Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gue yang selama ini merasa tampan--karena memang itu yang orang-orang di sekeliling katakan--mendadak jadi mati kutu. Wanita cantik bermata cokelat muda itu benar-benar menjungkirbalikan dunia gue. Gue dengan penasaran tingkat dewa terus berusaha mendapatkan hatinya. Ini gila!

Laki-laki mana yang terima begitu saja ditolak oleh wanita incarannya? Itu yang terjadi, semakin dia menolak, semakin gencar dan nekat usaha gue.

Mendekati orang-orang terdekatnya adalah cara jitu. Buktinya setelah beberapa kali ditolak, akhirnya malam ini tembakan gue melesak tepat sasaran. Wanita bermata indah itu tersenyum—senyum pertama yang ia tujukan buat gue pastinya—dan itu sungguh membuat gue merasa di atas awan. Dengan percaya diri tingkat lanjut, tangan gue berusaha menggenggam jemari lentiknya, bermaksud menciptakan suasana romantis.

"Stop!" cegahnya dengan menjauhkan posisi tubuh kami yang semula begitu dekat. Gue heran dan sedikit kesal dengan wanita ini. Wanita memang aneh dan susah ditebak.

"Why?" Gue bingung atas penolakan yang kembali terjadi, berusaha memangkas jarak, dan dia mengangkat kedua telapak tangannya ke depan dada sebagai tameng.

Gue mengalah dan kembali memosisikan diri di tempat semula. Senja yang mulai merah menjadi saksi kebisuan kami. Hela napas terdengar lirih di sebelah kanan gue yang menandakan gadis berambut cokelat kemerahan itu sedang gelisah.

Sesaat kemudian ia mengeluarkan suara, "Maaf, Nick untuk sementara tolong jangan sentuh aku--"

"Bahkan hanya tangan?" selidik gue heran bercampur tak percaya.

Dia mengangguk kemudian menunduk. Ingin sekali rasanya gue angkat dagunya dan melumat bibir seksi itu di temaram senja nan romantis. Namun, semua hanya keinginan yang nyatanya akan jauh dari kenyataan. Sebagai gentleman sejati harusnya gue nggak ngambek.

"Diva, maafkan atas sikap kurang ajarku. Aku janji, ini nggak akan terulang," janji gue yang disambut senyuman manisnya.

"Aku masih terlalu trauma dengan masa lalu. Aku janji akan berusaha untuk nggak bikin kamu kecewa."

Senyumnya masih terlihat meski samar, matanya menatap gue penuh harap. Mungkin sekarang saatnya buat gue menunjukkan keseriusan padanya. Kami masih saling menatap sebelum akhirnya gue buang muka. Kedua telapak tangan gue saling menggosok demi meredam debaran jantung yang nggak menentu. Gue gugup, coy!

Gawat kalau keterusan gue tatap dia kayak gini. Bisa-bisa bibir seksi itu gue sosor tanpa sensor!

"Kamu bisa pegang janjiku. Sekarang kita cari makan," ajak gue. "Aku lapar!"

Dia hanya mengangguk dan langsung berdiri. Kami berjalan beriringan tanpa menyentuh satu sama lain. Senja di dermaga kami tinggalkan untuk mencari pengganjal perut. Semoga pada kunjungan berikutnya, kami sudah layaknya pasangan normal yang bebas untuk menyentuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro