04.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


~ Aku tahu ini takkan mudah. Dan mungkin suatu saat aku akan lelah. Tapi jika mencintaimu ibarat ikut lomba lari, maka aku akan berlari hingga selesai.~

---------------

“Belum baikan dengan Sehun?” Mina dan Erin bertanya hampir bersamaan.

Nana menatap mereka satu persatu secara bergantian lalu kembali membuang pandangannya ke arah orang-orang yang berlalu lalang.

Sore itu mereka menghabiskan waktu mereka dengan hang-out di sebuah pusat perbelanjaan.

“Belum,” jawab Nana pendek.

Terdengar Mina membuang nafas.
“Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Padahal beberapa bulan ini kalian berhasil membuat seluruh siswa di SMA kita iri. Kalian begitu mesra, begitu lengket, begitu manis, begitu ... pokoknya kalian couple terbaik di sekolah kita. Tapi sekarang, aah, menyebalkan sekali melihat kalian tak bertegur sapa,” dengkusnya.

Kali ini Nana yang membuang napas, putus asa.

“Aku juga bingung dengan apa yang terjadi di antara kami. Aku tahu Sehun masih marah karena aku keluar diam-diam dengan Kris. Tapi kurasa, rasa cemburunya kelewatan. Harusnya dia percaya padaku, pada kami, bahwa kami tidak akan pernah mengkhianatinya,” gumamnya, kesal.

“Dia ... posesif,” lanjutnya.

Dan dia memanggilku Im Nana! Gerutunya dalam hati dengan lebih kesal.

“Dia posesif mungkin karena apa yang telah dilakukan Kak Nana padanya,” celetuk Erin.

“Memang apa yang dia lakukan?” Serta merta Nana menatapnya, penasaran.

“Well, aku juga tak tahu ini benar atau tidak. Tapi dari yang aku dengar, Kak Nana itu playgirl. Dia tipe perempuan yang sering gonta-ganti cowok. Ketika ia berpacaran dengan Sehun, banyak yang mengatakan bahwa ia punya banyak pacar gelap. Bahkan nih, aku juga pernah dengar bahwa hari ketika ia mengalami kecelakaan, ia sedang pergi dengan pacarnya yang lain. Malangnya, mereka mengalamai kecelakaan mobil dan meninggal bersama.” Erin melanjutkan.

Nana terdiam. Ia tahu cerita yang terakhir, bahwa kak Nana meninggal dengan selingkuhannya, toh Sehun sudah pernah cerita itu padanya. Tapi, rumor yang mengatakan bahwa kak Nana punya banyak pacar, itu ia tak tahu.

“Eriiin, itu ‘kan baru gosip. Belum tentu benar. Jangan membuat Nana tambah sedih. Lagipula tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal.” Mina mengomel. Sementara Erin cuma nyengir.

“Yaaah, kalau keadaannya begini, sepertinya kita tidak akan bisa menghadiri pesta ulang tahun Kris.” Mina menggerutu. Nana balik menatapnya ke arahnya.

“Ulang tahun Kris?” Ia mengulangi kalimat Mina. Sahabatnya itu mengangguk.

“Sebenarnya kita semua diundang ke pesta ulang tahunnya malam ini, jam tujuh. Karena ini ulang tahunnya Kris, pasti teman-teman dekatnya di tim futsal diundang. Termasuk Sehun. Ia pasti juga hadir di sana. Dan kalau dia di sana, kemungkinan besar, kau tidak akan datang. Dan kalau kau tak datang, kami juga tidak.” Mina menjelaskan.

Nana menatapnya bingung.
“Tunggu. Kenapa kalian diundang. Sejak kapan kalian dekat?” Ia bertanya.

“Mina kan pedekate dengan Leo, salah satu teman Kris.” Erin nyeletuk.

Nana membelalak. “Sejak kapan?”

“Sekitar satu bulan ini,” jawab Erin lagi.

Nana melotot. Hah?

Gadis bermata bening itu menatap Mina dengan tajam.

“Kenapa kau tak curhat dari awal?” Ia nyaris berteriak ke arah sahabatnya itu sementara yang diteriaki cuma meringis.

“Oke, kita datang ke pesta ulang tahunnya Kris.” Nana berucap tegas.

***

Sesuai perkiraan, ulang tahun Kris berlangsung sederhana. Bahkan terkesan bukan pesta ulang tahun karena tak ada kue tart. Hidangan yang ada hanyalah beberapa makanan ringan, makanan cepat saji dan juga minuman kaleng yang ditata sekenanya di meja makan.

Teman-teman yang datang pun hanya sekitar sepuluh orang, semuanya anggota club futsal. Dan sesuai perkiraan pula, Sehun juga ada di sana.

Ketika Nana memasuki ruangan, pemudaitu hanya menatapnya sekilas lalu kembali mengobrol dengan teman-temannya yang lain. Nana menggigit bibir dengan kesal, merasa diabaikan.

“Nana, terima kasih karena kau mau datang,” sapa Kris. Nana tersenyum.

“Selamat ulang tahun ya.” Gadis itu merogoh sebuah kado dari dalam tas nya lalu menyerahkannya ke arah Kris.

“Woa, kau bahkan membawakanku kado,” ucap Kris girang sambil menerima kado tersebut.

“Maaf, bukan sesuatu yang mahal. Tapi...”

“Terima kasih. Aku senang menerimanya, apapun itu. Boleh kubuka?”

Nana mengangguk. Dan dengan penuh antusias, Kris membuka bungkus kado tersebut. Dan yang ia dapatkan adalah sebuah gantungan kunci lucu berbentuk cumi-cumi.

“Waah, ini lucu sekali.” Kedua mata Kris berbinar-binar. “Terima kasih ya.”

“Kau suka?” Nana bertanya. Kris mengangguk.

“Hah, kado macam apa itu? kekanak-kanakan sekali.” Tiba-tiba Sehun nyeletuk.

Suasana di ruangan tersebut menjadi tak nyaman selama beberapa saat. Bagaimanapun juga semua orang yang ada di situ tahu bahwa Sehun dan Nana sedang bertengkar dan tak bertegur sapa. Dan mereka juga tahu bahwa penyebab pertengkaran mereka adalah Kris.

Kris menatap Sehun dengan kesal.

“Kris, jangan terpancing dengan sikap Sehun yang kekanak-kanakan, oke?” Jim berbisik di dekat telinga Kris, mencoba menenangkannya.

Tapi pemuda itu malah terkekeh. Ia mendekati Sehun, lalu menggoyang-goyangkan gantungan kunci itu di depan mukanya. 

“Lihatlah. Ini gantungan kunci terlucu yang pernah kulihat. Dan gantungan kunci di beli khusus oleh Nana, untukku. Untukku. Kau dengar itu? Lihatlah, lucu kan?” Kris tertawa penuh kemenangan. Teman-temannya melongo.

“Kenapa dia jadi ikutan kekanak-kanakan begini?” Leo berbisik di dekat telinga Jim.
Jim hanya bengong.

“Kado murahan seperti itu, siapa yang mau?” Sehun mendengkus kesal. Ia menyambar gantungan kunci tersebut, lalu bangkit, kemudian melemparkan benda mungil itu ke luar jendela.

Hening sesaat. Tak ada yang berani bergerak.

Sehun berbalik dan menatap Kris dengan jengkel. “Aku sudah membuangnya, kau mau apa?” ucapnya.

Tiba-tiba Nana bangkit, meraih kaleng minuman yang sudah terbuka dan byuurrr.... ia menyiramkan isinya ke arah Sehun.

“Kau idiot!” teriaknya lalu beranjak keluar.

Sehun tertegun. Tapi sejurus kemudian, ia ikut beranjak.

“Nana, tunggu!” teriaknya seraya berlari mengejar gadis tersebut.

Ruangan kembali hening.

“Ngomong-ngomong, di mana cumi-cumiku?” celetuk Kris kemudian.

Sahabat-sahabatnya menatapnya bersamaan, terlihat jengkel. Pemuda itu meringis.

“Maksudku, gantungan cumi-cumi,” ucapnya.

“Kau sih kekanak-kanakan!” Jim dan Leo berteriak hampir bersamaan. Dan Kris kembali nyengir.

***

“Nana, tunggu!” teriak Sehun. Ia berusaha menghentikan langkah Nana, tapi gadis mungil itu terus melangkah tanpa menggubris teriakan Sehun.

“Nana, kumohon. Bicaralah denganku.” Ia menyentuh pundak Nana tapi gadis itu menepis tangan Sehun dengan kasar. Tapi akhirnya ia berbalik lalu menatap pemuda di hadapannya dengan tajam.

“Sehun, sebenarnya ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau ... menyebalkan. Kau mendiamkanku, kau marah-marah padaku, kau memperlakukanku seperti orang lain, kau bahkan ...”

“Aku salah, maafkan aku,” potong Sehun. “Aku masih marah padamu karena kau berbohong padaku. Aku masih cemburu padamu karena kau pergi dengan Kris tanpa sepengetahuanku. Aku tak percaya padamu.”

“Aku sudah bilang bahwa aku punya alasan.”

“Karena itu aku minta maaf,” ucap Sehun lagi.

“Maaf karena aku tak percaya padamu. Maaf karena aku cemburu padamu, pada Kris. Maaf karena akhir-akhir ini aku menyebalkan. Maaf karena ... aku terlalu takut kehilanganmu.” Tatapan Sehun terlihat sayu.

Nana merasakan dadanya sakit. Entah kenapa, ia ingin menangis.

“Kau takkan kehilanganku, Sehun. Aku takkan kemana-mana.” Nana setengah berteriak.

“Aku tak tahu luka apa yang ditinggalkan mendiang Nana padamu. Tapi aku janji aku takkan melakukan hal yang sama. Aku takkan meninggalkanmu, aku takkan mengkhianatimu, percayalah padaku.”

Keduanya berpandangan. Hening.

“Janji?” tanya Sehun lirih.
“Janji,” jawab Nana.

Sehun mendekatinya, meraih tangannya lalu meletakkan sesuatu di genggaman tangannya yang mungil.

“Berikan ini pada Kris kalau aku sedang tak ada di depannya. Aku tak suka kau bersikap manis pada lelaki lain di hadapanku,” ucapnya.

Nana menatapnya dengan bingung. Gantungan kunci berbentuk cumi-cumi, kado ulang tahun Kris.

“Tapi, bukankah tadi kau sudah membuangnya? Aku melihatmu melemparnya ke luar jendela,” tanya Nana heran. Sehun menggeleng.

“Kris itu sahabat baikku. Aku takkan tega membuang kado ulang tahunnya. Yang kulempar tadi, kacang,” jawabnya.

Nana menatap gantungan kunci tersebut lalu ke arah Sehun dengan terharu. Tak berlama-lama, ia menghambur ke arahnya lalu memeluknya erat.

“Aku janji, aku takkan meninggalkanmu. Aku takkan mengkhianatimu. Bahkan jika mampu, aku janji aku takkan mati sebelum dirimu,” bisiknya lirih di telinga Sehun.

Sehun balas memeluk cewek itu dengan erat.

“Aku mencintaimu.” Ia balas berbisik.

“Dan terima kasih untuk hadiah yang kau lemparkan padaku beberapa waktu yang lalu. Aku suka syal-nya,” lanjutnya lirih.

***

Nana mengulurkan gantungan kunci berbentuk cumi-cumi itu ke arah Kris.

Kris menatapnya dengan mata berbinar.

“Cumi-cumiku!” Ia nyaris berteriak kegirangan sambil menerima gantungan kunci tersebut.

“Bagaimana mungkin? Bukankah Sehun sudah membuangnya?” Ia bertanya antusias.

Nana tersenyum menggeleng.
“Tidak. Dia hanya main-main,” jawabnya. Kris manggut-manggut.

“Sudah kuduga. Sehun takkan tega melakukannya, hehe,” jawabnya.

“Jadi, kalian sudah berbaikan?” Ia kembali bertanya. Nana tersenyum dan mengangguk.

“Maaf kalau kami merusak pesta ulang tahunmu. Kami bertengkar di hadapan kalian seperti anak kecil, ah, aku malu sekali,” dengkus Nana.

“Tidak apa-apa. Yang penting, kalian sudah berbaikan.” 

Mereka berjalan beriringan menuju lapangan basket.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Nana.”

“Oke, katakanlah.” Gadis itu menghentikan langkah, Kris juga. Pemuda itu menatap Nana dengan canggung.

“Nana, aku tahu ini takkan mudah. Mungkin, suatu saat kau akan lelah. Tapi jika mencintai Sehun ibarat ikut lomba lari, aku harap kau berlari sampai selesai.”

Nana mengernyit, bingung.

“Kau harus tahu, Sehun sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Ia hidup sendiri dengan ibunya, tanpa ayah, tanpa keluarga lain karena seluruh keluarga ibu Sehun telah memutuskan ikatan kekeluargaan mereka.

"Aku ingat, dulu waktu SD dan SMP ia selalu terlibat perkelahian dengan murid-murid lain karena ia diolok-olok sebagai anak haram. Sehun anak yang kuat. Ia pantang menyerah. Tapi aku tahu, setiap kali selesai berkelahi, atau setiap kali selesai dihukum guru, ia selalu menangis sendirian di kamar mandi.” Suara Kris terdengar parau.

“Hubungannya dengan mendiang Nana waktu itu juga tak begitu baik. Mereka sama-sama jatuh cinta, tapi terlalu banyak luka, terlalu banyak pertengkaran. Karena itu ....”

“Aku mengerti.” Nana memotong. Ia menelan ludah. “Aku akan memberikan ia cinta sebanyak yang aku punya. Cinta yang sudah seharusnya ia dapatkan sejak dulu kala,” lanjutnya.

Mereka berpandangan, dalam. Perlahan Kris tersenyum lalu mengangguk.

***

Nana menatap buku Matematika di hadapannya dengan kesal sementara Sehun bergelayut mesra di sisinya. Pemuda itu menyandarkan kepalanya ke bahu Nana sementara lengan tangannya melingkari pinggang gadis tersebut. Ia tak henti-hentinya bersenandung, terlihat begitu bahagia.

“Sehun, apa yang kau lakukan?” desis Nana, jengkel.

“Menempel padamu,” jawab Sehun singkat tanpa mendongak ke arah gadis di sebelahnya.

“Kalau kau terus menempel padaku seperti ini, kita tidak akan bisa mengerjakan PR.”

“Bodo amat,” jawab Sehun lagi, singkat. 

“Dan apa-apaan ini?” Nana menunjuk ke arah lengan Sehun yang melingkar di pinggangnya.

“Itu tangan, tanganku lebih tepatnya. Siapa bilang itu kaki.” Sehun terdengar sewot.

Nana mendesah.
“Tapi aku geli.”  Ia memprotes. “Kau seperti Beny,” lanjutnya.

Sehun mendongak, beringsut mundur lalu menatap Nana dengan penuh selidik.
“Beny? Siapa itu?” Kedua matanya menyipit. Nana terkekeh.

“Dia keponakanku,” jawabnya.

“Apa dia laki-laki?” Sehun kembali bertanya. Nana mengangguk.

“Berapa umurnya?” Nada suara Sehun terdengar tak suka.

Nana kembali tertawa lirih. 

“Tenanglah, Sehun. Dia hanya anak laki-laki berumur lima tahun, kau tak perlu sewot seperti itu,” ucapnya.

Bibir Sehun mencibir. “Kelak aku takkan membiarkan anak itu bermanja-manja padamu,” desisnya. Nana kembali tergelak.

Tiba-tiba pintu diketuk.
“Sehun, ada temanmu di luar sana.” Ibu Sehun berujar dari  luar kamar. Sehun dan Nana berpandangan. Dengan bermalas-malasan pemuda itu bangkit lalu melongokkan kepalanya dari jendela untuk melihat siapa yang datang.

“Nana, kau di sini dulu sebentar.” Sehun beranjak keluar kamar lalu menutup pintunya.

Nana menatapnya bingung. Gadis itu bangkit, melongokkan kepalanya lewat jendela dan ia melihat siapa gerangan yang ada di depan rumah.

Yuri.

Untuk apa dia ke sini? Ia berpikir bingung.

Nana melangkahkan kakinya menuju pintu. Tapi ia terkejut ketika mendapati pintu itu terkunci.

“Sehun, apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengunci pintunya?” Nana berteriak sambil menggerak-gerakkan knop pintu. Tapi, pintu itu benar-benar terkunci dari luar.

Nana menatap sekelilingnya dengan bingung.

Ada apa? Kenapa Sehun menguncinya di dalam kamar? Apa yang ingin ia bicarakan pada Yuri? Kenapa ia tak boleh tahu?

Nana berlari ke arah jendela. Ia melongokkan kepalanya untuk menyaksikan Sehun dan Yuri terlibat pembicaraan serius.

Apa yang mereka rahasiakan? Apa yang tidak Nana ketahui? Tanya Nana dalam hati.

Gadis itu mondar-mandir dengan frustasi. Dan selang beberapa menit kemudian, pintu terbuka.

“Maaf, aku hanya sekedar membereskan urusan,” ucap Sehun.

Nana menatapnya dengan tajam. Ia merapikan peralatan tulisnya lalu memasukkannya ke dalam tas.

“Aku pulang,” ucapnya. Ia beranjak.

Sehun menarik tangannya.
“Tunggu. Ada apa, Nana?” Ia bertanya bingung.

Nana terkekeh.
“Ada apa? Harusnya aku yang bertanya. Ada apa antara kau dan Yuri? Kenapa kau tak memperbolehkanku menemuinya? Aku tahu ada sesuatu yang kalian rahasiakan. Hubungan kalian aneh, tak wajar. Katakan Sehun! Ada apa antara kau dan Yuri!?” Nana berteriak.

Sehun mematung.
“Tak ada apa-apa di antara kami,” jawabnya. Nana tersenyum sinis. Ia merasakan matanya berkaca-kaca.

“Kau bohong, Sehun. Aku bukan orang bodoh. Jika memang tak ada apa-apa antara kau dan Yuri, kau takkan mengunciku di dalam kamar. Aku bukan orang luar lagi, aku pacarmu, harusnya kau bisa bicara banyak hal padaku.” Nana menepis tangan Sehun.

“Jangan bicara dulu denganku,” ucapnya lagi seraya beranjak.

“Nana, tunggu.” Sehun mengekor di belakangnya.

“Aku bersungguh-sungguh.” Ia memohon.

Nana menatapnya dengan dalam. Air matanya menitik. Gadis itu menggeleng lirih.

“Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Sehun. Aku tahu itu,” desisnya. Dan ia kembali melangkah, tanpa mempedulikan panggilan Sehun.

***

Sehun meringkuk di ranjang Kris. Ia dan Nana kembali tak bertegur sapa selama beberapa hari. Dan ia merasa frustrasi luar biasa.

Sementara Kris duduk jengkel di meja belajarnya. Sore tadi, tiba-tiba saja Sehun menyeruak ke kamarnya dan melemparkan tubuhnya di sana, di ranjangnya.

“Sehun, sampai kapan kau akan begini terus?” Kris menatapnya dengan putus asa.

“Saling berdiam diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ia menambahkan.

“Aku mencoba bicara dengannya. Tapi dia menolak bicara denganku,” jawab Sehun lirih.

“Kalau begitu, cobalah bicara lagi dengannya, lagi dan lagi,” ujar Kris kesal.

“Kau harus bicara jujur padanya. Kau harus mengatakan semua tentang apa yang terjadi antara kau dan Yuri. Jika tidak, kau akan semakin melukai Nana.” Kris nyaris berteriak.

Sehun menutup matanya dengan lengan tangan. Ia terdiam sesaat.
“Aku tak bisa, Kris. Aku tak bisa jujur padanya,” jawabnya.

“Kenapa?”

“Karena jika aku jujur padanya, dia akan menangis. Dan aku tak mau dia menangis,” suara Sehun bergetar.

Kris menatapnya dengan pilu. Ia tahu, saat ini Sehun sedang menahan tangis.

“Nana akan menangis, tentu saja. Tapi setidaknya, dia berhak mendapatkan penjelasan darimu,” ucap Kris lagi.

Sehun tak menjawab. Dan tanpa mampu ia bendung, air mata keluar dari sudut-sudut matanya dan mengalir  melewati pelipis.

***

Sekolah sudah sepi. Nana tengah duduk termangu di kursinya ketika Sehun beranjak mendekatinya lalu duduk di bangku depannya.

Ia dengan sabar menunggu pemuda itu berkata-kata.

“Aku akan jujur padamu, tentang apa yang terjadi antara aku dan Yuri,” ucapnya lirih.

Nana menatapnya.

“Aku akan memberimu tiga pilihan, dan kau bebas menentukan mana yang benar. Itulah jawabanku, rahasia antara aku dan Yuri.” Ia menambahkan.

Nana mengernyit.

“Apa-apaan kau ini?” Gadis itu berucap dengan kesal. Tapi ia sudah menyiapkan diri untuk mendengarkan pengakuan Sehun.

“Satu, aku pernah jatuh cinta pada Yuri, tapi ia menolakku.” Sehun memulai.

Nana terkekeh.
“Itu tidak mungkin,” jawabnya.
Bukan itu jawabannya.

“Dua, aku adalah pengagum rahasia Yuri. Aku mencintainya sejak kecil.”

Nana kembali terkekeh.

“Itu lebih tidak masuk akal lagi,” desisnya.

Dan yang kedua, juga bukan jawabannya.

“Dan Tiga ...” kalimat Sehun terhenti, ia menelan ludah.

“Tiga ... aku dan Yuri pernah tidur bersama.” Ia melanjutkan.

Nana tertegun. Ia menatap mata kelam Sehun dengan dalam. Mata itu sayu, seolah tak bernyawa. Dan dada Nana seketika sesak. Gadis itu tertawa lirih, tapi sekian detik kemudian ia terisak.

Air matanya mengalir deras tanpa bisa ia bendung.

Ia tahu, jawaban ketiga adalah jawaban yang benar.

Sehun dan Yuri, pernah tidur bersama ...

***

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro