini sebenarnya pengen jadi manusia?"

Jantungku hampir copot mendengar itu.

Itu adalah kata-kata yang sangat kubenci. Beberapa vampir pernah melontarkannya padaku dan telingaku selalu tidak nyaman mendengarnya.

Rasa darah manusia terlalu lezat. Mereka yang sudah menjadi vampir cukup lama hampir semuanya menyerah pada kemanusiaan dan menuruti nafsu mereka terhadap darah.

Ketika sudah menjadi vampir sangat lama, hingga melebihi sepuluh tahun, tentu terlihat aneh jika tiba-tiba ingin jadi manusia. Padahal jalan menuju sana sangat menyiksa diri, sedangkan rasa darah luar biasa lezatnya.

"Loh? Kenapa diam? Jangan-jangan aku benar?"

Leon tersenyum mengejek. Kemudian dia tiba-tiba tertawa lantang. Gang kecil yang kotor ini sampai dipenuhi gema dari tawanya.

"DIAM! KAU TIDAK PANTAS MENGEJEKKU! INI ADALAH KEINGINANKU SENDIRI MENJADI MANUSIA!!!"

BRAK!!

Aku memukul dinding hingga sedikit hancur.

"Hah ... kau ini. Aku benar-benar tidak mengerti isi kepalamu. Viano, kita ini sudah jadi vampir selama belasan tahun loh. Kita sudah merasakan betapa lezatnya darah. Membunuh juga sudah biasa kan? Kenapa malah ingin jadi manusia?"

"Ini ... ini keinginanku sendiri."

"Keinginanmu?"

"Aku sudah terlalu banyak membunuh manusia dan menghisap darah mereka. Padahal dulu aku salah satu dari manusia-manusia itu. Rasanya menyedihkan sekali kondisiku ini. Aku ingin rindu dengan moralitas, aku rindu dengan kemanusiaan, aku rindu makan masakan yang enak, aku rindu tidur nyenyak tanpa memikirkan dosa. Aku ... rindu jadi manusia."

Mengeluarkan isi hati seperti ini membuatku ingin menangis. Rasanya terlalu memalukan dan menyedihkan. Apalagi jika sesama vampir yang mendengarnya.

Tapi memang seperti itulah perasaanku.

Setelah mendengarnya ekspresi Leon kini berubah menjadi serius. Tidak mengejek seperti sebelumnya.

"Begitu ya. Sebagai vampir ternyata kau masih sisi seperti itu."

Leon terlihat bersimpati. Di mata vampir sosok sepertiku ini memang terlalu menyedihkan. Jika ia ingin mengejekku sekarang aku tidak peduli. Dan jika ia membujukku untuk tetap menjadi vampir aku tidak mau mendengarkan.

"Hey Viano. Aku paham perasaanmu. Tapi ... kau sadar betapa sulitnya menjadi manusia kan?"

"Aku tau. Aku sadar. Untuk menjadi manusia, vampir harus puasa darah sampai seratus hari."

"Kau sudah tau itukan!? Lalu kenapa masih maksa jadi manusia!? Menahan diri tiga hari saja sudah susah payah! Rasanya terlalu menyakitkan. Sungguh, puasa seratus hari itu tidak mungkin. Tidak ada harapan."

"Aku tidak peduli. Aku akan tetap melakukannya."

Tatapan tajamku mengarah pada Leon selama beberapa waktu. Kakiku lalu melangkah pergi meninggalkannya.

Kali ini Leon tidak mengejarku. Dia memasang ekspresi rumit sambil melihat punggungku yang semakin menjauh. Usai mendecakkan lidah, ia pun melompat pergi ke satu bangunan ke bangunan lain.

Air liurku masih saja menetes. Tubuhku sangat lemas. Kepalaku pusing. Kondisiku sekarang buruk sekali.

Di gang yang sunyi. Sendirian. Vampir yang sangat malang. Itulah aku.

Ketika aku ke jalan raya, aku bisa melihat ada banyak manusia yang berlalu-lalang.

"Darah manusia ... sudah tiga hari aku tidak mencicipinya. Mungkin sekali hisap saja boleh? Tidak masalah kan? Besok aku bisa puasa lagi?"

Aku tersenyum kecil. Setelah sadar aku langsung menggeleng cepat.

"Aaahh! Apa sih aku! Aku udh bilang begitu terakhir kali dan masih saja gagal puasa! Gak boleh gak boleh. Pokoknya harus berhasil!"

Aku berteriak sendiri yang mana memancing perhatian beberapa orang. Sontak aku terkejut dan langsung berlari dari sana.

Ini tidak baik. Nafsuku sulit sekali dikontrol. Aku harus menahannya sampai 97 hari lagi. Masih jauh, tapi aku pasti akan terbiasa. Aku harus melakukannya!

Aku terus berlari dengan kecepatan manusia normal.

Taringku memanjang dengan sendirinya. Iris mataku memerah terang. Aku tidak bisa mengendalikan ini karena sedang nafsu dengan darah.

"Kapan ini berakhir? Kapan aku jadi manusia?"

Aku menggertakkan gigiku. Air mataku menetes tanpa bisa ditahan lagi.

Puasa darah terlalu menyiksa. Otakku terus saja berisik menyuruhku minum darah. Namun, aku tidak mau menyerah. Aku harus mencobanya terus, terus, dan terus. Sampai aku tidak bisa minum darah lagi.

***

Siang hari adalah waktu di mana para vampir tidak berkeliaran. Karena di waktu ini tubuh mereka melemah dan agak perih jika terkena matahari. Kondisi yang sangat tidak nyaman tapi tidak sampai menimbulkan hal fatal.

Saat ini aku berbaring di tempat duduk umum. Tubuhku terlalu lesu, bahkan hanya untuk beranjak bangun dari posisi berbaring.

Beberapa orang datang menawari makanan, tapi aku menolak semuanya.

Ah, kali ini ada seorang lagi yang melakukan itu.

"Permisi, aku lihat kau sepertinya sedang kelaparan. Apa kau diusir dari rumah? Aku punya dua kotak nasi dengan ayam kentucky. Aku bisa memberimu satu. Tidak perlu sungkan, makanlah."

Gadis itu duduk di dekatku dengan senyuman ramah. Kebaikan hatinya membuat hatiku hangat tapi merasa bersalah di saat yang sama.

'Ah ... beginilah manusia. Baik hati. Suka tolong-menolong. Berbeda denganku yang merupakan pembunuh berdarah dingin.'

Aku bersusah payah bangkit. Setelah berusaha keras akhirnya bisa duduk juga.

"Maaf, aku tidak mau menerima itu. Aku tidak suka rasanya."

"Gak kentucky? Serius? Padahal ini sangat enak. Mustahil ada yang tidak menyukainya."

"Itukan menurutmu sendiri."

Gadis itu mengerutkan kening. Lalu tersenyum lagi, masih menawarkan.

"Tapi kau kelaparan 'kan? Ayo, makan saja. Di situasi sulit kau harus makan meskipun kau tidak menyukai rasa makanannya."

"Bukan, bukan itu. Aku benar-benar ... tidak bisa makan itu."

"Bohong, kau pasti orang gak enakan."

"Gak bohong. Aku serius. Percaya atau tidak, di lidahku ayam kentucky itu rasanya seperti kotoran kuda yang dicampur kaos kaki busuk."

"Berlebihan ah. Memangnya kau pernah makan semua itu?"

"Belum pernah sih."

"Tuhh kan ... berarti kau ngibul. Ini, makan saja."

Gadis ini terlalu memaksa. Sekarang kotak nasi dan ayam kentucky itu di tanganku.

Aku menatapnya, gadis itu sekarang melahap makanannya dengan lahap. Ekspresinya ceria sekali, tapi tidak seceria aku sangat minum darah.

"Aku ini vampir. Makanya gak suka ini."

"Bohong. Vampir kok ngaku. Udah, makan aja itu."

"Aku serius! Aku memang vampir!"

"Gak percaya ah. Udah, makan aja itu sampai habis. Kalau tidak enak, makan saja. Paksakan. Sekalipun rasanya seperti pizza yang direndam di dalam got."

"Mana bisa aku melakukannya."

"Kau bisa. Kau pasti bisa memakan ayam kentucky itu."

Gadis itu masih keras kepala. Ia lalu melanjutkan.

"Seandainya kau vampir pun ... kau harus tetap memakannya. Malah itu bagus kan? Kau jadi lebih kenal dunia manusia. Kalau kau dulunya manusia, kau bisa bernostalgia dengan masa-masa saat menjadi manusia. Tentu rasanya beda, tapi sayang jika tidak melakukannya kan? Lagipula, kau sudah lesu banget tuh. Kalau memang vampir, coba paksakan diri jadi manusia. Pasti bisa!"

Gadis ini mudah sekali berbicara. Tapi kata-katanya membuatku kepikiran. Bahkan ... dia juga memberiku sedikit harapan saat ia membahas dunia manusia.

"Baiklah. Meskipun rasanya menjijikan, aku akan makan ini. Ayam kentucky ini lebih baik dari darah."

"Benar! Benar! Ayam kentucky lebih baik dari darah. Hidup ayam kentucky!"

"Hidup ayam kentucky!"

"Hidup ayam kentucky!"

Dan dengan begitu, aku pun melahap ayam kentucky bersamanya.

















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro