Serotonin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

prompt "Apa yang harus kukatakan di pertemuan kita selanjutnya?"

[]

Malam itu, lobi bisnis berkedok makan malam memang bisa aku lakukan dengan apik. Kesepakatan tercapai, profit besar-besaran yang bisa aku banggakan ke Papa sudah ada di depan mata. Hanya saja, sebuah keniscayaan bila anak gadis semata wayang Papa ini mendapat cap tidak berkompeten dari banyak orang, termasuk bawahan Papa ...,

dan tidak ada yang lebih menyenangkan dari mendengar ungkapan-ungkapan itu secara tidak sengaja, lalu mengonfrontasi para manusia bermulut lamis itu. Ah, raut wajah mereka benar-benar masih terbayang dengan jelas. Bagaimana mereka memampang raut terkejut setengah mati, dan bagaimana tegang serta kakunya gerak gerik orang-orang itu. Sungguh komedi picisan. Berhasil membuatku terpingkal seperti orang gila di pinggiran sungai Han.

Hanya ada beberapa hal yang membuatku terheran dan kesal setengah mati. Betapa emosi yang menyesaki dadaku ini ada di luar kendali. Begitu menyebalkan, karena bukan ia yang aku kendalikan. Melainkan, aku yang terpedaya oleh limpahan emosi memabukkan ... dan juga output emosi itu yang merangsek ke luar melalui netraku, mengaburkan pandanganku pada Sungai Han yang begitu romantis di malam hari.

Sungguh, limpahan air mata ini begitu merepotkan. Aku bahkan tidak bisa menahan serangan luapannya ketika terdengar langkah kaki sekretarisku datang mendekat, menyampirkan jas hitamnya di pundakku tanpa bersuara barang sepatah kata. Sepertinya ia tidak mendengar dan mengindahkan perkataanku yang memintanha untuk menunggu selama sepuluh menit di dalam mobil.

Persetan dengan privasi dan harga diri sebagai atasan. Paling tidak, aku tahu ia tidak akan menyebarkan berita tentang atasannya yang menangis dengan menyedihkan di pinggir Sungai Han.

"Dingin."

Begitu satu kata itu menghujam kedua telinga, tangisku berhenti seketika. Sungguh, aku bahkan tidak berani memalingkan kepalaku ketika otakku berhasil mengenali siapa pemilih suara yang baru saja kudengar. Dalam hening yang kikuk itu, suara telepon miliknya terdengar.

"Ah, sayang sekali. Aku harus kembali ke kantorku," pria itu menginfokan. "Sampai jumpa, Direktur," ujarnya seraya berjalan menjauh.

Sial, umpatku dalam hati. Apa yang harus kukatakan di pertemuan kita selanjutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#dwc2020