22 - bolong tapi bukan donat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"hey, lukamu.. tidak apa-apa?" Tanya sang bungsu itu, biasanya langkahnya cepat, namun kali ini ia menyamakan temponya dengan sang mentor.

Ia lumayan mengerti tentang ilmu kedokteran, ia pun tahu betul bahwa Taufan yang berada di depannya saat ini terlihat begitu kacau.

Mau disebutkan? Lingkaran hitam dibawah mata, manik safir yang sayu, bibir yang pucat, belum lagi.. kepalanya yang di perban.

Dan ia juga mendengar omongan dokter Ying, Taufan baru saja tertembak dalam misinya. Pelurunya baru saja dikeluarkan dan anastesinya juga baru saja habis.

Namun lihat mentor nekatnya ini, melangkah sok kuat, bilang akan mengajarkan Solar hari ini.

Taufan tertawa kecil, "kenapa? Kau khawatir?"

Solar tersentak saat mendengar pertanyaan itu. Ingin ia langsung menjawab "tentu saja tidak!" Namun entah mengapa ia tahu bahwa itu bukanlah fakta.

Aku...khawatir?

"Mana mungkin aku khawatir. Apa manfaatnya? Aku hanya.. berpikir bahwa latihan ini tidak akan efektif dengan kondisimu saat ini, lagian bisa-bisanya kau tertembak seperti itu. Memang misi apa yang kau ambil? Apa kau memang se payah itu sampai tertembak?" Tanyanya panjang lebar.

Percayalah, ia tidak bermaksud mengatakan kalimat pedas yang menyayat hati seperti itu. Ia hanya lepas kendali, karena berusaha menutupi rasa malunya karena dipergoki telah khawatir.

Mentornya itu tersenyum simpul, "namanya juga mentor gagal.." ucapnya, sorot mata sedih nan jauh kembali terlihat, seakan kembali tenggelam dalam samudera kepahitan.

"....tapi tenang saja, menjadikanmu agen S adalah sebuah fakta, aku bahkan dapat bertaruh dengan nyawaku jika kau mau" ucap Taufan sambil menyeringai.

Solar lagi-lagi merasakan rasa tidak nyaman, ketidaksukaan, ketakutan.. ia tak tahu, tapi setiap melihat tatapan jauh Taufan, ia selalu merasakan rasa sakit yang tak pernah ia mengerti.

Mungkin Taufan sudah menjadi orang yang berharga baginya? Mungkin.. saudaranya yang satu ini kini membuat ia merasa lebih 'manusiawi' dari sebelumnya?

Keheningan tercipta diantara mereka, tak ada sepatah katapun terucap, hanya angin yang berhembus, dan cahaya mentari pagi menjelang siang yang menyinari dengan tidak terik.

Keheningan, tanpa tahu, apa yang sebenarnya ada di pikiran mereka?

Katakan.. jika seandainya.. hari ini ia tahu apa yang berada di benak sang mentor, apakah segalanya bisa berubah?

°•°•°•°

Jujur, Solar kini merasa bangga dengan mentornya. Berbeda dari perkiraannya, mentornya yang terluka parah ini masih bisa mengajarkannya dengan profesional.

Dan kemampuan sang mentor sungguh berada di atas rata-rata. Namun tetap saja, rasa bersalah? Rasa khawatir? Entah apa itu, namun perasaan itu terus-menerus menghantui dirinya.

"Apa benar tidak apa-apa kau melatihku dengan kondisimu yang seperti itu? Aku tidak khawatir, hanya.. cuaca hari ini cukup dingin.." ucap Solar, berusaha tetap terlihat dingin.

Taufan dengan cepat mengambil syal biru nya yang ternyata selalu ada dalam tas itu, "pakai ini kalau begitu"

"Bukan begitu maksudku, aku ini sehat, lihat dirimu." Ucap Solar menolak syal dari Taufan.

Taufan tersenyum, dengan gerakan yang seakan terhenti sejenak sebelum ia menarik kembali syal nya. Entah apa yang ada di benak sang pemilik manik biru safir ini.

Yang pasti ia tidak seperti biasanya.

Mungkin karena rasa sakit dari lukanya?

Solar terdiam, "aku lapar." Ucapnya sambil mengambil tas Taufan.

"Ayo pulang. Biar aku yang bawa tas nya." Ucap Solar, memutuskan untuk tidak menoleh kebelakang. Ia tak perlu melihat ekspresi apa yang dibuat oleh mentornya. Ia tak perlu melihat reaksi apa yang dimiliki mentornya.

Ia tidak tahu, bahwa saat kalimat itu sampai pada telinga sang mentor, senyuman lembut terlukis. Kelembutan yang menyembunyikan beribu rasa sakit yang ia miliki, juga kelembutan yang ada bersama dengan kehangatan, kehangatan yang sudah lama tak ia rasakan.

Hey katakan, jika aku menerima sedikit saja kasih sayang dari ikatan persaudaraan yang selalu kurindukan, apakah aku tetap bisa dimaafkan?

Tentu saja, pertanyaan dalam dirinya itu, tak ada yang dapat mendengarnya. Walaupun bisa, tak akan ada yang dapat menjawabnya.

Begitu pikirnya.
.
.
.
"Bodoh kenapa kau matikan seluruh saluran komunikasimu hah?" Suara menggelegar terdengar sedetik setelah Taufan mengaktifkan kembali koneksi saluran komunikasi miliknya.

"..eh, heheh.. maaf, aku lupa.." jawab Taufan santai.

"Lupa? Alasan murahan. Dimana kau?" Tanya Revan dengan amarah yang mulai mereda. Setidaknya ia sedikit lega karena telah mendengar suara sahabatnya itu.

" Aku arah pulang" ucap Taufan santai.

"Hah? Arah pulang? Kau habis operasi, apa maksudmu arah pulang?!" Omel sang surai putih lagi.

Taufan tertawa kecil, "hey, luka seperti ini masih bisa kutahan, lagipula aku ada komitmen yang harus kukerjakan tadi, tenang saja aku sebentar lagi sampai ke ruanganku kok" jelasnya.

Revan dapat merasakan darahnya mendidih, jika ia ada di sana, ia dapat memastikan bahwa telinga Taufan akan meleleh karena segala omelan yang ingin ia lontarkan.

Namun lebih daripada amarah, satu perasaan yang lebih penting yang meredamkan emosi lainnya.

Kekhawatiran, ia sudah mengenal Taufan selama bertahun-tahun, ia sudah mengerti betul tingkah sahabatnya satu ini yang begitu.. mengesalkan.

Segalanya masih lebih baik sebelum 'kejadian itu' namun setelahnya? Partner bermanik birunya ini kini tak lagi sadar bahwa tubuhnya adalah rubuh manusia. Ia bekerja sampai ambruk, terluka tanpa peduli apapun..

Belum lagi jantungnya..

"Istirahat yang benar." Ucap Revan, berusaha tidak terlalu terdengar kasar.

Tawa kecil terdengar dari balik alat komunikasinya, "tenang saja, aku kuat kok"

Ingin rasanya Revan marah, namun, ia tahu bahwa kawannya itu sedang tidak baik-baik saja, baik fisik maupun psikisnya.

Revan menyesali misinya kali ini, kalau saja ia mengintrogasi si rumput indigo menusuk itu dulu.

Misi yang tadi diambil Taufan dan Kaizo, juga dipantau oleh Revan, misi itu berhubungan dengan 'kejadian itu'

Karena itu Taufan sampai terluka seperti ini.

"Taufan, apa benar kau tak perlu ke rumahku saja?" Tanya Revan, ragu bahwa sahabatnya akan benar-benar baik-baik saja.

"Hey, itukan rumahku" canda Taufan dengan tawa kecilnya.

"Tenang saja Revan, aku benar-benar tidak apa-apa. Aku sadar bahwa sekarang aku punya anak didik, aku tak bisa semauku mengambil misi dan membuat kemajuannya terhambat, iyakan?" Ucap Taufan dengan nada menenangkan.

"Bocah bervisor itu ya?" Tanya Revan, mengingat kejadian tadi pagi, sekilas ia melihat bocah dengan wajah yang mirip dengan sahabatnya itu.

Taufan tersenyum, "iya, selama dia masih di bawah didikanku, aku akan berusaha tidak gegabah." Ucapnya sambil tersenyum.

Solar yang sedari tadi berjalan didekatnya dan tidak mengucapkan sepatah katapun kini merasakan usapan di kepalanya.

Ia ingin bertanya tentang percakapan Taufan itu, namun ia merasa itu bukan urusannya...

Mereka sampai di depan pintu tempat tinggal mereka.

"Ah, kau mau makan apa Solar?" Tanya Taufan.

"Aku--" ucapannya terhenti saat ia melihat Taufan dengan nafas menderu, darah menitik dari lukannya.

"Hey...lukamu terbuka--" ucap Solar sedikit panik.

Taufan melirik ke asal darah itu, "ah.."

"Aku ganti perban dulu..mungkin masaknya sedikit telat, tidak apa?"

Solar terdiam, orang bodoh mana yang masih peduli dengan memasak makan siang saat dia sedang terluka parah?

"Berbaring, aku akan hubungi dokter Ying." Ucap Solar.

Taufan menggeleng, "tidak, aku akan makin pusing mendengar omelannya"

"Kalau begitu biar aku yang mengganti perbannya."

"Tapi kau belum makan, Solar makanan itu penting untuk pertumbuhan" ucap Taufan.

"Apakah itu lebih penting dibanding kondisi genting seperti ini?" Tanya Solar kesal.

"Tentu saja!" Ucap Taufan.

Solar kehilangan kata-kata. Ia tak tahu harus marah seperti apa.

"...aku bisa beli makanan di cafetaria nanti, lukamu bersihkan dulu."

Taufan menghela nafas panjang, "kau muridku tapi kenapa tak mau mendengarkan aku?" Tanya nya pelan.

Namun ia merasa kepalanya sakit, jadi ia hanya dapat menyerah. "Aku akan hubungi Gopal untuk menyiapkan makanan untukmu ya." Ucapnya sebelum ia menyerah.

Solar terdiam, ia sadar bahwa mentornya demam karena infeksi lukanya. Bisa-bisanya ia bertingkah seakan tak ada apa-apa hingga saat ini.

// Author' s note //

Heyho! Aku update sekarang karena minggu depan uas, doain ya semiga lancar dan nilainya bagus aamiin,

Aku gajanji minggu depan biaa up atau ngga akrena lagi uas jadi mohon maklum ya! Terus jangan lupa komen ❤️



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro