15. Kehidupan Baru Telah Menanti Di Depan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Putri! Putri!" Orain berlari dengan terburu-buru melewati pagar pembatas antara paviliun dengan area rumah sakit sambil melambai-lambaikan sebuah koran. Dia mencari-cari majikannya yang ternyata sedang berkebun bersama Countess Emilia dan kembali berteriak memanggilnya dengan penuh semangat.

"Orain, bersikaplah sopan," Countess Emilia mengernyit saat wanita itu berhenti di dekat mereka dengan napas terengah-engah.

"Maaf... Countess," Orain mengatur napas terlebih dahulu, baru kemudian membentangkan lembaran koran yang dia bawa. "Putri, Pangeran Dhesias dilantik sebagai Grand Duke wilayah Utara malam kemarin! Sekarang nama beliau bukan lagi Ifrusilanta, melainkan Arahansa! Dan nama tersebut akan tersemat pada saudara kandung pangeran dan istri beliau!"

Seveila menatap Orain dengan heran. Dia tidak begitu mengerti kenapa wanita itu tampak begitu gembira dan juga bersemangat.

"Putri! Nama Anda bukan lagi Ifrusilanta, melainkan Arahansa!" Orain menjelaskan, "Anda tidak perlu lagi kembali ke Istana dan Anda bisa pergi bersama Yang Mulia Pangeran!"

Penjelasan tersebut membuat Seveila terpaku.

"Ini berita yang sangat menggembirakan," Countess Emilia tersenyum lebar. Dia mengikuti banyak berita di surat kabar, salah satunya adalah isu tentang pencopotan nama keluarga kerajaan dari nama Seveila. Sekarang mendengar kabar yang disampaikan Orain, wanita tua itu menjadi lega karena anak asuhnya tidak perlu menyandang nama keluarga ibunya yang dianggap sebagai pengkhianat. Sang Putri bisa terlepas dari aib lain yang ingin digantungkan oleh orang-orang.

"Bagaimana kalau kita merayakan kabar ini, Countess?" Orain sudah tampak tidak sabar untuk membuat sesuatu.

Wanita tua itu tertawa melihat kebahagiaan di wajah Orain. Dia benar-benar yakin bahwa pelayan itu merupakan salah satu dari orang-orang yang tulus pada anak asuhnya. "Bagaimana kalau kita membuat makanan kesukaan Tuan Putri? Pie buah, sup asam ikan dan roti mentega, juga teh bunga biru dengan lemon?"

"Itu akan menjadi makan siang yang enak, Countess!" seru Orain.

Seveila menatap keduanya bergantian, karena masih belum mengerti apa yang sedang terjadi. Nyaris tidak ada informasi baru yang masuk ke telinganya dan Orain menyingkirkan semua surat kabar, sehingga dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar.

"Apa saya boleh ikut dalam pesta kecil tersebut?" Pertanyaan itu membuat ketiga wanita itu menoleh ke asal suara.

Aderio muncul dari arah halaman depan dengan membawa buket bunga Aster biru, putih, merah jambu, yang dipadukan dengan bunga lily putih di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menenteng sebuah keranjang rotan yang kemungkinan besar berisi makanan. Dia mengenakan pakaian yang lebih santai berupa kemeja yang dirangkap dengan sweater wol berwarna krem serta celana panjang cokelat tua.

"Mayor..., Anda datang lagi," Countess Emilia menyambutnya dengan tangan terbuka.

Sementara Seveila hanya diam di belakang Countess. Dia masih sibuk membersihkan tangannya yang kotor terkena getah daun dan tanah. Aderio memang sering datang kemari, dengan alasan membawakan buket bunga titipan dari Grand Duke Abraham serta makanan kecil dari Grand Duchess Letia.

"Kebetulan Tuan Fisto memasak pie buah kesukaan Putri tadi dan Nenek memintaku mengantarnya kemari," Dia membuka tutup keranjang dan menunjukkan isinya pada Countess Emilia.

"Berarti kita tinggal memasak sup ikan asam dan roti mentega serta menyiapkan teh bunga biru dengan lemon?" Countess menoleh ke arah Orain.

"Akan saya siapkan bahan-bahannya, Nyonya!" seru Orain sambil berlari ke dalam paviliun.

"Apa Anda bisa membantu kami mengumpulkan bunga biru di kebun?" tanya Countess sembari mengambil buket bunga dan keranjang rotan dari tangan Aderio.

"Tentu saja, tapi... bunga biru yang mana?" Aderio meringis sambil menggaruk pipi kirinya yang tidak gatal.

"Aku tahu tempatnya," sahut Seveila. "Kita bisa mencarinya bersama."

Countess Emilia tersenyum mendengar penawaran sang Putri, sedangkan Aderio terlihat sedikit terkejut. Ini baru pertama kalinya Seveila menawarkan diri membantunya, setelah berhari-hari dia hanya diam saja saat melihat kedatangannya kemari.

"Terima kasih, Putri," Pria itu tersenyum lega.

Countess Emilia pun pamit masuk ke paviliun sedangkan Seveila dan Aderio mencari bunga biru di kebun. Dokter Amer, dokter yang menjadi penanggung jawabnya, sangat mendukung kegiatannya beraktivitas di luar ruangan. Beliau bahkan mempersilakannya untuk menanam bunga maupun sayuran di area sekitar paviliun bersama Countess Emilia. Kata sang dokter, beraktivitas di luar ruangan itu sangat bagus, apalagi kalau dia sering terkena paparan sinar matahari, itu bisa memperbaiki suasana hatinya.

Mulanya Seveila tidak percaya, tetapi setelah berhari-hari menanam bunga, membersihkan rumput liar di kebun, kemudian memetik bunga-bunga yang akan mekar untuk dirangkai dalam vas, gadis itu baru menyadari kebenaran ucapan sang dokter. Suasana hatinya memang membaik, walau dia masih merasakan kebas di dalam hati seperti... hidup segan, tetapi mati pun tidak bisa. Seveila masih merasakan kekosongan, kehampaan, serta kebingungan terhadap dirinya sendiri.

"Aku tidak mengerti kenapa Ibu dan Orain sangat senang," Seveila membuka perbincangan di antara mereka berdua saat keduanya sedang memilih bunga biru dari beberapa tanaman yang merambat di rangka besi. "Apa Anda tahu alasan mereka senang, Mayor?" Dia menatap pria yang berdiri di seberangnya.

Aderio yang sedikit kebingungan untuk memilih bunga mana yang harus dia petik, mengalihkan pandangannya pada sang putri. "Mungkin mereka senang, karena Putri bisa berhasil dibawa pergi dari Istana dan dengan pemberian wilayah dan kekuasaan di tangan Pangeran Dhesias, Beliau juga memiliki kekuatan politik untuk menolak, menerima, atau pun menegosiasi sesuatu."

"Oh," Seveila ber-oh datar. "Itu terdengar seperti selama ini Kakakku tidak memiliki kekuatan apa-apa."

"Pada kenyataannya, memang Beliau sangat kesulitan dalam memperjuangkan sesuatu, karena tidak memiliki suara di Majelis Tinggi, Putri," jelas Aderio.

Seveila tidak bertanya lagi dan melanjutkan memetik bunga biru.

"Apa bunga ini yang dipetik?" Aderio menunjuk sebuah bunga yang menguncup.

"Jangan! Ambil yang sudah mekar, kemudian nanti kita bersihkan lalu dipanggang sampai kering," kata Seveila.

"Tidak menjemurnya?" Aderio agak kebingungan.

"Kalau menjemurnya butuh waktu agak lama. Memanggangnya justru memakan waktu lebih cepat," jelas Seveila.

Aderio mengangguk-angguk paham, kemudian kembali memetik bunga biru itu. "Putri..., tolong jangan panggil jabatan saya," Pria itu berdeham pelan, "Kalau Putri berkenan, tolong panggil saya dengan nama saya saja."

***

Raja tidak ingin bertemu siapa pun. Itu yang dikatakan James saat Lalena pergi ke Istana Raja. Awalnya, Lalena masih bersabar saat malam sebelumnya suaminya beralasan ada rapat darurat yang harus diikuti karena membahas penyerangan Querta di Moran. Namun, siang ini, setelah semua rapat dan kemeriahan pesta semalam, Sadhe masih belum bisa ditemui? Padahal pagi tadi Dunna menghadap Sadhe untuk membahas anggaran kuil. Dari kejadian itu, Lalena paham bahwa sang suami menghindarinya.

Sudah pasti Sadhe akan berusaha berkelit, apalagi dengan pemberian kekuasaan pemerintahan dan militer kepada Dhesias semalam! Seharusnya mereka bertengkar besar sebelum pelantikan kemarin dimulai! Tapi apa? Sadhe memperdayanya dan mengatakan bahwa pesta semalam adalah pesta yang dilakukan untuk memperbaiki hubungan dengan Entrafarmona.

Lalena berdecak sambil memijat pangkal hidung. Dia bersandar di kursi malas sambil mencoba melepas ketegangan akibat pelantikan semalam. Pagi tadi ayah dan saudaranya datang ke Istana Ratu. Sudah jelas mereka sangat keberatan dengan pelantikan Dhesias dan menginginkan pengurangan bahkan penurunan kekuasaan. Namun, pelantikan itu sudah terjadi. Hanya kejadian tertentu saja yang bisa membuat Dhesias kehilangan kekuasaaannya, salah satunya apabila dia gagal menghadapi Querta.

Wanita berambut cokelat gelap itu menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lukisan taman surga serta gantungan lampu emas yang menyerupai susunan tetes air. Haruskah dia menyabotase tugas Dhesias di wilayah Utara? Jika rencananya berhasil, maka Dhesias akan kehilangan kekuatan sekaligus pendukung. Namun, jika rencananya gagal, maka nama Dhesias akan semakin terang dan yang paling berbahaya, bisa jadi dia terkena masalah akibat rencana sendiri.

"Mimei," Ratu memanggil dayang yang berada di dalam kamarnya. "Pergi dan periksa sekali lagi, apakah Raja berada di ruangannya. Jangan beritahu bahwa aku akan ke sana, hanya pastikan saja Raja berada di mana."

"Baik, Yang Mulia," Wanita berambut hitam dan bergaun putih hitam itu membungkuk hormat sebelum meninggalkan kamar Ratu.

Sebelum merencanakan sesuatu, dia harus lebih dulu memahami rencana Raja. Tak berapa lama, Mimei kembali ke Istana Ratu dan mengatakan bahwa Raja berada di ruang kerja. Lalena kemudian pergi ke ruang kerja Sadhe tanpa seorang dayang pun. Kekesalannya atas keputusan sang suami bisa terlihat jelas di wajahnya yang jelita. Ketika tiba di depan ruangan Raja, salah satu prajurit hendak mengumumkan kehadiran sang Ratu, tetapi wanita itu menolak dan menyuruh mereka langsung membuka pintu. Tindakan tersebut jelas mengejutkan dan membuat Sadhe yang sedang bekerja menjadi marah. Namun, kemarahannya tertahan saat melihat Lalena masuk ke ruang kerjanya.

"Yang Mulia," Lalena membungkuk hormat kepada Sadhe.

"Ada apa Ratu datang kemari tanpa pemberitahuan?" Pria itu menghela napas sambil meletakkan pena yang sedang dipegang. Sebenarnya dia tahu apa yang ingin dibahas Ratunya, pasti tentang pelantikan Dhesias semalam. Namun, Sadhe sedang tidak ingin bertengkar dengan siapa pun.

"Maafkan saya, karena mengganggu Tuanku," ucap Lalena. "Tapi ada hal penting yang harus kita bahas bersama."

Sadhe memberinya isyarat untuk duduk di seberang meja kerjanya. "Tentang apa? Pelantikan Dhesias semalam?"

"Benar, Yang Mulia," Lalena mengangguk.

"Apa aku harus meminta ijin padamu untuk memberikan sebagian wilayah pada putraku sendiri?" Pertanyaannya membuat Lalena terdiam.

"Bukan maksud saya campur tangan dalam keputusan Yang Mulia, melainkan saya hanya ingin memberi saran, bahwa apabila kekuasaan yang diberikan terlalu besar, maka itu bisa menjadi masalah di kemudian hari, Tuanku," jelasnya dengan nada lembut. "Kita tahu sendiri, bahwa mendiang Ratu Milana dan keluarganya bersekongkol membantu Querta. Apa Yang Mulia tidak khawatir menempatkan Pangeran di sana dan membuatnya menjalin hubungan dengan Kerajaan musuh?"

"Justru dengan kepergian Dhesias ke sana, kita akan segera tahu, dia akan berkhianat atau tidak," tukas Sadhe. "Menuduh seseorang dengan bersandar pada masa lalu itu tidak dibenarkan, Ratu. Dhesias mantan Putra Mahkota dan keluarga ibunya pernah dituduh melakukan pemberontakan, apa kau mengira dia akan bertindak sembarangan?"

"Yang Mulia, Ratu Milana dan keluarganya memang pemberontak," Lalena membenarkan pernyataan Sadhe tadi.

Pria itu menatap Ratunya dengan pandangan tajam. Walau wanita di seberangnya ini cantik jelita dan memiliki tubuh yang masih menawan, tetapi Sadhe sudah tidak tertarik lagi padanya. Dia membiarkan Lalena menduduki posisi Ratu karena desakan kubu bangsawan. Jika saja tidak ada bukti atas pengkhianatan Milana dulu, mungkin istri pertamanya dan juga keluarganya tidak akan dibantai. Lalena pun mungkin tidak akan duduk di kursi Ratu.

"Keputusanku pada Dhesias adalah mutlak," ujar Sadhe. "Tidak akan ada yang bisa mengubahnya."

***

Wilayah baru, orang-orang baru, masalah baru.

Dhesias langsung berurusan dengan setumpuk masalah setelah pelantikannya semalam. Saat ini dia terkurung di ruang kerja dengan beberapa dokumen tentang laporan penyeranagn Querta, pasokan makanan di tempat penyerangan, para pengungsi, dan kerugian material yang dialami Moran. Selain urusan penyerangan, dia masih harus memutuskan lokasi kediamannya di antara kota yang disebutkan sang Raja kemarin.

Belum berhenti di situ, dalam rapat dini hari tadi, secepatnya dia diminta sudah hadir di Moran dan mengambil alih tanggung jawab pemerintahan maupun militer. Yang mana, hal tersebut ditolak Dhesias secara halus dengan mengatakan, dia butuh bantuan dari para walikota maupun para petinggi militer yang ada di wilayah utara dan berdiskusi tentang serangan Querta kali ini. Dia masih perlu banyak belajar tentang wilayah kekuasaannya, selain itu dia pun perlu mempelajari kebiasaan Querta dalam menyerang area Ifrusilant. Tanpa orang-orang yang terbiasa menghadapi situasi tersebut, sama saja Dhesias akan mencoreng mukanya sendiri.

Bicara tentang orang-orang yang memimpin di dalam wilayah kekuasaannya, Dhesias juga harus memeriksa riwayat mereka dan memastikan bahwa orang-orang ini layak untuk dipercayai. Selain itu, dia juga mempersiapkan perjalanan untuk adiknya ke wilayah utara. Edward mengatakan bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut, tetapi Dhesias masih tetap mengkhawatirkannya.

Suara ketukan pintu terdengar. Setelah Dhesias memberinya ijin masuk, Edward muncul dari balik pintu dan menyerahkan dua buah surat padanya.

"Banyak sekali karangan bunga dan surat ucapan selamat dari para Bangsawan, Tuan," katanya. "Namun dua surat ini dari Tuan Daniel dan yang satunya dari Kapten Cavadros. Saya rasa Tuan perlu membacanya."

Dhesias menerima kedua surat itu dan membacanya bergantian. Surat dari Daniel berisi tentang invetigasi tambang permata yang ada di daerah selatan. Dia memang meminta tolong pada rekannya untuk memberiksa beberapa bekas tambang yang sudah tidak berfungsi. Sementara surat Cavadros berisi tentang kerja sama penjualan kain mereka dengan keluarga Cavadros. Dari suratnya, sedikit disinggung seperti apa situasi Moran dan bagaimana keadaannya. Surat itu tertanggal tujuh hari yang lalu.

"Sekarang dia pasti sedang sibuk mengusir para penyusup," gumam Dhesias sambil melipat kembali kedua surat itu.

"Ed..., lima hari lagi aku berencana berangkat ke Moran," ucap Dhesias. "Bisakah kau secara teratur menjenguk Seveila dan melaporkan kondisinya padaku?"

"Tentu saja, Yang Mulia," Edward menyanggupi.

"Kemudian, pastikan juga untuk mengatur semua perbekalan dan keberangkatan Seveila ke wilayah utara dengan lancar. Segera setelah rumah tinggal siap, dia bisa berangkat ke sana. Selama belum ada kejelasan, setelah dia keluar dari rumah sakit, layani dia dengan baik di sini."

"Baik, Yang Mulia."

(Senin, 11 Maret 2024)

=================

Note:

Selamat menuaikan ibadah puasa!

Nggak terasa, sudah ketemu bulan ramadhan lagi. Padahal perasaan kayaknya baru kemarin aja bulan puasanya.

Untuk teman-teman yang menuaikan ibadah puasa, selamat berpuasa. Bagi yang tidak menjalankan, selamat menikmati hari-hari biasa. Berharap agar bulan puasa ini sejuk dan tidak sepanas bulan-bulan yang lalu.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen yaaa~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro