9 | Abibliophobia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

📚/abibliophobia/📚

Orang yang takut kekurangan bahan bacaan sehingga sering kali tak menyelesaikan bukunya.

***

NASA

“Ada yang harus gue kasih tahu ke lo, Win.”

Erwin menoleh cepat padaku, dan bikin jantungku berdetak terus. Tatapan penasarannya tulus tanpa intimidasi sama sekali. Dulu waktu aku masih bersama geng lamaku ini, mereka sudah pasang muka bosan duluan padaku ketika aku sudah bilang begini. 

Tidak, Sa, tidak. Buktinya tadi Erwin menerima permintaan maaf dengan tulus tadi. Penerimaan maaf inilah yang bikin aku mengiyakan dengan alami tawaran menemani di OjekCar saat ini. 

“Kamu mau ngomong apa, Sa?” tanyanya aja sungguh sopan sekali ini orang. 

Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. “Sebenarnya, pas kita pisah di persimpangan dan gue lagi nunggu OjekCar, gue lihat si pencopet tuh stalking gerak-gerik lo.”

Erwin terlihat kaget, tapi dia menunggu kelanjutan ceritaku. 

“Nah sebelum gue ngikutin tuh pencopet, gue lihat orang berkemeja dan celana hitam dengan rambut cepak kasih duit seamplop tebal pada pencopet tersebut.” Aku tampak hati-hati menjelaskan agar tidak menyinggung perasaan Erwin. Bagaimana pun kita, kan, tidak tahu reaksi orang ketika kita cerita hal apa pun, terutama hal sensitif begini. 

Erwin lagi-lagi menyuruhku melanjutkan ceritanya pakai mode diam. Aku nggak munafik bahwa model rambut santainya – alias poni jatuh menutupi setengah dahi – menambah ketampanannya. 

“Ya sudah gue ikutin aja gerak-gerik pencopet tadi. Gue pikir nyelakain lo, ternyata enggak sama sekali.”

Erwin tampak berpikir lagi. “Pantesan saja, ya, tadi lo lempar sepatu masih bisa lari dia, terus metode copetnya nggak robekin kantong belakang celana gue. Padahal copet amatir pun bisa lho robek celana pakai pisau kecil, ini langsung ambil kayak adegan nyopet di angkot kalau targetnya lengah. Kantong belakang celana kain gue ini termasuk kuat lho, Sa, jangan salah.”

Aku kontan tersenyum, tidak kusangka Erwin bisa punya analisis senyentrik itu. 

Bisa kutebak Mas-Mas sopir OjekCar sudah pasti menahan tawa. Siapa pun yang dekat dengan Erwin sekarang, kujamin dia nggak akan bosan dengan humor kering ini. Iya, Nasa, tetaplah sadar diri dan seperti yang dia bilang sebelumnya bahwa ini adalah utang budi. Namanya utang dalam bentuk apa pun harus dibayar.

“Lo juga harus hati-hati, Sa. Kalau memang settingan,” kata Erwin lagi. “Kemungkinan besar dia juga mengincar lo, entah sebagai umpan buat gue atau ada hal lain.”

Hatiku berdesir, walau hanya mengingatkan. Namun bagiku, Erwin sudah menunjukkan kepeduliannya padaku. Aku sering dapat peringatan seperti ini dari rekan-rekan kerja di kantor lama cabang Indonesia dan Berlin, caranya pun seadanya. Tidak setegas dan setenang Erwin. 

“Tenang aja, Win. Gue bisa melindungi diri sendiri.”

Wajah Erwin tampak lega. “Gue percaya sama lo, Sa. Namun, lo kalau misalnya butuh bantuan atau apa pun bisa kontak gue aja.”

Tubuhku terasa kaku, kepalaku berputar. Aku sungguh tidak memercayai pendengaranku. Ada apa dengan Erwin kali ini? Apa maksud dia dengan bicara seperti itu?

Mengapa rasa panik dan takut itu muncul lagi?

***

Persahabatan, pertemanan, dan hal sejenis adalah hal terakhir yang hadir dalam prioritas hidupku. Aku memang punya banyak teman, tapi hanya sebagai relasi pekerjaan atau hubungan profesional, bahkan sama teman-teman bookstagram dan komunitas penggemar Macan Kumbang tidak sampai dekat banget. 

Begitu sampai kos, kutarik kardus berukuran sedang dari bawah meja kerjaku. Saat terbuka sempurna, ternyata isinya masih utuh. Foto pigura, kertas asturo warna-warni, foto polaroid, tiket liburan, sampai buku diary dan kaset-kaset video rekaman dari handycam. 

Senyum mirisku berkembang ketika melihat semua ini, terutama tertuju pada sosok laki-laki dan perempuan di sebelah kiri dan kananku pada salah satu foto berlatar pantai Balekambang yaitu …

Gandhi dan Rina.

“Dalam hubungan itu adalah dua arah, Sa. Apa yang lo berikan ke Gandhi? Gandhi sudah meluangkan banyak waktu ke lo sejak kuliah, dan lo malah sibuk sama duniamu. Jadi nggak usah heran Gandhi lebih memilih menghabiskan waktu sama gue daripada lo.”

“Lo… benar, Rin. Gue harap lo berdua bahagia selalu.”

“Iya, Sa, memang. Semoga ada cowok yang menerima lo apa adanya dan bisa bagi waktu sama lo dan sabar menghadapi tulalitnya lo dan kutu buku nggak guna lo itu.”

“Nasa, gue hanya –”

“Cukup, ya, Gandhi. Gue paham banget lo itu pengecut, permasalahannya adalah kenapa lo nggak bilang ke gue kalau mau putus? Kita bisa lakukan baik-baik.”

“Gue takut, Sa. Gue takut nggak mau kehilangan lo, dan gue bingung mau bilang bagaimana ke lo? Gue berusaha bilang, Sa, tapi lo selalu terganggu oleh kuliah dan pencak silatmu terus.”

Kalian benar, semua ini salahku. Salahku karena ketidak perhatianku menyebabkan Nyokap menanggung beban hidupnya sendirian sampai dipanggil Tuhan. Salahku juga aku selalu jadi beban pertemanan kalian. Aku memang oon dan tidak bisa bagi waktu antara kesibukanku dengan waktu berkualitas dengan kalian. 

Sesuatu lolos dari pipiku, tubuhku lemas sambil memeluk foto-foto masa bahagia persahabatanku dengan kalian berempat dulu. Iya, di foto itu tidak hanya ada Gandhi dan Rina, ada Vava, Rosa, dan Endro. Gara-gara pacaran sama Gandhi, aku dekat dengan mereka waktu itu, dan sejak itu kami menyempatkan diri untuk berkumpul jika salah satu berkunjung ke kota tempat kami kuliah. Surprisingly, aku, Rina, sama Gandhi satu kampus tapi beda fakultas. Rina di FISIP, sedangkan aku di teknik industri dan Gandhi di teknik elektro. 

Bodohnya aku tidak pernah mendengarkan instingku sendiri, selama berteman dengan mereka aku terima-terima saja dikatain oon dan perempuan kok badannya kekar setiap habis pertandingan pencak silat atau mengolok kegiatan bacaku berbungkus candaan. Aku tidak bisa melawannya karena mereka benar, aku selalu linglung setiap dihantam tugas kuliah dan terpaksa ngumpul padahal badanku lelah. Paling parahnya adalah sikap empatinya Rina selama ini padaku adalah menutupi rasa bersalah atas main-main dengan Gandhi di belakangku. 

Waktu itu … saking takutnya kehilangan mereka. Aku rela jadi fasilitator mereka tiap berkumpul di kosku atau tempat lain, sampai bertengkar dengan Nyokap sendiri. 

“Apa yang kamu dapatkan dari mereka selama ini, Sasa? Lihat dirimu. Apa mereka adalah beneran support system terbaikmu? Teman yang baik adalah senang melihat dirimu sukses dan kamunya termotivasi untuk melakukan hal positif, bukan menjerumuskan dan memanfaatkanmu mentang-mentang kamu paling banyak duitnya.”

“Ma, apa salahnya sih? Nasa cuma mau nengok sahabat saja.”

“Waktu kamu cidera habis tanding silat di Tuban kemarin, apa mereka menengokmu di rumah sakit? Enggak sama sekali, kan?”

“Itu beda, Ma. Mereka memang sibuk –”

“Halah, mereka cari alasan aja, Mama yakin mereka menjelek-jelekkanmu di balik itu semua.”

Kalimat paling atas tersebut adalah lecutan terparah, aku ingat itu sekitar tahun 2015 ketika mendengar Rina di rumah sakit dan malam-malam aku mau ke sana dan ketahuan Mama. Setelah itu aku nekat menyusul Rina dengan dijemput pakai motornya Gandhi – yang salam dia ditolak Mama mentah-mentah.

Lihat sendiri betapa bodohnya aku waktu itu, kan?

Kupeluk foto itu erat-erat, tangisanku mengencang. Semua memori buruk dan perlakuan mereka padaku ku telan mentah-mentah. Aku menjerit pada Tuhan, apa salahku sampai semua orang meninggalkanku?

Apa aku tidak pantas dalam berpasangan dan membangun pertemanan?

Mama, maafkan Nasa selama ini. Nasa sungguh bodoh sekali tidak bisa menjaga semuanya sebaik mungkin. Mama boleh sepuasnya mengolok dan menyalahkan Nasa dari surga. Tidak apa-apa, Nasa terima, dan hanya Mama yang boleh melakukannya.

Ponselku berbunyi, ternyata pesan dari Erwin.

Erwin Konsultan: gw sdh sampai apart, Sa. Sekali lagi terima kasih.

Pesan itu menghangatkan hatiku sekaligus membuatku bertanya lagi, apa Erwin hadir secara tetap atau sekadar pelajaran hidup? 

Aku takut. 

1100++ kata
(30 Juli 2022)
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro