9. Sayap-sayap Patah (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat dari percobaan bunuh diri terakhir membuat Seveila harus masuk rumah sakit kekaisaran. Di sana, dia tinggal di paviliun khusus dan mendapat pengawasan ketat dari pelayan, perawat, dan dokter jaga. Orain yang menemani keseharian Seveila, sedangkan Lorena bolak-balik Istana dan rumah sakit karena membereskan barang-barang Seveila. Sekarang, sudah sepuluh hari sejak percobaan bunuh diri Seveila dan lima hari setelah dia sadar.

Untuk mencegahnya melakukan tindakan menyakiti diri sendiri, semua barang-barang yang membahayakan disingkirkan, sehingga di sana hanya ada perabot besar seperti tempat tidur, lemari nakas, lemari pakaian, sketsel, dan juga rak buku, serta satu set sofa dan meja tamu di sisi lain ruangan, sehingga membuat tempat ini terasa kosong dan sepi.

Selain itu, letaknya jauh dari bangsal-bangsal rumah sakit untuk masyarakat umum, paviliun ini lebih mirip seperti kompleks perumahan kecil yang dikelilingi kebun bunga dan pagar dinding. Dari paviliun, mereka bisa melihat kebun bunga serta taman rumah sakit yang cantik. Tak jauh dari paviliun, terdapat gazebo besar dengan meja serta kursi yang terbuat dari batu pualam. Sudah jelas kalau paviliun yang ditempati Seveila memang dikhususkan untuk bangsawan atau keluarga kerajaan.

"Yang Mulia, ini sudah waktunya Anda minum," Orain mendekatinya yang sedang duduk diam di dekat jendela paviliun, memperhatikan bunga-bunga yang tangkainya dimainkan angin. Wanita muda bergaun cokelat kayu itu menyodorkan segelas air minum pada Seveila.

Seveila menatap hampa gelas itu, lalu mengambilnya tanpa membantah dan meminumnya sampai habis. Setelah itu, dia kembali menatap keluar jendela. Orain yang melihat sikap majikannya hanya bisa menggigit bibir bawah dengan cemas. Semenjak siuman, Seveila tidak berbicara apa pun. Bahkan ketika Raja dan Pangeran Dhesias membesuknya, Seveila tidak benar-benar memperhatikan mereka. Putri yang dilayaninya seperti boneka hidup dengan jiwa yang mengembara entah ke mana.

Orain teringat malam ketika Seveila sadar. Putrinya hanya menangis dan menjerit, merutuki semua orang yang menolongnya. Dia meronta dan memberontak, bahwa lebih baik dirinya dibiarkan mati, sampai dokter terpaksa menyuntiknya dengan obat penenang. Setelah itu, Seveila kembali sadar, tetapi sikapnya seperti saat ini. Diam, tak mau bicara dengan siapa pun, dan hanya melakukan apa yang diperintah.

Ketika Raja Sadhe datang untuk melihat keadaannya, Seveila bahkan tidak memberi salam atau pun memedulikan kehadiran sang Raja. Namun, kunjungannya tidak berlangsung lama. Lima belas menit kemudian, Raja keluar dengan sangat frustasi. Entah apa yang mereka bicarakan di kamar, tetapi saat Raja menyuruhnya masuk ke kamar lagi, Orain bisa melihat bekas tangisan dan mata sang Raja yang memerah.

Sementara itu, Pangeran Dhesias mengunjungi Putri lebih lama dari sang Raja. Bahkan mereka sempat berjalan-jalan keluar paviliun sejenak dengan Seveila yang duduk di kursi roda. Orain hanya bisa melihat mereka dari jauh, ketika dua bersaudara itu menghabiskan waktu bersama. Sayangnya, di akhir kunjungan Dhesias, ekspresinya sama persis seperti yang ditunjukkan Raja.

Jika dua orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan sang putri saja menunjukkan ekspresi putus asa seperti itu, bagaimana dengan dirinya yang sehari-hari selalu bersama Seveila? Orain tidak menyangkal kesedihannya melihat kondisi Seveila. Dia merasa cemas, khawatir, dan juga takut. Namun, dia masih tetap berharap bahwa Seveila bisa kembali seperti dulu, menjadi orang yang ceria, optimis, dan bahagia. Hal itu yang membuatnya tak lelah berdoa kepada Tuhan supaya Putri yang dijaganya selalu diberi keselamatan.

"Putri," Orain menarik kursinya lebih dekat kepada Seveila. "Apa Anda ingin mendengar cerita saya hari ini?"

Pertanyaannya mengalihkan pandangan Seveila dari luar paviliun. Ini tandanya, secara tidak sadar, sang Putri tertarik mendengar ceritanya. Kemudian, Orain mulai menceritakan kegiatannya yang monoton, mulai dari membawa keranjang cucian ke ruang cuci. Tak jarang, Orain mendengar bisik-bisik dari orang-orang yang sedang bertugas tentang kondisi sang Putri yang sakit. Bahkan, setelah pesta, banyak koran memberitakan 'kegilaan' sang Putri, yang kemudian berhasil diredam dalam waktu dua hari.

Bagi Orain, sangat menyakitkan melihat majikan yang disayanginya dituduh bahkan dijelek-jelekkan orang lain. Putrinya adalah korban dari kejahatan politik, tetapi dia justru dituduh sebagai pelaku perusakan dan lebih mirisnya dianggap sebagai anak pembawa sial karena menggoyahkan perjanjian kerja sama antara Ifrusilant dan Entrafarmona. Saat kondisi sang Putri seperti ini, mereka masih bisa membahas kesepakatan bilateral dua negara?

Orain tidak mengerti bagaimana cara politik bekerja. Sejak membaca berita tentang surat protes yang dilayangkan kedutaan Entrafarmona pada kerajaan Ifrusilant, bahwa mereka terhina akan keputusan Raja Sadhe yang hendak menikahkan putrinya yang 'cacat mental' kepada Putra Mahkota kerajaan lain, Orain memutuskan untuk menyingkirkan semua koran dan majalah, kemudian memfokuskan perhatian untuk merawat Seveila.

"Kata Nona Noela, kantin di rumah sakit ini enak. Ada kudapan manis yang terbuat dari bunga-bunga yang dikeringkan. Kita harus mencobanya kapan-kapan Putri," ujar Orain. Dia lalu bercerita dengan pertemuannya dengan beberapa perawat yang bekerja, serta tindakannya memetik diam-diam beberapa tangkai bunga di taman rumah sakit untuk mengisi vas bunga di kamar Seveila.

Ceritanya mungkin tidak menarik bagi sebagian orang, tetapi Seveila menatapnya sampai Orain selesai bercerita. Ekspresi Seveila masih muram dengan pandangan kosong, tetapi anggukannya yang perlahan membuat Orain merasa sedikit bersemangat. Dia lalu melanjutkan ceritanya tentang Lorena yang sedang sibuk membereskan barang-barang sang Putri di Istana.

"Pangeran Dhesias memutuskan membawa Putri keluar Istana," ujar Orain. "Tapi Ratu tidak setuju. Kata Lorena, suasana Istana sekarang sangat tidak nyaman karena perdebatan antara Pangeran dan Ratu. Sayangnya, Raja belum memberikan keputusan."

Seveila hanya mendengarkan, tak berminat menimpali.

"Apa Anda tidak rindu pada Pangeran?" tanya Orain.

Seveila mengalihkan perhatiannya keluar jendela paviliun. Dengan suara kecil dan parau, dia menjawab, "Aku merindukan Ibuku."

***

Untuk apa aku hidup?

Pertanyaan itu bergaung dalam benak Seveila seperti suara hantu. Di hari kesebelas dirinya dirawat di rumah sakit, Seveila memutuskan berjalan-jalan di sekitar paviliun. Dengan mengenakan gaun putih panjang yang dirangkap dengan mantel tebal berwarna merah muda, wanita itu tampak seperti gadis berusia lima belas tahun yang mengenakan pakaian kedodoran.

Seveila tidak banyak makan, sehingga berat badannya turun. Selain tubuhnya yang terlihat mirip seperti tulang berbalut kulit dan pipinya yang semakin tirus dari hari ke hari, wajahnya pucat serta bibirnya juga kering. Untuk menopang asupan gizi Seveila, secara rutin dokter meresepkan vitamin dan juga botol infus tidak pernah lepas dari punggung tangan kirinya. Kalau pun dia berjalan-jalan, selalu ada tiang beroda dengan infus tergantung di atas kaitnya yang ditarik ke sana-kemari.

Angin laut berembus menerpa wajah Seveila. Kepalanya yang mungil ditutupi oleh topi pantai yang lebar dengan pita merah yang berayun-rayun terkena angin. Kekosongan dalam sorot matanya mirip seperti tatapan boneka mainan.

Untuk apa aku hidup, ya?

Pertanyaan itu sekali lagi menggema dalam benak Seveila. Dia berhenti di depan taman bunga marigold yang berpadu dengan verbena dan lantana yang berwarna-warni. Bunga-bunga ini cantik, tetapi sangat berbeda dari bunga-bunga yang tumbuh di daerah dingin.

Ingat lagi mimpi-mimpimu...

Pesan ibunya membuat Seveila teringat dengan pekarangan rumah Grand Duke Abraham yang dihiasi beraneka ragam jenis bunga yang memiliki aroma memikat. Aneh sekali, di saat seperti ini, dia justru teringat perjalanan ke wilayah timur bersama ibu dan kakak lelakinya belasan tahun silam.

Grand Duke Abraham merupakan adik lelaki dari kakeknya, sehingga secara kekeluargaan, mereka masih berkerabat. Jika keluarga kerajaan mendapatkan nama keluarga Ifrusilanta, maka Grand Duke yang semula memiliki nama keluarga yang sama berubah menjadi Avarenta. Sebelum peristiwa pembantaian itu, keluarga ibunya sangat dekat dengan keluarga Grand Duke Abraham. Namun, saat tuduhan makar ditujukan kepada keluarga ibunya, keluarga Grand Duke seakan memutuskan semua koneksi mereka supaya tidak terjadi kesalahpahaman antara keluarga Grand Duke dengan pihak kerajaan. Semenjak itu, dia nyaris tidak pernah berhubungan lagi dengan keluarga Grand Duke.

Seveila mengalihkan pandangannya ke langit yang cerah. Kenapa manusia bisa cepat berubah dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan? Namun, kenapa dirinya tidak bisa beradaptasi secepat itu?

Kenapa dia tidak bisa seperti Dhesias yang dapat mengontrol emosinya dan membalikkan situasi dengan mengambil langkah untuk melawan keluarga Ratu Lalena?

Kenapa dia tidak bisa seperti ayahnya yang bersikap seakan tidak terjadi apa pun setelah prosesi hukuman gantung itu?

Kenapa dia tidak bisa seperti Ratu Lalena yang mengabaikan perasaan orang lain dan memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keluarganya?

Kenapa hanya dia yang terjebak dalam masa lalu dan belum bisa bergerak ke mana pun?

Rasa sakit menggelayut di dada Seveila. Berapa kali dia mencoba mati? Seveila tak bisa lagi menghitung tindakannya. Namun, sekeras itu keinginannya mati, Tuhan menyelamatkannya berkali-kali. Kenapa Tuhan membiarkannya hidup? Kenapa Tuhan tidak mengambil nyawanya saja seperti yang terjadi pada ibunya? Dengan begitu, dia tidak perlu merasakan sakit ini.

"Putri, anginnya semakin kencang. Sebaiknya kita masuk lagi," kata Orain.

Seveila mengangguk pelan, lalu kembali menuju paviliun. Namun, langkahnya tertahan sata melihat empat sosok di ujung jalan yang mengarah ke paviliun. Semula Seveila menganggap orang-orang itu hanya halusinasinya, tapi ketika salah satu dari mereka berjalan cepat ke arahnya. Seveila sadar, bahwa mereka bukan halusinasinya.

"Putri...Putri!" seruan itu beriringan dengan pelukan kuat dari wanita bergaun hijau tua yang mengampiri Seveila.

Aroma rempah lembut yang sedikit manis dan segar tercium dari wanita ini, mengingatkan Seveila pada masa kecilnya.

"Putri...," wanita tua dengan rambut kelabu yang digelung rapi itu terisak sambil memeluk Seveila erat-erat. Orang ini tak lain adalah Countess Emilia, mantan ibu asuh Seveila. "Ya Tuhan, Putri..., betapa saya sangat mengkhawatirkan Anda selama ini."

Seveila tidak dapat berbicara apa pun, tapi air matanya turun satu demi satu. Sudah lama sekali, dia merindukan pelukan hangat ini.

Sementara itu di ujung jalan, Dhesias menatap reuni antara Seveila dan ibu asuhnya dengan perasaan bercampur-aduk. Keputusannya untuk membawa Countess Emilia ke Avera ternyata benar. Sorot mata adiknya yang kosong, kini tampak lebih emosional seakan kehidupannya kembali. Di sampingnya, seorang pria tua berambut putih dengan kumis dan janggut yang warnanya serupa dengan warna rambutnya, menatap adegan tersebut dalam diam. Di sisi kirinya, wanita bergaun cream cokelat menatap Seveila dan Countess Emilia dengan mata berkaca-kaca.

"Seperti inilah... kondisi adik saya, Kakek," ucap Dhesias.

"Keadaannya jauh lebih buruk dari yang diberitakan," komentar pria tua bermantel abu-abu itu. Beliau tak lain adalah Grand Duke Abraham. "Mungkin, lebih baik kita menyingkir dulu dan membiarkan mereka melepas rindu."

Dhesias mengangguk, lalu mengantar Grand Duke Abraham dan Grand Duchess Letia ke ruang tamu di paviliun Seveila.

(Senin, 13 November 2023)

==================

Note:

Untuk aku hidup dan dilahirkan?

Sebenarnya itu bukan hanya pertanyaan bagi Seveila pribadi. Aku pun pernah mempertanyakan hal itu ke diri sendiri.

Apa hidupku akan seperti ini terus? Besok aku akan kerja di mana ya? 

Apa aku akan tetap bertahan di sini atau keluar?

Atau dulu sekali ketika aku sekolah, aku sering berpikir, setelah smp ini lalu lanjut ke mana? Besok kuliah di mana ya? Aku bisa kerja atau enggak ya?

Apakah pertanyaan itu sudah berhenti? Belum. Sekarang pertanyaan-pertanyaan lainnya justru datang secara berentetan. Yang paling keras pertanyaan mana? Pertanyaan yang seperti ditanyakan Seveila.

Jangan lupa vote dan komen cerita ini ya... Btw...., Purnama Terakhir dan The Golden Anshok mungkin akan aku repost di wattpad dan karyakarsa. Tunggu aja tanggalnya yaaa...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro