36 - winner winner tears dinner

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Solar menghelakan nafasnya, asap keluar dari mulutnya setelah ia menggunakan Solar Eclipse Attack miliknya.

Belum cukup kuat. Batinnya kesal.

Seluruh jerih payahnya selama ini, seluruh effort dan kerja kerasnya.. ia mengharapkan hasil yang lebih dari ini.

Namun, Layar biru muncul di antara dia dan Halilintar. Menjadi dinding penghalang diantara keduanya, seakan tujuannya adalah menghentikan pertarungan ini.

Apa aku.. melakukan pelanggaran?

Apa aku..mengacaukan pertarungan ini?

Tak lama, layar besar di belakangnya menampilkan tulisan besar yang dapat dibaca oleh seluruh audiens.
Suara dari program komputer terdengar.

[Turnamen 1 vs 1 dimenangkan oleh peserta Solar]

Manik silver Solar membelalak tak percaya, apa aku salah dengar?

Secara spontan ia menoleh ke arah bangku audiens, mencari satu-satunya sosok yang dapat mengkonfirmasi apakah yang ia dengar itu adalah sebuah kenyataan.

Matanya bertemu dengan manik safir milik sang mentor, terlihat sorot mata yang sangat lega. Seakan sedari tadi ia yang paling takut akan hasil Dari turnamen ini.

“tch” suara terdengar di hadapan Solar, mau tak mau Solar harus mengalihkan atensinya dari pandangan sang mentor.

“jangan senang dulu, pertandingan ini hanyalah sebuah permainan penuh omong kosong” ucap seseorang di depannya, pria bermanik rubi itu menatap tajam ke arah Solar.

Entah, rasanya Solar ingin menertawakan lawannya ini. Sesulit itukah untuk mengakui kekalahannya?

“permainan penuh omong kosong huh? Apakah kau lupa siapa yang sangat keras kepala, ingin sekali melawanku dan menghancurkanku di pertandingan ini, hingga ia menggunakan statusnya di agensi untuk membuatnya terjadi?” sindir Solar dengan seringai yang dipenuhi olokan.

Tentu saja Halilintar tidak dapat menerima hal ini, ia mencengkram kuat senjatanya.

“jangan gegabah, kau akan mempermalukan dirimu sendiri dengan menunjukan bahwa kau tak dapat menahan emosimu di tempat umum. Bukankah sudah cukup memalukan untukmu mendapatkan kartu kuning karena melanggar peraturan di pertarungan melawan calon agen sepertiku?” ucap Solar lagi, rasanya puas dapat menampar wajah sang kakak sulung dengan kata-katanya.

Namun dalam dirinya, ada rasa yang dirasa jauh lebih penting dibanding menikmati kekalahan sang lawan.

“ah, aku lupa. Mentorku bilang aku harus menghormati dan menghargai saudara-saudaraku. Jadi untuk saat ini cukup segini saja adu mulutnya”, ucap sang bungsu, ia menghampiri Halilintar, menjulurkan tangannya untuk membantunya berdiri.

Tentu saja, gengsi dan harga diri Halilintar sangatlah tinggi. Ia enggan meraih tangan yang diulurkan padanya dan lebih memilih untuk menopang tubuhnya sendiri dan bangkit walau nyeri menyerang sekujur tubuhnya.

Tawa getir terdengar dari elemental termuda, seraya ia menarik kembali tangannya.

“mentormu itu adalah orang paling munafik yang pernah aku kenal. Bisa-bisanya ia memberimu nasihat manis seperti itu padahal dia sendiri sangat tidak tahu diri.” Di lubuk hatinya ia tahu betul bahwa ini salah, ia tahu betul bahwa ia seharusnya tidak mengatakannya. Namun sebutlah ini karena emosi yang meluap, mulutnya menyalurkan kepahitan yang tak dapat ia pikul sendirian.

Kerutan terlukis di alis sang bungsu, tawa kecil dengan nada yang mencela keluar dari mulutnya. “aku salut akan ke tidak tahu diri- an mu, sungguh.”

“aku rasa walau mentorku melakukan seribu kebaikan pun, walau misalkan ia menyelamatkan dunia pun, sepertinya kau masih akan tetap menemukan alasan untuk membencinya.”

“tapi sepertinya kau lupa akan taruhan kita saat turnamen tadi, bukankah begitu? Kak Hali.” Ucap Solar lagi.

Rasanya Halilintar sangat membencinya saat Solar memanggilnya dengan gaya bicara, dan nada yang sangat mirip dengan yang dilakukan Taufan dulu.

“taruhan kita? Apa kau tidak salah ingat?” tanya Hali getir.

Sekarang ia merasa sedikit bersyukur karena tidak mengiyakan ajakan taruhan sang adik saat bertarung tadi.

“minta maaf padanya? Heh, jangan harap.”

“dia yang telah merenggut orang yang sangat penting bagi kami, dan kau mau aku meminta maaf padanya?” ucap Halilintar tajam.

Solar terdiam, ia membisu. Tak tahu apa yang harus ia ucapkan. Rasa jijik memenuhi dirinya. Kakak sulung? Orang seperti ini harus menjadi kakak sulungnya?

Namun bukan itu alasan utamanya, ia benci fakta bahwa dalam beberapa detik, ia dapat ikut merasakan rasa sakit Halilintar, dan ia dapat mengerti sedikit akan emosi sang sulung Yang tak dapat melakukan apapun kecuali menyalahkan Taufan.

Halilintar melangkah pergi dari panggung turnamen, ia merasa berada di situ lebih lama lagi hanya akan melukai harga dirinya. Ia sudah benci tentang fakta bahwa ia terprovokasi, bahwa ia kalah, dan..

Fakta bahwa ada rasa bersalah dalam dirinya..

Fakta bahwa, ada beberapa saat dimana ia ingin mendengarkan penjelasan dari kembaran pertamanya, seperti anjuran dari sang bungsu.

Tanpa sadar manik nya terfokus pada sosok pemilik manik safir tanpa topi yang berdiri di tempat audiens. Sosok sang adik yang entah kapan menjadi seakan orang asing.

Namun lagi, amarah membentengi sang pengendali listrik.

Amarah, emosi negatif yang dapat melindunginya.

Untuk tidak tersakiti lebih dari ini, dan untuk tidak merasakan penyesalan dan rasa sakit. Atau setidaknya, begitu harapannya.

.
.
.

Solar berlari ke arah sang mentor. Manik silvernya berbinar bangga, ia bahkan tidak dapat peduli akan luka dan rasa sakit pada tubuhnya. Ada hal yang lebih penting saat ini. Ia harus menunjukkannya saat ini.

Ia harus mendapatkan reaksi dari sang mentor saat ini.

Kak! Kau lihatkan? Aku menang! Apakah kau bangga? Tentu saja iya kan? Batinnya.

Sayangnya jika ada beberapa hal yang membuatnya mirip dengan Halilintar, salah satunya adalah gengsi nya yang tinggi.

Ia berusaha tetap terlihat dingin dan keren, ia berusaha untuk tetap berwajah datar, seakan ia sudah tahu dari awal bahwa kemenangan ini akan menjadi miliknya.

Dengan langkah bersemangat yang tak dapat ia sembunyikan, tanpa ia sadari ia sudah sampai di hadapan sang mentor.

Manik silver dan manik safir itu bertemu, tatapan itu dipenuhi dengan rasa bangga dan haru, yang walau tak diucapkan, namun dapat sampai dalam diam.

Senyuman terlukis di wajah sang mentor, senyuman lembut, senyuman yang walau tak dijelaskan, Solar seakan dapat mendengar “aku sangat bangga padamu” dari senyuman itu.

“aku.. menang” ucap Solar.

Padahal ia sudah menyiapkan puluhan paragraf untuk membanggakan diri di depan mentornya, namun seakan-akan paragraf Panjang itu hilang semua dari benaknya begitu saja.

ia tak dapat mendeskripsikan sosok mentor yang berada di depannya saat ini. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia berucap. “kau menang.”

Singkat, namun kenapa kata-kata itu sangat bermakna saat sampai di telinga Solar?

Seakan ia sudah menunggu dengan penuh harap untuk dapat mendengar kalimat itu terucap dari mulut sang mentor.

“..aku.. aku berhasil.”

“aku berhasil mengalahkan Halilintar”

“aku..”

Elusan lembut mendarat di kepalanya, senyuman penuh makna terlukis di wajah sang mentor. “kau berhasil. Kau menang, karena kekuatan dan usahamu” ucap Taufan.

Entah kenapa air mata menitik dari mata lelahnya itu, “aku bangga sekali kepadamu, Solar”

Pertahanan Solar seakan runtuh saat itu juga, entah sejak kapan air matanya membendung, “kenapa kau menitikkan air mata, mentor bodoh”

“aku kan jadi ketularan” isaknya, mengusap air mata yang membanjiri pipinya.

Emosi yang sedari tadi ia tahan meluap, semuanya,

Rasa kesal, amarah, rasa senang, rasa lega, semuanya,

Karena ia tahu betul seberapa takut perasaannya saat harus berhadapan dengan Halilintar,

Seberapa kesal ia saat harus mendengar celaan sang lawan akan mentornya,

Betapa marahnya ia akan pertandingan yang ia rasa “dapat berjalan lebih baik jika saja ia lebih kuat”

Betapa lega hatinya saat ia berhasil mengalahkan Halilintar

Dan betapa senang dirinya saat ia disebut sebagai pemenangnya.

“lihat murid kesayangan ku yang satu ini, ternyata ia dapat menangis juga” goda Taufan, ia sendiri pun sibuk menyeka air matanya yang terlanjur terjatuh.

“berisik. Lihat dirimu sendiri.” Jawab Solar kesal.

//Author's note//

Si bungsu menang!! Uyeyyy!! Tadinya mau kubikin 2000 kata lagi tapi takutnya nanti apdetnya malah makin ngaret jadi 1200 kata aja yakk wkwkwk

Oh iya guys, kalau kalian suka sama fic ku, aku bakal sangat berterimakasih kalau kalian mau mampir juga ke cerita original ku yang judulnya "white haired hypocrite"

Tokoh utamanya gapeduli sama kondisi kesehatan sendiri, dan punya keluarga yang dingin kaya Taufan di fic ini heheh,

Semoga kalian mau mampir ke cerita original ku agar aku terus termotivasi untuk lanjut berkarya yaa,

Komentar dan vote kalian sangat2 menyemangatiku!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro