Bab 9. Nick: Meresapi Kebersamaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diva menatap gue dengan pandangan penuh ketakutan. Setelah apa yang gue dengar tentang kisah hidupnya, rasa ingin jadi pelindung makin menguat. Gue mau jadi sandarannya, menjalani beratnya hari bersama-sama. Meski nggak mudah, tapi gue yakin bisa selama kami bersama. Gue pamit agar Diva merasa lebih baik.

Gue putuskan untuk mampir ke apartemen sebelum pulang ke rumah Mama. Menuangkan sedikit keresahan ke dalam tulisan. Terapi ini sukses bikin konsentrasi gue kembali dan fokus untuk langkah selanjutnya.

"Baru pulang?" tanya Mama yang terlihat berkutat dengan tablet android di tangan, "muka kenapa kok kayak cucian kotor gitu?" lanjutnya.

Gue mencium pipinya lalu merebahkan kepala di pangkuan hangatnya. Rambut pirang gue diacaknya. Gawai persegi sepuluh inchi itu tergantikan oleh pria muda tampannya ini.

"Ma, doain Nick, dong!"

Mata cokelat tua beliau menatap gue intens seolah mencari jawaban tak terlihat. Gue cuma nyengir seraya bangun dan kemudian berjalan menuju kamar di lantai atas. Gue tersenyum jail. Gue tahu banget Mama penasaran.

"Doain apa? Kok malah ngeloyor?" Beliau mengejar langkah gue dengan iris mata cokelat tuanya. Senyum gue mengembang dan mengibaskan tangan tanda nggak mau bahas lagi.

"Doain anak mama yang tampan ini sukses, udah gitu aja!" jawab gue enteng. Terlihat Mama kebingungan dengan tingkah konyol gue barusan. Gue memang suka bertingkah konyol demi sebuah senyum langka beliau.

Benar saja mata gue menemukan senyum itu di bawah sana. Mama tersenyum penuh kasih. "Mama selalu doain kamu," ucap beliau sebelum kembali duduk dan berkutat dengan benda persegi warna putih yang tadi sempat gue gantikan sejenak posisinya.

***

Gue memutar lagu 'Bali Bagus' milik Slank di kamar sambil mengikuti Kaka bernyanyi. Gue suka lagu-lagu mereka karena isinya banyak menggambarkan realita. Lagu 'Bali Bagus' misalnya di sana bercerita tentang kehidupan di Bali yang bebas tanpa terlalu banyak aturan, bebas di situ dalam artian mengekspresikan diri tanpa takut dengan omongan orang sekitar.

Berbeda dengan di Jakarta yang apa-apa diomong, semua serba digosipkan, gue nggak suka banget dengan kehidupan kayak gitu. Ngomong-ngomong ada yang penasaran nggak, sih, nama gue bule, rambut pirang, tapi suka lagu-lagu Slank dan ngomong pakai lo-gue? Sedikit cerita kalau gue sebenarnya lahir—kata orang-orang—di Jakarta, kemudian sempat pindah ke Bali dan tinggal berdua sama Ayah.

Lalu gue balik ke Jakarta saat lulus SMA dan masuk ke sekolah fotografi nggak jauh dari rumah. Gue nggak mau kuliah dan sedikit bikin Mama kesal, tapi Ayah selalu jadi pahlawan. Beliau yang membujuk Mama agar membiarkan gue memilih.

Ayah gue bule Australia dan Mama adalah blasteran ... Jawa-Bali. Kenapa panggil 'Ayah'? Entah, tapi gue suka panggilan itu. Ayah James.

"Nick, kecilin, dong, lagunya!" teriak Mama dari luar. Gue lupa kalau ini di rumah bukan apartemen. Gue nggak ngerti kenapa Mama sedikit kesal kalau dengar lagu itu diputar.

"Oke," jawab gue sambil menyisir rambut yang masih rapi bekas gunting barber shop beberapa hari lalu. Tangan gue mengecilkan volume dari speaker yang tertata rapi di meja.

Sentuhan terakhir adalah pengharum badan, jangan sampai kegantengan gue luntur cuma gara-gara bau cuka. Badan wangi, rambut dan kemeja rapi, sepatu mengilat, tampilan sempurna gue hari ini. Gue mematikan tampilan di cermin sekali lagi dan segera melesat, sayup terdengar Ayu Ting Ting sibuk mencari alamat. Mama menyanyi mengikuti lirik lagu itu.

"Ma, bilangan Ayu kalau alamatnya nggak ketemu, suruh ke sini aja," ledek gue di telinga wanita super berambut cokelat yang selalu tersanggul rapi itu.

Mama yang kaget menepuk tangan gue yang bersiap mencomot pisang goreng di piring dekat kompor. Gue tergelak dan beliau tersenyum. Senyum yang mampu membuat gue semangat menjalani hari.

"Mau ketemu klien atau ada pemotretan?" tanya beliau sambil membawa nampan berisi jus jeruk ke meja makan. Gue duduk menanti sarapan, "jusnya diminum dulu," lanjutnya seraya meletakkan segelas di hadapan pria muda tampannya ini.

"Mau ketemu klien dulu, terus nanti mau ngapelin cewek." Gue tersenyum bangga mengucapkan tiga kata terakhir. Mama duduk di hadapan gue, mengambil roti dan mengolesnya dengan selai cokelat.

"Semoga sukses!" kata beliau tanpa bermaksud memberi senyuman lagi. Padahal gue suka banget lihat senyum Mama. Dari dulu bahkan saat gue sedih, senyuman Mama mampu membuat kesedihan hilang begitu saja.

"Makasih, Ma," sahutku tulus. "Ayah mana?" Sepotong roti tanpa selai menyusul pisang goreng memenuhi perut lapar gue.

"Lagi ngurusin pembebasan tanah," jawab Mama lirih. Beliau menatapku sejenak sebelum beranjak ke dapur. Mama terlihat menyibukkan diri di dapur. Selalu seperti itu.

"Ayah ke Bali?" tanyaku.

Beliau menjawab dengan anggukan. Gue melanjutkan sarapan dan menenggak habis jus jeruk segar itu, lalu pamit pergi. Deru knalpot halus terdengar mengiringi perjalanan gue ketemu klien untuk briefing.

***

Gue datang lagi ke rumah Diva, dan mereka semua di rumah. Diva yang memandang gue penuh antipati bikin nyali ciut. Gue nggak biasa ditolak, dan saat merasakannya ternyata sakit.

"Gue nggak ngerti mesti gimana bilang sama lo, jangan datang lagi ke sini!"

Kalimat bernada mengusir singgah di kuping gue. Tante Ayu yang mungkin merasa nggak enak sama gue berusaha menasihati Diva, tapi perempuan itu malah masuk.

"Maaf, ya, Nick, Diva memang masih belum bisa percaya sama orang lain," ujar Tante Ayu.

Gue mengangguk mengerti.

"Om, temani Al kerja PR bisa?" tanya gadis tujuh tahun itu sambil menunjukkan buku dan pensil.

Tante Ayu mengangguk dan mengajak kami masuk. Gue kuatkan hati dan berusaha tetap membuat Al merasa nyaman. Gue terpikat dengan kepolosan anak itu.

"Nick, berjuanglah agar kalian bisa sama-sama," ujar Tante Ayu dengan tatapan memohon.

Gue hanya mengangguk seraya kembali memperhatikan Al menulis. Meresapi kebersamaan dengan Al yang secara nggak sadar sangat gue inginkan.

***

Mamak renjer up dini hari, wkwkkw tumben.

Saran kritik boleh disampaikan.

Salam,

Nofi

Tangsel, 9 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro