7. Aster Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Trigger warning : chapter ini berisi tentang self-harm, depresi, kemarahan. Mohon agar bijak dalam membaca cerita ini.

Gaun putih yang dikenakan Seveila terlihat mencolok dibandingkan gaun-gaun yang dikenakan para perempuan yang hadir di pesta debutante Dunna. Bukan hanya karena modelnya yang tidak mengikuti tren, tetapi karena gaun itu tampak sangat sederhana di tengah banyaknya gaun-gaun model baru yang memiliki hiasan pita atau pun mutiara. Selain itu, Seveila menolak memakai perhiasaan yang sudah disiapkan Orain dan justru memilih hiasan bunga aster putih yang disematkan pada kepangan rambut, yang membuatnya terlihat seperti peri hutan dari pada putri Raja.

Kesederhanaannya menjadi sorotan para bangsawan saat dia memasuki balairung Istana bersama Dhesias yang mengenakan setelan hitam bersulam benang emas. Setelah bertahun-tahun tidak pernah muncul di pesta-pesta sosial, kehadiran Seveila saat ini menjadi bahan pembicaraan orang-orang yang melihatnya. Apalagi Dhesias juga menunjukkan batang hidung, beberapa orang mulai menduga-duga motif kedatangan kedua bersuadara itu di pesta saudara tiri mereka.

Keduanya kemudian memberi salam kepada Raja dan Ratu yang berada di panggung singgasana. Selain Sadhe dan Lalena, ada pula Heris beserta tunangannya, serta selir Hilna dan selir Itania. Ratu Lalena yang duduk di kursi singgasana bersama Raja Sadhe, menatap tidak suka pada kedua bersaudara itu saat mereka memberi salam padanya dan Raja Sadhe di bawah panggung singgasana.

Harusnya pesta ini menyorot putri bungsunya, bukan Seveila dan Dhesias. Namun, melihat perhatian orang-orang mulai tertuju pada kedua bersaudara ini, sebelum suasana pesta semakin rusak dengan kasak-kusuk para tamu undangan terhadap kehadiran Dhesias dan Seveila, Ratu Lalena memanggil salah satu ajudan dan menyuruhnya untuk segera meminta Dunna memasuki balairung.

Tak berapa lama, Dunna pun memasuki balairung bersama pasangannya, yaitu Mayor Aderio. Gadis itu terlihat sangat cantik dan menawan dalam balutan gaun berwarna hijau muda yang bertabur dengan permata berwarna cokelat. Sementara Aderio mengenakan seragam militer berwana hijau tua dengan beberapa lencana jabatan serta kehormatan yang tergantung di dada kiri. Mereka berdua sangat serasi, terkesan seperti pasangan suami istri yang baru saja menikah. Dengan diiringi musik yang lembut, keduanya seakan-akan memasuki altar pernikahan. Balairung yang tadinya ramai, kini hening. Orang-orang seakan tersihir dengan kemunculan Dunna dan Aderio.

"Mereka terlihat cocok, ya," kata Seveila saat melihat Dunna dan Aderio memberi salam kepada Raja dan Ratu.

"Aderio kelihatan tertekan," komentar Dhesias datar. "Dia pasti dipaksa menjadi pasangan Dunna."

"Kalau dipaksa untuk masa depan yang lebih baik, kenapa tidak?" timpal Seveila sambil menatap kakaknya.

Dhesias balas menatap adiknya. Mereka berdua sama-sama tahu, bahwa Ratu menginginkan Aderio sebagai menantunya. Alasannya sudah pasti untuk mengamankan posisi Heris dengan bantuan militer kerajaan, apalagi karir Aderio terbilang bagus dan banyak berprestasi.

"Kau tidak akan pernah tahu hati orang," komentar Dhesias sembari mengalihkan kembali pandangannya ke panggung singgasana.

Raja Sadhe berdiri dari kursi dan memulai sambutan tentang perayaan pesta kedewasaan Dunna serta pemberian lencana kehormatan untuk Aderio dan Cavadros atas kemenanangan mereka pada pertempuran Havedioli dan Droar. Saat penganugerahan lencana kehormatan yang diberikan oleh Raja, Seveila melihat Cavadros−−pria yang dikenalkan kakaknya tempo hari, berjalan membelah kerumunan orang-orang yang ada di hadapannya. Dia mengenakan seragam biru gelap dengan celana panjang putih, yaitu seragam seremonial untuk angkatan laut.

Seluruh tamu undangan bertepuk tangan Ketika Raja Sadhe selesai memasangkan lencana kehormatan berupa Agnur yang terbuat dari perak dan diikat dengan pita berwarna putih. Itu adalah simbolisasi bahwa mereka berdua dianggap sebagai pahlawan yang berjasa dalam melindungi Negara. Setelah prosesi pemasangan lencana, kemudian Sekretaris Kerajaan, yaitu Count Noelant membacakan hadiah yang diterima oleh Mayor Aderio dan Kapten Cavadros. Napas orang-orang sedikit tertahan ketika Count Noelant membacakan keputusan Raja bahwa Kapten Cavadros mendapatkan gelar Earl dan diberikan wilayah kekuasaan di dekat Moran, yaitu kota Erham.

"Setelah ini, Cavadros pasti akan dikerumuni oleh banyak orang," Dhesias terkekeh pelan. "Karena Raja mengangkatnya sebagai bangsawan, pasti jumlah surat lamaran yang datang kepadanya membludak."

"Kakak bicara seakan-akan mengenalnya," Seveila menatap Kakaknya dengan dahi berkerut.

"Aku memang mengenalnya," Dhesias balas memandang adiknya dengan salah satu alis terangkat. "Saat aku menawarimu pergi ke Moran, apa kau pikir akan dilepas begitu saja di sana?"

Seveila termangu sesaat.

"Bukannya di sana ada Countess Emilia?" tanyanya.

"Salah satunya. Tapi kalau hanya karena ada Countess Emilia, aku tidak akan menawarimu ke sana," tukas Dhesias.

"Apa di kota-kota lain ada orang-orang yang Kakak kenal?" tanya Seveila lagi.

Dhesias tak menjawab. Perhatiannya kembali teralih pada pesta saat musik kembali dimainkan. Dansa pertama dimulai dengan tarian yang dilakukan oleh Aderio dan Dunna. Semua mata tertuju pada keluwesan kedua pasangan itu dalam mengikuti irama musik.

"Mereka benar-benar pasangan serasi," kata Seveila setengah berbisik.

"Apa kau mau berdansa?" Dhesias melirik adiknya.

Gadis itu menggeleng. Selama ini hidupnya untuk membaca buku, bukan belajar berdansa.

"Bagaimana kalau kita cari makanan yang enak?" tawar Dhesias sembari mengarahkan adiknya ke tempat yang lebih sepi.

Orang-orang mulai turun lantai dansa dan mengikuti jejak Aderio serta Dunna untuk menari, rata-rata adalah anak perempuan dan pemuda seumuran Dunna. Sementara yang lain mulai bercakap-cakap di pinggir ruangan. Dhesias mengarahkan adiknya ke sudut balairung yang agak sepi. Walau Seveila tampak baik-baik saja di tengah banyak orang, Dhesias tetap merasa was-was bila adiknya tiba-tiba histeris.

"Apa kau merasa kurang nyaman? Apa kita perlu pindah ke tempat yang lebih sepi?" tawar Dhesias saat memberikan segelas sari buah anggur pada adiknya.

Seveila tersenyum tipis sambil menerima gelas tersebut. "Saat aku memutuskan datang kemari, aku sudah mempersiapkan diri, Kak."

Obat penenang yang diberikan oleh dokter membuat suasana hatinya terkendali, meski dia tidak begitu nyaman saat bertatapan mata dengan orang lain. Ketika memberi salam pada Raja dan Ratu, dia bahkan tidak berani menaikkan pandangannya untuk menatap mata sang Ayah. Walau begitu, ini sudah cukup untuk membuatnya bertahan di keramaian. Sayangnya, Seveila tidak yakin akan bisa bertahan apabila ada orang mulai mendekatinya. Dia masih belum bisa menerima kehadiran orang baru.

Saat memperhatikan orang-orang hadir di pesta, tidak jarang Seveila menangkap basah beberapa pasang mata yang sedang menatapnya dengan sorot mata penasaran dan tertarik. Bahkan, Seveila juga tidak sengaja bersitatap dengan Cavadros yang sedang dikerumuni oleh beberapa orang yang mengajaknya mengobrol. Kemudian, ada dua – tiga orang yang mendekati Dhesias dan mengajak kakaknya berbincang, sehingga membuatnya sedikit mundur di belakang punggung saudara lelakinya. Dari topik percakapan, sepertinya mereka sedang membicarakan tentang isu monopoli pertambangan yang sedang hangat akhir-akhir ini.

Sambil menyesap sari buah di gelas, Seveila melirik ke arah Dhesias yang tampak serius menanggapi obrolan salah satu pria yang menyinggung tentang kualitas permata yang saat ini beredar di pasaran. Dhesias terlihat sangat menguasai topik ini, bahkan memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang harus dilakukan ketiga orang ini untuk bertahan dari situasi yang kurang menguntungkan ini. Tambang permata yang dimonopoli, kualitas permata yang jelek, dan penurunan pesanan perhiasan dari para bangsawan menjadi diskusi seru bagi mereka.

Dari perbincangan itu, Seveila berpikir, sudah sejauh mana Dhesias menancapkan kukunya di dunia perdagangan? Sudah seluas apa jaringan Kakaknya, sehingga berani menawarinya untuk pergi dari Istana? Sekuat apa pondasi yang diciptakan Kakaknya, agar bisa selamat dari cengkraman Ratu Lalena?

Mau tidak mau, Seveila mulai bertanya-tanya sekuat apa kekuasaan Dhesias saat ini. Setelah diturunkan dari posisi Putra Mahkota, Dhesias tidak banyak memberontak atau pun berteriak. Dia lebih banyak diam, suka meninggalkan Istana, dan terkadang tidak pulang sampai berbulan-bulan ke Istana. Kadang Seveila merasa ditinggalkan seorang diri di sini, saat Kakaknya memilih keluar dan dia benci jika Dhesias melakukan itu. Namun, sekarang dia paham kenapa Kakaknya sering berpergian dan memilih meninggalkannya di Istana, tak lain adalah demi dirinya pula.

Hanya saja, sudah terlambat untuk menerima semua usaha Dhesias. Ada dinding serta jurang tak kasat mata yang membatasi hubungannya dengan Kakaknya. Walau Dhesias berusaha menghancurkan dinding dan menghilangkan jarak tersebut, nyatanya Seveila selalu merasa sendiri dan kesepian. Kadang Seveila merasa dirinya kekanakan, tetapi perasaan itu tidak bisa dihilangkan dengan cara apa pun. Kekosongan itu tetap ada di hatinya dan semakin lama semakin besar.

Dhesias yang memperjuangkan hidup mereka, Dunna yang melakukan segala macam cara supaya dia dan Dhesias tetap aman di tengah pengawasan Ratu, Heris yang masih belajar duduk di posisinya, adik-adiknya yang mulai tumbuh dewasa. Kadang dia bertanya-tanya, peristiwa pembasmian keluarga ibunya dan hukuman yang diterima ibunya apakah benar-benar terjadi? Kenapa semua orang bisa melewatinya tanpa beban, sedangkan dia seperti orang gila yang terus meratapi masa lalu?

Seveila merasa waktu semua orang bergerak kecuali dirinya. Dia ingin terlepas dari jerat masa lalu, tetapi tidak sanggup menghadapi bayang-bayang yang selalu membuatnya ketakutan. Kebencian, kemarahan, dendam, kedengkian, dan rasa iri mengakar dalam kekosongan hatinya, memekarkan bunga bangkai yang membuatnya membusuk dari dalam.

Jika semua orang tahu apa yang harus mereka lakukan, Sevila tidak merasa seperti itu. Dia tidak tahu apa gunanya dia bernapas. Untuk apa dia hidup? Kenapa dia harus makan? Dia tidak memiliki tujuan yang membuatnya merasa harus benar-benar bertahan di dunia ini.

Seveila tersenyum miris ketika teringat ucapan selir Itania tempo hari.

Mungkin benar apa kata selir Itania, dengan menikahi Pangeran Entrafarmona, setidaknya dia menjadi berguna. Namun, hatinya menolak. Dia tidak ingin jadi boneka siapa pun, tapi dia juga tidak tahu tujuan hidupnya. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah membangkang.

Mungkin benar juga apa yang dituduhkan selir Itania, bahwa dia hanya mencari perhatian dengan cara berusaha bunuh diri. Namun, bagaimana kalau sebenarnya dia merasa nyaman untuk mati? Orang-orang di sekitarnya saja yang berusaha membuatnya bertahan hidup. Kenapa mereka mempertahankannya hidup, padahal kematianlah yang dia cari?

Seveila meletakkan gelas minumnya di atas meja dan menatap kue-kue cantik yang terhidang di atas meja panjang beralas kain putih dan emas. Dia mengambil salah satu kue, tetapi tidak bisa mendefinisikan bagaimana rasanya. Apakah ini terlalu manis atau hambar, buahnya yang asam atau krimnya yang segar? Dia hanya menyuapkan kue itu ke dalam mulutnya. Seperti itulah dia menjalani hari, makan hanya untuk bertahan hidup tanpa mengerti apa gunanya dia makan.

Bagaimana cara mengakhiri penderitaan ini?

Bagaimana caranya supaya bayang-bayang ibunya tidak lagi muncul?

Tatapan Seveila kosong saat menatap ke depan. Dia seperti melihat hantu ibunya yang sedang menari seorang diri dengan tali tambang melingkari leher. Dalam pandangannya, ibunya tampak tertawa sekaligus menangis secara bersamaan. Kemudian, ketika tatapan mereka bertemu, Seveila melihat sang ibu melambai untuk mengikutinya menuju panggung singgasana.

Seveila meletakkan piring kue, lalu beranjak mengikuti panggilan ibunya. Namun, baru dua langkah dia beranjak, satu tarikan lembut menahan dirinya.

"Mau ke mana?" pertanyaan Dhesias membuat Seveila menoleh ke arahnya.

"Aku ingin keluar," Gadis itu berbohong.

"Akan kutemani," ujar Dhesias.

Seveila melirik melewati bahu Dhesias. Tiga bangsawan yang sedang bercakap-cakap dengan kakaknya tadi balas memandangnya penasaran. "Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Kakak bisa mengobrol bersama kenalan Kakak."

"Tidak. Aku akan menemanimu," tukas Dhesias.

Seveila tersenyum tipis sembari melepaskan cekalan tangan Dhesias pada lengan kirinya. "Aku hanya ingin keluar sebentar, atau mungkin Kakak lebih merasa nyaman, kalau aku kembali ke paviliun?"

"Aku hanya ingin memastikanmu baik-baik saja," ujar Dhesias.

"Dari tadi Kakak lihat aku baik-baik saja, kan? Jadi berhenti khawatir tanpa alasan," kata Seveila.

Dhesias terlihat bimbang. Dia memang masih mencemaskan adiknya, tetapi bila terlalu mengekangnya juga akan mengesankan bahwa dia tidak memercayai Seveila.

"Kau boleh pergi," ujar Dhesias. "Aku akan memperhatikanmu...," kemudian nada suaranya merendah ketika pria itu menunduk untuk berbisik di telinga Seveila, "Jika kau melakukan sesuatu yang tidak-tidak, maka aku tidak akan mempercayaimu lagi."

Seveila tersenyum masam mendengar ancamannya. Apa yang mau dipercaya Dhesias dari orang mati?

"Aku mengerti," Seveila tersenyum lebih lebar. Kemudian berbalik meninggalkan Dhesias yang memperhatikannya dengan cermat.

***

Setelah keluar dari balairung Istana, Seveila memilih pergi menuju taman dalam Istana Utama yang bernama taman bintang. Suasana di tempat itu sedikit gemerlap dengan lampu-lampu taman yang menyala terang, memperlihatkan bunga-bunga beraneka warna yang tumbuh subur. Tidak hanya dia yang ada di sana, tetapi juga ada pasangan-pasangan lain yang sedang bercengkerama. Mereka tampak asik mengobrol dan tidak mengindahkan kehadirannya. Seakan tak ingin membiarkannya sendiri dan kikuk, seseorang menyapanya.

"Kenapa Anda ke sini sendiri, Putri?" sapaan itu berasal dari belakang.

Seveila menoleh dan mendapati seorang pria berseragam biru tua berjalan mendekatinya. Dia memakai topi pet berwarna putih dan lencana Agnur perak yang tergantung di dada kirinya berkilauan ketika tertimpa cahaya lampu dinding.

"Kapten," Seveila tersenyum sopan kepadanya. "Saya hanya ingin berjalan-jalan saja di sini. Apa yang Anda lakukan di sini? Pesta di dalam itu untuk merayakan kemenangan Anda di Droar."

"Saya sedikit kurang nyaman berada di dalam," jawab pria berambut hitam pendek dan bermata cokelat tua itu.

"Karena itu Anda kabur kemari?" tanya Seveila.

Cavadros tersenyum canggung.

"Ah, ya, saya belum mengucapkan selamat atas pengangkatan Anda sebagai Bangsawan," kata Seveila sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Terima kasih, Putri," Cavadros menyambut uluran tangan Seveila ragu-ragu. Dalam genggaman tangannya, tangan Seveila terasa kecil dan rapuh seperti ranting kering yang bisa patah bila dia menggenggamnya terlalu kuat. "Saya tidak menyangka, Putri akan hadir di pesta ini. Saya dengar Putri tidak menyukai keramaian."

"Aku memang tidak suka," jawab Seveila jujur, "Tapi setidaknya aku perlu menghargai Dunna yang selalu berusaha menjaga kami."

Siapa pun tahu, bahwa Dunna selalu berusaha melindungi Dhesias dan Seveila dari pengawasan Ratu Lalena. Cavadros menatap ke arah orang-orang yang ada di taman, mereka pasangan muda-mudi yang masih terlihat muda, mungkin baru saja debutante juga malam ini. Bisa jadi karena dimabuk asmara atau sedang jatuh cinta, pasangan-pasangan muda itu lebih terfokus pada pasangan mereka, bukan pada kehadirannya dan Seveila.

"Apa hari ini Anda juga debutante, Putri?" tanya Cavadros.

"Debutante-ku dua tahun lalu, Kapten. Tapi memang hanya orang tertentu saja yang mengetahui," jelas Seveila. "Aku tidak terlalu suka keramaian."

Pernyataannya seakan-akan mengulang ucapan Cavadros, sehingga membuat pria itu menahan senyum.

"Apa yang tidak Anda sukai dari keramaian?" tanya Cavadros.

"Kebisingannya. Kalau Anda?" Seveila balas bertanya.

"Saya selalu kewalahan menghadapi banyak orang," jawabnya.

"Maksudnya terlalu banyak orang yang bicara?"

Cavadros tertawa kecil sambil mengangguk, "Ya. Suara mereka saling bersahutan seperti kicauan burung di hutan Rutah, nadanya ke sana dan ke sini."

Seveila tertawa mendengar jawaban Cavadros, "Berarti kita sama-sama tidak menyukai kebisingan."

Senyum pria itu melembut melihat ekspresi Seveila yang sedikit lebih cerah. Dari tadi dia memperhatikan adik Dhesias dari kejauhan dan raut wajah Seveila tampak tidak baik. Melihatnya bisa tertawa seperti ini membuatnya sedikit merasa lega.

"Moran itu seperti apa, Kapten?" tanya Seveila.

"Kota yang sibuk. Mirip Avera, tapi berbeda. Banyak pendatang, banyak ragam jenis makanan, dan banyak logat bicara yang bisa dipelajari," kata Cavadros. "Tidak cukup berkunjung selama sebulan di sana, Putri."

"Makanan apa yang enak di sana, Kapten?"

"Asam, manis, pedas, dan gurih. Makanannya sedikit berbeda dari Avera yang cenderung gurih dan asam, tetapi sekali Anda mencoba, maka Anda tidak akan melupakan rasanya seumur hidup," cerita Cavadros.

"Sepertinya Kapten sangat mengenal Moran, ya."

"Saya tinggal di sana selama tujuh tahun, Putri. Ada banyak makanan yang sudah saya cicipi," jelas Cavadros.

"Jika memang ada waktu, Saya juga ingin ke Moran," kata Seveila. "Di sana ada Pengasuh saya."

"Kalau Putri berkenan, Saya bisa mengantarkan Anda berjalan-jalan selama di sana," kata Cavadros.

"Anda baik sekali," Senyum Seveila melebar. "Terima kasih sudah menemani saya, Kapten. Sekarang pening saya sudah hilang. Sepertinya saya harus kembali ke pesta, sebelum Kakak cemas."

Cavadros mengangguk paham. "Sampai berjumpa lagi, Putri."

"Selamat tinggal, Kapten," balas Seveila sebelum berbalik menuju ke balairung.

Pria itu menatap kepergian Seveila dalam diam. Sejenak dia tidak merasakan apa pun, tetapi ketika mengingat kembali salam terakhir Seveila, air mukanya berubah. Dahinya berkerut saat menyadari bahwa Seveila mengatakan selamat tinggal padanya.

Bukankah itu salam perpisahan yang menyatakan bahwa mereka tidak akan bertemu lagi?

***

Sepertinya Moran adalah kota yang menyenangkan, jika mendengar cerita sekilas dari Cavadros. Namun, sekalipun ingin pergi ke sana, Seveila sudah tidak memiliki harapan untuk mengunjungi kota itu. Lebih baik memupus harapan itu cepat-cepat. Sambil berjalan menuju pintu balairung pesta, Seveila merogoh saku gaunnya dan mengambil sebuah pil berwarna hitam dan menelannya cepat-cepat. Senyumnya melebar. Kali ini, sudah saatnya untuk berpamitan kepada semua orang.

Tarian yang diiringi musik ceria berbaur dengan suara percakapan orang yang semarak ketika Seveila memasuki balairung. Semua orang terlihat bahagia dan senang. Dalam hati, gadis itu merasa sedikit bersalah pada Dunna karena harus merusak pestanya. Namun, dia tidak memiliki waktu yang tepat selain ini. Seveila berjalan menuju ke dekat panggung singgasana, bukannya kembali ke sisi Dhesias. Semua kata-kata yang ingin dia sampaikan sudah tersusun rapi dalam kepala, tinggal mengutarakannya pada sang Ayah.

Gadis itu membelah kerumunan orang-orang di depannya, mengikuti bayangan sang Ibu yang sedang menari menuju ke dekat panggung singgasana. Saat Seveila sampai di depan panggung, perhatian orang-orang yang semula tertuju pada para pemudi dan pemuda yang sedang asik menari teralih. Suara musik pun terhenti, ketika Seveila memberikan hormat. Keriuhan di dalam Balairung mendadak lenyap dan semua tatapan tertuju pada adik Dhesias.

Mereka pasti akan membenciku, pikir Seveila ketika membungkuk untuk memberikan hormat kepada Raja dan Ratu. Saat mengangkat kepala, tatapan Seveila bertemu dengan pandangan jengkel Ratu Lalena. Wanita itu pasti tidak suka, karena dia merusak kemeriahan pesta ini.

"Mohon maaf atas kelancangan saya mengganggu pesta ini, Baginda Raja, Yang Mulia Ratu," ucap Seveila, memecah keheningan di dalam ruangan.

"Kau sadar akan mengganggu, tapi kau tetap melakukannya?" Sindir Lalena tajam.

Seveila tidak menanggapi pertanyaan sang Ratu. Dia justru menatap ke arah Raja Sadhe yang balas memandangnya curiga. Saat Seveila merogoh saku gaun dan mengambil sebilah belati dari sana, sepasang kesatria yang berjaga di dekat singgasana tampak bersiap untuk menarik pedang mereka.

"Apakah Baginda ingat dengan belati ini? Ini adalah hadiah yang Baginda berikan sewkatu saya berumur delapan tahun," ucap Seveila. "Pada waktu itu, Baginda berpesan pada saya agar menggunakan belati ini untuk melindungi diri. Saat itu, saya senang sekali mendapat hadiah ini dan bahkan merengek pada Kakak untuk mengajari saya menggunakan benda ini."

Sadhe tidak mengatakan apa pun dan hanya memperhatikan gerak-gerik Seveila.

"Setelah Ibu meninggal, saya tidak lagi berlatih menggunakan belati ini," Seveila membuka sarung belati yang berhiaskan permata safir dan menjatuhkannya ke lantai, hingga kedua kesatria di dekat panggung singgasana menarik pedang mereka dan menghunus ke arah Seveila.

Kedua kesatria itu berpikir, bahwa Seveila akan berlari menyerang Raja dan Ratu, tetapi tindakan Seveila selanjutnya membuat keduanya tertegun, begitu juga orang-orang yang melihat adegan tersebut dari dekat.

Seveila mengarahkan ujung belati ke dada kirinya sendiri hingga cairan merah darah meresap ke gaun putihnya.

"Sevi!" Raja Sadhe berdiri dari kursi saking terkejutnya.

Namun Seveila tetap mempertahankan posisinya, bahkan menekan belati tersbeut lebih dalam lagi ke dadanya.

"Sevi!!" Dhesias berusaha mendekati adiknya, tetapi peringatan Seveila membuat siapa pun tak berani mendekat.

"Jika Baginda, Kakak, atau siapa saja berani mendekat, saya tidak akan segan untuk menusukkan belati ini lebih dalam!" serunya dengan air mata mulai menetes.

"Kau gila, Putri?!" desis Ratu Lalena geram.

Tapi, lagi-lagi Seveila mengabaikan ucapan Ratu. Dia hanya berfokus pada sang Raja. "Baginda Raja... belati ini... mulai saya gunakan tiga tahun lalu," ucap Seveila. "Baginda berpesan agar menggunakan belati ini untuk melindungi diri dan selama tiga tahun itu, sampai sekarang saya melakukannya dengan baik."

"Apa yang kau bicarakan, Sevi?!" Sadhe terlihat kalut karena darah yang merembes ke gaun putrinya semakin banyak.

"Hari itu, ketika saya menghadap Baginda, Baginda mengatakan bahwa menginginkan kebahagiaan saya bukan?" Seveila menatap ayahnya lagi. "Kalau begitu, tolong lepaskan saya, Baginda," ucapnya serak.

"Apa maksudmu?!" Sadhe setengah membentaknya karena kalut.

"Tolong, biarkan saya bebas," ucap Seveila sebelum menarik belatinya keluar dan hendak menghujamkannya ke tubuhnya sendiri.

Sayangnya, seseorang berhasil menahan tangan Seveila, lalu merebut belati di tangannya. Seveila terhenyak melihat Aderio yang balas menatapnya kecewa. Namun, seakan sudah bisa memprediksi hal tersebut, Seveila tersenyum, lalu memuntahkan darah cukup banyak dari mulutnya. Kemudian semua menjadi gelap.

(Kamis, 12 Oktober 2023)

======================

Note:

Pernah merasakan apa yang dirasakan Seveila?

Tidak ada teman, merasa tidak memiliki penyokong, tidak punya tujuan hidup.

Pernah nggak, merasakan kekosongan yang walau pun berusaha untuk diisi, baik itu dengan ibadah, bekerja, maupun melakukan kegiatan lain, tetapi rasanya tetap kosong?

Aku harap, kalian tetap bertahan.

Please, apa pun yang terjadi dalam hidup kalian, tolong jangan sampai melakukan apa yang dilakukan Seveila. Hidup kalian berharga seperti yang lain. Menghadapi badai memang sulit, bahkan hidup bisa jungkir balik nggak karuan, tapi kalau kita menyerah, maka akan selesai begitu saja.

Tapi bagaimana bila badai itu berlalu dan memperlihatkan langit yang lebih baik?

Untuk siapa pun yang sedang berjuang mengatasi depresinya, stressnya, kesedihannya... kalian hebat bisa sampai di titik saat ini. Walau kalian merasa hidup ini seperti kegelapan yang nggak ada ujungnya, terima kasih masih menjadi cahaya untuk diri kalian sendiri. Please, hindari apa yang dilakukan Seveila.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro