15 | Bibliotaph

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

📚/bibliotaph/📚

Julukan untuk untuk orang yang suka menyembunyikan buku-buku yang dikoleksinya.

***

NASA

Jika seseorang sudah tidak berminat untuk sentuh apa yang dia suka dengan wajah suntuk, sudah pasti ada hal yang mengganggunya. Buktinya adalah Erwin mau saja kuminta antar pulang seakan mengatakan 'bawa aku pergi dari sini' pakai bisikan di iklan-iklan gitu. Selanjutnya ini juga meyakinkanku bahwa ada apa-apa di antara Erwin dan Nova. Entah aku senang sekali waktu dia bilang iya, sepertinya aku memang ada rasa sama dia.

"Lo mau mampir dulu apa enggak?" tawarku.

Erwin tampak ragu, dan aku kembali bersuara. "Lo tenang aja, kos gue campur kok dan modelnya kayak paviliun, jadi pintu kamar kosan gue terbuka." Jawaban itu masih bikin dia diam. Aku menghela napas, "Baiklah kalau kamu nggak nyaman, gue nggak maksa kok. Have a good day."

Sesuatu menahan tanganku ketika pintu mobil Erwin terbuka, "Gue mampir sebentar kalau begitu."

Indekos tempatku memang beda dengan indekos lain, modelnya seperti paviliun karena terdapat tiga bangunan dalam satu area. Masuknya aja berasa di hotel minus resepsionis, dan tidak perlu masuk lewat rumah utama. Cukup lewat garasi – yang didominasi oleh motor – dan terbentanglah pintu kamar di sisi kiri dan kanan yang masing-masing dipisah oleh sekat dinding berjumlah lima belas. Tempatku berada di dua dari belakang, dekat dengan dapur di mana biasanya buat masak atau makan.

"Lo pakai kamar mandi dalam?" Itu adalah pertanyaan Erwin setelah matanya berkeliling ke kamar kosku yang masih berantakan.

"Males ngantri, Win." Aku masuk lebih dulu, sedangkan Erwin melepas sepatu dan duduk di serambi.

Selesai ganti dengan pakaian rumah dan membersihkan wajah, aku menghampiri Erwin dengan kemeja yang digulung dan rambutnya yang berantakan. Ketika ku beri air mineral dia langsung meneguknya sampai setengah. Setidaknya wajah Erwin tampak segar, dan itu adalah awal dari pembicaraan santai. Itu pun aku nggak terasa, soalnya tiba-tiba Erwin jadi banyak cerita tentang dirinya mulai dari masa kecilnya di Jerman, Pak Cokro yang kewalahan dengan kebandelan Erwin waktu SMA sampai nggak dibolehin ikut bimbingan belajar kayak primagama – hanya boleh les privat – sampai kehidupan kuliah dan kerjanya yang ternyata sama seperti aku, berjuang sekuat tenaga di tengah kemelut quarter life crisis. Aku juga menceritakan tentang diriku, termasuk bagian Gandhi dan Rina yang bikin wajah Erwin keruh sebentar sebelum kami tertawa lagi.

"Jadi gue tuh, Sa, sampek bilang bullshit ke semua buku self help waktu fase itu," ujar Erwin di tengah-tengah tawa kami ketika mengenang masa sulit itu. Aku masih larut dalam tawa. "Beneran kayak berasa membual doang, kelihatan banget dari gaya tulisannya."

"Makanya sekarang gue selektif sama buku self help, Win. Gue prefer buku esai, walau bahasanya terkesan akademis, tapi kejujuran terlihat di situ," balasku.

"Quarter life crisis itu bukan mitos, Sa. Bahkan yang sudah tahu arahnya mau ke mana aja pasti kena, walau nggak nampak. Sobat gue si Rifki pernah kena, kasihan dia sampai off medsos dan pernah ngilang tanpa kabar. Penyebabnya adalah dia merasa semua itu nggak cukup, dan dia dikendalikan oleh sifat perfeksionisnya sendiri. Untung aja pacar — yang jadi istrinya sekarang – ngabarin kami semua kalau dia baik-baik saja."

"Separah apa sih dia, Win?"

Mata Erwin bergerak, tampak berpikir. "Intinya sih Rifki sampai nangis di pelukan istrinya waktu itu, bilang semuanya dan merasa dirinya nggak berguna dan minta maaf. Istrinya hanya bilang kalimat mengandung cambuk, kayak gini 'Mau sampai kapan kayak gini? Terus aja kamu dikendalikan sama perfeksionis yang nggak guna itu seumur hidup dan selalu nyalahin orang sekitar padahal mereka nggak salah apa-apa'."

Cara Erwin menirukan gaya marah temannya itu bikin tawaku tergelak, dia juga ikutan tertawa sambil geleng-geleng kepala. Tanganku kayaknya keasyikan mukul bahu Erwin sampai kedengaran rintihan gitu.

"Bentar-bentar." Tawa Erwin berhenti, berganti dengan menyipitkan mata. "Jadi, kita ini sama-sama orang Jerman, ya?"

"Jejere kauman," jawabku yang bikin gelak tawa kami kembali hadir, kosan ini nggak sepi jadinya.

Erwin terus tertawa sampai pegang perut dan pukul pegangan kursi kayu. Aku kembali sebentar untuk ambil air mineral. Aku ikut senang lihat Erwin tertawa lepas gini lagi, mataku mengamati teman-teman kosku yang satu persatu kembali ke kamar masing-masing. Inilah poin plusnya aku pilih kos ini, mereka bukan orang yang kepo.

"Gue sempat tinggal di Berlin tiga sampai empat tahun buat kerjaan, terus balik deh ke sini."

"Gue tinggal di Hamburg, Sa. Dari balita sampai SMP, dan ini tuh keinginan gue untuk pindah ke Indonesia pas SMA. Gue tahu Nyokap khawatir, tapi kalau bukan Om Cokro yang ngeyakinin beliau sih gue nggak ada di sini sampai sekarang."

"Lo orangnya suka eksplor banyak hal, ya, Win?" Aku suka sama orang modelan Erwin begini, dia nggak pernah untuk takut dan berani menghadapi konsekuensi.

"Pasti itu, Sa. Bedanya gue tahu apa yang gue mau, cuma harus belok dulu." Wajah kagetku bikin Erwin cepat-cepat lanjutin omongannya. "Bukan belok yang itu, tapi jalan yang ditempuh ke keinginan ini tuh parah putarannya, dan rintangannya macam-macam."

Aku hafal dengan diam model begini, ini pertanda dia bimbang untuk membagi bagian ini. Gerak geriknya Erwin gelisah. "Win, kalau lo nggak nyaman bilangnya nggak apa, gue paham kok."

Erwin menghabiskan sisa air mineral di botol. "Nggak, Sa. Cepat atau lambat gue harus kasih tahu lo soal ini. Gue nggak mau lo dengar ini dari orang lain, apalagi dia."

Alisku menyatu, apa yang dimaksud dengan 'dia'? Apa jangan-jangan ....

"Salah satu penulis di kantor penerbit lo, Nova Triyani." Erwin menghela napas. "Dia mantan istri gue."

Sudah kuduga.

Instingku nggak pernah salah soal ini, aku hanya mempertimbangkan banyak kemungkinan lalu menganalisanya. Kemudian aku nggak mau banyak berasumsi seperti dulu, harus ada bukti konkret baru beraksi. Interaksi Nova Triyani dan Erwin terlihat tidak biasa untuk ukuran rekan kerja dan teman, dan astaga kenapa aku jadi teringat momen Gandhi sama Rina lagi.

"Kami pacaran sejak kuliah tahun pertama, seangkatan tapi beda fakultas. Nova di fakultas ilmu budaya, gue di fakultas hukum. Good times banget deh waktu itu, dengan manis-manisnya momen pacaran anak kuliah campuran uwu dan saling motivasi untuk wujudkan mimpi. Namun, teman gue banyak yang ingatkan betapa manipulatifnya Nova, dan gue nggak peduli soalnya gue pikir ya itu bentuk sayang kami. Betapa bodohnya gue waktu itu, Sa." Erwin berdehem untuk menjeda ceritanya.

Aku hanya beri sebungkus butter cookies hasil beli di supermarket terdekat untuk Erwin, dan itu ampuh untuk bikin dia bicara lagi. "Singkat cerita kisah bahagia kami berlanjut sampai menikah lima tahun lalu, baru sifat aslinya kelihatan semua. Gue mikir nggak masalah kita menunda untuk punya anak, bagi gue kenyamanan Nova yang utama. Eh ternyata dia selingkuh lalu ninggalin banyak hutang. Lo tahu, Sa, bagian yang paling parah adalah dia juga nipu partner bisnis-nya dengan cara bawa lari uang sampai lari ke Sulawesi, jadinya gue yang kena. Belum lagi lingkungan kantor lama gue nggak bagus." Lagi-lagi Erwin berdeham, dan aku menyodorkan air mineral dalam gelas plastik untuk menenangkannya.

"Maaf, nih, Win. Kenapa lo waktu itu nggak langsung gugat cerai gitu aja?" tanyaku hati-hati.

"Nggak gampang, Sa," jawab Erwin dengan suara serak tapi terdengar marah. "Dia pintar banget gaslighting gue, dia bikin gue ragu dengan tipuan manisnya itu kayak seakan gue nggak bisa kasih apa-apa ke dia, padahal gue lebih banyak kontribusi untuk rumah tangga. Dia juga pintar memutarbalikkan fakta supaya Nyokap gue belain dia habis-habisan. Kejadian penipuan itu selesai gara-gara gue yang bayarin utang-utangnya sampai jual mobil."

Suara klakson mobil dan adzan isya jadi pengiring kesunyian kami, aku melirik pada Erwin yang mengatur napas. Kelihatannya dia benar-benar ingin menceritakan kisah paling pribadi, aku tahu maksudnya untuk mengingatkanku pada sosok seperti Nova Triyani. Namun, kenapa? Apa dia mulai mencintaiku? Oke, Nasa, bagian ini kamu nggak usah gede rasa.

Erwin melanjutkan lagi setelah azan. "Gue beneran nggak tahan, begitu resign dari kantor lama tahun lalu, Rifki bantuin gue cari kerjaan baru. Itu aja pas Nova tahu dia marah-marah sampai bilang gue suami nggak guna. Padahal di balik itu semua, maksud sebenarnya adalah gue pengen benar-benar ingin menceraikan Nova tanpa ada satu titik pun terlewat. Makanya gue minta bantuan Rifki untuk cari pengacara buat urusan perceraian gue." Senyum tipis Erwin berkembang. "Lo pasti tahu sosoknya siapa?"

"Nira, kan?"

Erwin mengangguk cepat. "Bahkan dia nggak mau dibayar, Sa. Katanya anggap aja masuk ke kasus pro bono-nya. Waktu itu soalnya gue nggak punya duit sama sekali, maklum baru resign dan dana darurat gue nggak nyampek untuk bayar jasa dia."

"Gue pernah baca satu buku tentang hukum keluarga, kalau perceraian di pengadilan agama yang dilakukan cowok sama cewek beda, ya?" Jangan kira aku hanya baca fiksi saja, biasanya kalau bosan aku melipir sejenak ke literatur.

"Tentu saja beda, Sa." Erwin menoleh padaku, dan aku melihat refleksiku sendiri di bola matanya yang jernih. Kasihan dia sampai nahan tangis. "Jika pihak laki-laki yang menggugat, namanya sidang talak, sedangkan jika pihak perempuan yang menggugat jatuhnya jadi talak khulu. Kenapa begitu? Karena dalam Islam ada bacaan talak, dan itu hanya dibaca oleh pihak laki-laki. Terus bentuk sidangnya jadi sidang ikrar talak, atau kalau mau gampangnya sih permohonan."

Apa yang dibilang Erwin memang persis seperti buku yang kubaca. Kubiarkan Erwin melanjutkan, "Itu juga nggak gampang, Nira sendiri sampai hampir kehabisan strategi menghadapi saksi yang dibawa Nova tuh licik semua, menjatuhkan gue. Titik temunya pada saat Nira mengamati foto cctv buram dari sisi samping yang ternyata adalah istrinya Rifki – waktu itu gue lagi ke tempatnya karena urusan persiapan wawancara di kantornya Pak Ardhi dan dia barusan pulang kantor – dari situ Nira benar-benar mengeluarkan taringnya, dan menyuruhku untuk kasih bukti layar tangkap chat-chat gue sama Nova yang belum gue tunjukkan selama sidang saksi. Langsung saja gue beraksi, dan ternyata berhasil. Lagian siapa suruh bikin berita hoax gue selingkuh sama istri sahabat gue, sungguh nggak guna."

Cara Erwin bertutur seperti mengingatkanku pada masa-masa ikut lomba story telling waktu SD dulu, memikat dan meyakinkan. Aku bisa membayangkan betapa beratnya Erwin menjalani hari-hari itu, tapi lagi-lagi mulutku tidak sinkron. "Setahu gue, kan, talak cerai tuh kayak ada satu, dua, tiga. Lo pilih yang mana, Win?"

Tolong deh, Sa. Kalau hanyut dalam cerita tetap dikontrol itu, kenapa bisa sampai nanya hal terlalu pribadi begini? Erwin hanya berbagi dan mengingatkan. Aku tutup mulutku rapat-rapat, bisa-bisanya kamu ini, Sa.

"Dalam Islam disebut talak raj'i, atau bisa disebut talak satu. Gue awalnya mau talak tiga langsung, Sa, tapi nggak dibolehin sama Nira soalnya dia tuh masih nurut aturan. Ya sudah gue nurut asal hakim mengabulkan permohonan talak. Hasilnya majelis hakim oke, dan gue dengan lancar bacain tuh ikrar talak pas sidang putusan, makin cepat makin baik."

Erwin menceritakan sisa kisahnya yang berakhir dengan dia menjual rumah mereka di Bogor, dan langsung pindah ke apartemen daerah SCBD dengan uang hasil harta gono gini tepat dua hari sebelum kerja di tempatnya Pak Ardhi. Sampai Nova datang lagi lima tahun kemudian dan menanyakan bagian dari harta gono gininya tersebut. Wajah menyebalkannya kembali lagi, dan itu bikin hatiku jadi perih. Erwin tidak pantas diperlakukan seperti ini, dia berhak hidup bahagia dan tenang.

"Poin terpenting adalah." Aku berdiri lalu dia ikutan. "Lo sudah baik-baik saja." Aku berjalan mendekatinya sampai jarak kami menyempit. Ekspresi Erwin yang kebingungan itu sungguh menghiburku, kepalaku bergerak ke kiri dan kanan untuk mengamatinya lebih dalam. "Lo lucu banget kalau pasang muka gitu."

Kepala Erwin sedikit mundur. "Cetakan muka gue emang kayak gini, terus mau diapain lagi?"

Aku mengedikkan bahu, tepat saat sebuah ide muncul. "Gue pengen ngajak lo ke suatu tempat jadinya. Suntuk lo belum sepenuhnya hilang."

"Ke mana memangnya?" Kilat mata Erwin kali ini tampaknya penasaran.

Langkahku berangsur mundur, memberi gestur pura-pura berpikir. Aku hanya jawab, "Mau ngenalin lo ke sesuatu tersembunyi gue selama ini."

***

Koleksi buku bagaikan kepingan kepribadian kita, ada yang mau ditunjukkan pada khalayak seperti media sosial bookstagram pribadi dan kantor – yang mana selalu aku awasi pakai akun lain untuk melihat bagaimana kinerja tim media sosial, sejauh ini tidak ada masalah – terus ada juga koleksi buku yang kita sembunyikan dari khalayak. Bagian yang kita sembunyikan ini adalah sisi terbaru yang hanya diri sendiri tahu. Bukan berarti aku nggak jujur, hanya saja nyamannya begitu sampai ada orang yang mendorong kita untuk menunjukkannya. Biasanya koleksi buku yang nggak ditunjukkan itu adalah koleksi kesayangan dan eksklusif, tujuannya untuk menghindari peminjaman nggak dikembalikan.

Erwin berkali-kali minta maaf padaku terkait ceritanya yang mana dia takut terkesan membocorkan rahasia. Aku tidak apa-apa, dan sudah berjanji untuk tidak membocorkannya ke siapapun. Aku pegang janjiku, tapi tetap meningkatkan kewaspadaan pada Nova Triyani diam-diam. Sejauh ini dia tidak aneh-aneh sama sekali. Penjualan novelnya juga stabil, bahkan sudah mendekati punyanya Macan Kumbang. Logikanya selama tidak ada keluhan dari editornya, semua masih baik-baik saja.

Soal ajakanku minggu lalu, kubiarkan Erwin tanya-tanya terus dan membiarkannya bermain dengan keponya. Pokoknya aku sudah bilang bahwa ajakannya pada akhir pekan ini.

"Gue beneran nggak sabar, Sa. Tempat mana sih yang lo maksud?" tanyanya di sela-sela komunikasi rutin kami pada jam istirahat kantor.

"Ih sabar, Win. Budayakan antri, ya," balasku.

Erwin terkekeh ringan dengan dengungan tanda sinyal internet putus nyambung. "Awas lho kalau zonk."

Kali ini aku yang tertawa.

***

Akhir pekan tempat ini makin ramai saja, apa karena efek diskon minumannya gede-gedean?

Sudah kuduga wajah Erwin tadinya ceria selama perjalanan berubah jadi keruh begitu melewati bouncer. Sedetik pun dia nggak berubah posisi selama melewati lorong yang pencahayaannya remang-remang, sedangkan aku tetap santai karena alunan lagunya terdengar.

"Gue pikir lo tuh tipe anak yang nggak suka clubbing," bisik Erwin. Tangan kami saling bertaut, mengirimkan sinyal kehangatan yang kurindukan.

"Makanya, Mas. Jangan menilai orang dari sampulnya," balasku dengan berbisik.

"Soalnya setahu gue, pecinta buku kayak kita gini rata-rata suka ke tempat tenang, Sa." Kini Erwin malah cemas. "Lo nggak pernah diapa-apain sama cowok aneh, kan, setiap ke sini?"

Aku menahan tawa. "Gue tuh ke sini paling setiap tiga bulan sekali atau jenuh healing dengan baca buku. Alasan gue ke sini tuh karena minumannya enak-enak dan pilihan musiknya nggak norak sama sekali. Soal gue diapa-apain, sejauh ini enggak kok, kalau gue diapa-apain biasanya gue yang bikin mereka babak belur."

Wajah Erwin kembali tenang saat cahaya tertuju padanya. "Gue lupa kalau lo tuh mantan atlet pencak silat."

"Suntuk lo tuh belum hilang sepenuhnya, Win. Sekadar baca dan meditasi aja nggak cukup, dan gue pikir dengan suasana baru bisa lah hilang sedikit."

Musik elektrik dari DJ di panggung menggelegar, hingar bingar orang berdansa, dan meja bar yang tidak pernah sepi. Ah aku sungguh rindu tempat ini. Kami berdua mampir ke bar, dan bartender perempuan itu tersenyum padaku.

"Lama lo nggak ke sini, Nas," sambutnya sekeras mungkin agar suaraku terdengar.

"Kerjaan numpuk. Oh, ya, yang biasa, ya, satu," jawabku dengan kode jari. Aku menawarkan pada Erwin yang hanya mau straight vodka saja. Bartender itu pamit.

"Gue nggak nyangka lo bisa minum alkohol juga," kataku takjub dengan tangan bertopang pada pelipis.

Kepala Erwin tertuju pada telingaku, hembusan napasnya mengirim getaran aneh di tubuhku. "Pernah waktu Oktoberfest, itu beberapa tahun lalu sih pas iseng ambil cuti dan pulang ke Jerman."

Sebisa mungkin aku menetralkan degup jantungku yang makin menggila ini, tepat saat bartender kembali dengan minuman kami. Sekilas aku menangkap senyum si bartender sebelum kembali melayani pesanan lain. Pesanan aku sih cocktail blackberry gin gimlet, terlihat seperti warna merah tapi rasa asam dan manisnya merupakan kombinasi terbaik untuk lidahku, mana minumnya gampang pula. Erwin pun terlihat santai menenggak minumannya sambil melihat orang-orang berdansa.

"Di Oktoberfest itu kayak karnaval gitu, bedanya hanya lebih meriah dengan banyaknya tenant bir dalam berbagai rasa dan jenis, baik dari perusahaan gede atau kecil. Persamaannya disajikan dengan gelas jumbo dan makanan pendamping. Sayang di sini kayaknya pada jarang pesan bir." Tangan Erwin mengocok sedikit gelasnya.

"Waktu di Jerman pengen banget gue ke sana, tapi nggak sempat melulu ke Munich." Aku kecewa sama diriku sendiri yang suka menunda-nunda ini. "Gue pengen merasakan Ayinger Urwesisse, kombinasinya enak banget dengan pisang dan apel. Bir favorit lo di situ apa?"

"Paulaner aja." Erwin mengangkat gelasnya untuk mengajakku cheers, terdengar dentingan kecil. "Gue suka yang ringan-ringan aja, Nyokap gue sama Papa Garett nggak terlalu suka bir, rasa buahnya tuh nggak bikin eneg. Keren emang kombinasinya."

Aku hanya bisa terpana, Erwin kalau menjelaskan sesuatu itu menambah keseksiannya. Belum lagi dengan kemejanya yang lengannya digulung, menampakkan jam tangan – entah Rollex atau TH?-- yang bikin tanganku pengen merasakan tangannya lalu ...

Astaga, Sa, Stop.

Musik hingar bingar berganti dengan slow beat, sepertinya pergantian DJ. Aku tidak menolak saat punggung tangan kami bertaut di atas meja marmer. "Lo nggak marah, kan, tangan lu gue sentuh begini?"

"Astaga, Win." Aku tertawa kecil. "It's okay, you know. Gue nyaman kok, asal ada lo di sini."

"Kalau gitu, soal Oktoberfest, kapan-kapan boleh, kan, gue ajak lo ke situ?"

Anggukanku adalah jawaban yang bikin senyum Erwin cerah atas pertanyaannya yang ini.

Pengaruh alkohol sungguh dahsyat, tubuh kami mendekat sehingga meninggalkan kursi tinggi bar. Tangan Erwin sudah merengkuh pinggangku sementara tanganku melingkari lehernya. Kurasakan hembusan napasnya di pipiku sampai ada rasa panas menjalar di situ, ketika kepalaku teralih ke kanan Erwin mengambil daguku untuk berhadapan dengan wajahnya. Hidung kami mendekat lalu ...

... bibir kami bertemu.

2700++ kata
(4 September 2022)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro