Bab 27. Nick: Ini Sulit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gue nggak tahu harus mulai dari mana, tapi yang jelas gue ingin dengar semua dari Ayah.

Di sinilah gue, di kamar pribadi Ayah yang nggak begitu luas, hanya ada ranjang ukuran sedang dengan seprai warna putih, sofa kecil lengkap dengan meja kaca bulat, dan karpet bulu terhampar di lantai. Ayah mengajak gue duduk di sofa, saling berhadapan. Untuk pertama kalinya gue merasa asing berdekatan dengan pria berkepala sedikit botak bermata biru ini.


"Ayah, Nick nggak tahu harus tanya dari mana, tapi yang jelas, Nick dengar pembicaraan kalian," ujar gue dengan sedikit rasa canggung. "Nick pengen tahu semua yang selama ini kalian tutupi, semua, Yah, tanpa ada sensor." Mata gue menatap dalam mata biru yang penuh kasih itu, melihat senyum terpampang di wajahnya, sama sekali nggak mencerminkan keresahan atau rasa kurang suka.


"Apa saja yang Nick sudah dengar?"


"Tentang trauma Mama, dan kenyataan pahit tentang Ayah kandung Nick," jawab gue dengan kalimat yang tercekat di tenggorokan, sakit. Ayah menatap gue penuh kasih hingga air mata gue nggak sadar sudah memenuhi mata dan siap meluncur saat gue mendapati Ayah berpindah duduk. Menjajari dan kemudian memeluk gue.


"Nicholas Dawson adalah anak James Dawson, itu nggak akan berubah, sampai kapan pun."


Gue mendengar bisikan Ayah di kuping dan justru bikin dada makin sesak, sakitnya bertambah berkali-kali lipat.

"Kenapa kalian merahasiakan ini?"


Ayah melepaskan pelukan, merangkul bahu gue menggunakan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya sibuk menyeka air mata yang ternyata membanjir juga di wajahnya.


"Ayah kira semua akan berjalan sesuai rencana kami, Ayah dan Mama."


"Rencana menyembunyikan fakta?"



"Sama sekali bukan begitu, Nick."



Ayah melepaskan rangkulannya dan berjalan menjauh, mencari sesuatu di laci lemari kecil yang terletak di sudut kamar tempatnya menyimpan berkas-berkas kerja.


"Lalu kenapa?"



Ayah mengambil sebuah kotak berwarna hitam berukuran sebesar kardus air mineral, lalu memasukkan anak kunci yang tadi diambilnya, diputar ke arah kanan sekali dan kotak itu terbuka. "Kemarilah!" Ayah menyuruh gue mendekat ke arahnya.


Sedikit penasaran, gue bergegas mendekat dan mendapati tumpukan buku yang penampakannya kayak novel. Ayah mengeluarkan semua isi kotak itu, gue mendapati beberapa novel dengan nama penulis yang sama Thomas C. Horn.


"Ini apa, Yah?" Gue menatap Ayah dan benda-benda itu bergantian.



"Ini semua karya ayahmu, dan ini ... ada foto lama yang mungkin Nick ingin lihat," jelas Ayah sambil menyodorkan album foto berukuran sedang ke gue. Dengan tergesa gue terima dan mulai membalik lembar-lembar di dalamnya yang berisi foto Mama dan seorang bule tampan, yang—menurut gue—mirip banget sama gue.



"Dia Ayahku?"


Ayah mengangguk, "iya, kalian sangat mirip!"



Ya, itu fakta.


"Karena alasan itu Mama pernah membenciku?"


Ayah lagi-lagi mengangguk, lalu beliau bercerita, "kami menikah dan memutuskan untuk menetap di Jakarta, dengan maksud agar mamamu tidak lagi mengingat luka-luka dan kesakitannya. Cukup berhasil, lalu saat kamu lahir, semua berubah.


"Mamamu suka berteriak histeris, menangis tanpa sebab, lalu mogok memberimu ASI."

Ayah bernapas sebentar, menatap gue sekilas, lalu melanjutkan, "semua karena wajahmu yang sangat mirip dengan Thomas, dan mamamu tidak bisa menerimanya."



Gue merasa jadi anak yang nggak diinginkan, "mungkin harusnya Nick nggak lahir, dari pada membuat Mama tersiksa, bahkan sampai saat ini," ucap gue dengan hati hancur.


Ayah menggeleng, "itu tidak benar, dia sangat menyayagimu."


Ayah juga bercerita tentang orang tuanya yang begitu menyayangi gue, makanya sejak kecil kami tinggal di Bali bersama orang tua Ayah James demi menjauhkan gue sama Mama.

Mama sempat dirawat oleh ahlinya untuk memulihkan kondisi kejiwaan yang labil di Jakarta, dan selama itu kami hanya sesekali bertemu. Hingga saat gue lulus SMA dan nggak berapa lama kemudian orang tua Ayah meninggal karena kecelakaan, akhirnya Ayah memutuskan untuk pindah tinggal di Jakarta bersama Mama.


"Lalu sekarang apa yang harus Nick lakukan?"


"Bicaralah empat mata dengannya, dan saran Ayah, berhentilah berjuang untuk sesuatu yang sia-sia jika hatimu tidak yakin," nasihatnya. "Mencintai tanpa dicintai sungguh bukan hal mudah, setidaknya itu yang Ayah rasa." Gue mengangguk-anggukan kepala sambil mencerna maksud dari kalimat pria berbadan sedikit tambun itu.


"Nick akan bicara sama Mama, di mana Mama sekarang?"


"Mama di sini, bicaralah, Sayang!"


Mama terlihat masuk dari pintu kamar Ayah yang memang nggak tertutup, lalu mendekat ke arah kami.


Gue menubruknya, memeluk wanita bergaun putih itu penuh rasa haru, dan bertekad dalam hati akan melakukan apa pun yang bisa membuat Mama selalu tersenyum dan bahagia.


"Ma, katakan apa yang harus Nick lakukan biar Mama bisa bahagia dan melupakan semua kesakitan yang selama ini Mama rasakan!" Mama tersenyum, senyuman manis yang selalu bikin gue bahagia. Bahkan sanggulnya sudah rapi kayak hari-hari yang lalu, gue menyimpulkan bahwa beliau dalam keadaan baik-baik saja saat ini.


"Mama nggak keberatan Nick jadi penulis, tapi dengan satu syarat," kata Mama menggantung.


Mata gue membulat mendengar kalimat yang baru saja keluar dari bibir bergincu merah menyala itu.

"Apa syaratnya?"


"Putuskan Diva!"



"Kami saling mencintai, Ma!"



Benar firasat gue, hubungan ini memang akan berakhir, cepat atau lambat.


"Renungkan apa yang Ayah katakan, dan pertimbangkan permintaan Mama," bisik Ayah di kuping gue.



Mama terlihat membenahi kotak yang tadi Ayah keluarkan, menutupnya kembali dan meminta suami penyabarnya itu untuk membawa ke tempat pembakaran sampah di halaman belakang. Mereka keluar kamar dan gue membuntuti, melihat apa saja yang akan dilakukan dengan kotak itu. Dia sana, saat asap mengepul, melahap kertas-kertas nggak berdosa itu, gue melihat Mama memeluk Ayah.



Ini pertama kalinya gue melihat mereka tertawa bersama sebahagia itu.


Haruskah gue mengejar cinta yang belum terlihat masa depannya, ataukah memilih untuk mewujudkan cita-cita yang bahkan sudah gue pupuk sejak kecil?


Kenapa semua harus sesulit ini?

Membuat Mama bahagia berarti harus berpisah dengan Diva, wanita yang mati-matian gue berjuang mendapatkannya. Melihat tawa Mama saat ini, rasanya gue akan jadi anak paling durhaka kalau bikin wanita itu menangis lagi. Hidup memang pilihan, dan mungkin inilah saatnya gue memilih. Membuat Mama tersenyum bahagia atau menangis penuh luka.

Mungkin memang Tuhan memiliki matahari yang lebih hangat untuk Diva.

Mungkin juga gue malah nggak pantas menjadi matahari, karena matahari nggak akan pernah menangis meski dia harus terus menyinari tanpa menerima imbalan. Sedangkan gue, mendengar kenyataan yang sedikit nggak sesuai keinginan aja nangis, mana mungkin Tuhan mempercayakan wanita yang butuh perlindungan itu ke gue?

Ya, gue sadar, gue memang sepayah itu, Tuhan!

Diva berhak bahagia, begitu pun Mama.


"Jangan banyak melamun, nanti anak Mama ketampanannya luntur!"

^***^

Kalimat terakhir adalah curhat emak yang kebingungan merangkai kata.

Kritik saran masih ditunggu, gezzz!


Salam,

Nofi

Tangsel, 27 Agustus 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro