La La Latch

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Marsha agak menyipitkan mata. "Serius kamu mau nganterin aku pulang?"

"Dan makan di resto sunda yang enak," imbuh Vincent. "Kenapa? Nggak mau?"

"Bukan gitu! Aku tadi cuma bercanda. Nggak nyangka ...."

Vincent memotong, "Salahku karena ngira kamu nggak bakalan keberatan diantar pulang. Aku kurang pintar menebak-nebak. Candaan pun kuanggap setengah benar." Lelaki itu mengedikkan bahu. "Aku pulang kalau gitu. Selamat malam, Sha."

Marsha buru-buru meninggalkan mejanya dan menjajari Vincent yang sudah mulai berjalan menjauh. "Yah, kok ngambek, sih? Aku mau. Dianterin pulang dan makan masakan sunda," cetusnya.

Vincent berhenti. Mereka berada di teras restoran. "Oke," respons laki-laki itu. "Aku nggak ngambek."

Ada sebuah sedan memasuki halaman parkir. Artinya, Marsha harus melayani tamu restoran ini. Dia tak bisa berlama-lama bicara dengan Vincent.

"Tapi, kamu harus nunggu sejam lagi. Nggak apa-apa?"

"Nggak masalah. Aku mau minum kopi dulu di sebelah. Ngilangin enek abis makan pasta." Vincent menunjuk ke arah gerai kopi yang bersebelahan dengan Trend. "Satu jam lagi aku balik ke sini."

"Oke." Marsha buru-buru kembali ke mejanya untuk menyambut tamu yang baru datang. Dia sempat memperhatikan punggung lebar Vincent menjauh.

Selama hampir satu jam, Marsha disibukkan dengan pekerjaannya. Perutnya mulai keroncongan. Setelah waktunya pulang, dia buru-buru menuju ruang loker untuk berganti pakaian. Gadis itu mengenakan blus lengan pendek dan celana pendek denim saat keluar.

Marsha merogoh tasnya untuk mencari gawai. Gadis itu berniat untuk menelepon Vincent saat menyadari bahwa dia tak menyimpan nomor lelaki itu. Marsha baru saja tiba di teras restoran saat dia melihat seorang lelaki bersandar di pintu sebuah SUV sambil bicara di ponselnya. Vincent.

Gadis itu menghampiri Vincent tanpa berpikir dua kali. Saat itu, mendadak terpikir satu hal di benaknya. Pertanyaan yang disuarakan Marsha terang-terangan begitu Vincent menutup telepon.

"Nggak akan ada masalah kalau kamu makan bareng aku? Pacarmu nggak akan marah dan melabrakku, kan?"

"Itu terlalu dramatis. Aku single," balas Vincent dengan gaya santai. Pria itu membuka pintu mobil setelah mempersilakan Marsha masuk.

"Mubazir. Cakep-cakep, tapi jomblo."

"Makasih karena ngaku kalau aku cakep." Vincent menyalakan mesin mobil. Marsha tertawa kecil mendengar ucapan pria itu.

"Mau makan di mana? Aku lapar," aku Vincent. Mobil sudah bergerak meninggalkan area parkir.

"Ada tempat makan enak di dekat kosan. Tapi bukan tipe resto glamor kayak Trend. Mau?"

"Aku cuma peduli sama rasa masakannya. Juga kebersihan. Sepanjang sesuai standar, aku nggak keberatan."

Marsha mengangguk. "Berarti nggak ada masalah."

Tak sampai lima belas menit kemudian, mereka sudah tiba di restoran yang dipilih Marsha. Saung Desa, namanya. Mereka memilih area lesehan. Restoran itu tergolong sederhana tapi bersih dan cukup nyaman. Kelebihan utamanya, Saung Desa menyediakan makanan dengan cita rasa lezat.

Vincent memesan empal, pencok, dan jamur krispi. Sementara Marsha memilih ayam goreng dan karedok. Untuk minuman, mereka sama-sama memesan es teh manis. Meski berasal dari Bali, gadis itu menggandrungi masakan sunda.

"Cewek tadi itu siapa? Kalau kamu beneran single, tebakanku, kamu lagi pedekate." Marsha terlalu penasaran untuk menyimpan keingintahuannya diam-diam.

"Kencan buta."

Jawaban Vincent itu cukup mengejutkan. "Kenapa mau? Siapa yang ngira kalau kamu kesulitan nyari pasangan?"

"Mamaku," sahut Vincent sembari tersenyum.

"Kenapa mau?" ulang Marsha. Dia benar-benar tak bisa mengerti jika ada yang mau menerima perjodohan atau semacamnya. Memangnya ini zaman apa?

"Karena mencari kedamaian?"

"Maksudnya?" Marsha mengernyit.

"Kalau aku nolak, Mama akan mastiin hidupku nggak tenang."

Marsha tak mau membayangkan secara harfiah apa yang dimaksud Vincent. "Jadi, gimana hasilnya? Cocok?"

"Nggak."

Gadis itu bertopang dagu sembari menatap Vincent. "Cuma penasaran. Kenapa Mamamu sampai ngatur kencan segala? Kamu bukan gay, kan?

"Aku demennya sama cewek."

Marsha menghela napas. "Oh. Itu berita bagus untuk cewek-cewek."

"Bisa kita ganti topik?" ucap Vincent. "Nggak ada yang pengin diingatkan kalau dia dianggap gagal nyari pasangan sampai harus dijodohin segala."

Marsha terkekeh. "Oke. Jadi, topik apa yang nggak bakalan bikin kamu bete?"

Jawaban Vincent terpaksa tertunda karena seorang pramusaji mendekat untuk mengantarkan pesanan minuman mereka.

"Gimana kalau kamu cerita alasan ngekos di sini? Kamu sendirian di Bogor?"

Itu bukan topik favorit Marsha karena akan membuat gadis itu teringat akan keluarganya. Namun, Vincent pernah menolongnya. Otomatis, laki-laki ini masuk dalam daftar orang baik dalam buku kehidupan Marsha. Apalagi, tadi Vincent tak sungkan mengakui tentang acara kencan butanya.

"Aku pindah ke sini karena kuliah. Sebenarnya, ada sih keluargaku yang juga tinggal di Bogor juga. Tapi aku lebih milih ngekos. Lebih nyaman dan bebas aja. Kalau tinggal di rumah saudara, takut ngerepotin dan nyusahin. Aku juga nggak mau tiap kelakuanku dipantau dan jadi bahan obrolan kalau ada acara keluarga."

Senyum Vincent merekah mendengar jawaban lugas Marsha, diikuti tawa kecil. Saat itu, Marsha terpesona. Seperti biasa, dia merespons dengan luncuran kata-kata yang tak dipikirkan masak-masak terlebih dulu.

"Duh, makin cakep aja kalau kamu banyak-banyak senyum, Vin." Marsha memandang Vincent. Tangan kanannya mengaduk isi gelas dengan sendok bertangkai panjang.

Seketika, wajah Vincent berubah warna menjadi semerah saga. Astaga! Apakah lelaki ini tak terbiasa dipuji terang-terangan? Vincent bahkan buru-buru menunduk untuk mengaduk minumannya. Marsha menahan tawa.

"Nyantai ajalah, Vin. Kalau temenan sama aku, kudu siapin kuping dan mental. Jangan gampang kaget. Karena aku punya kecenderungan ngoceh blakblakan, tapi jujur di segala cuaca. Entah lagi hepi atau pas suntuk."

Vincent akhirnya mengangkat wajah. "Oke, bakalan kuingat."

Marsha memandang Vincent lagi. Laki-laki ini memang menjadi penambat pandang yang membuat mata betah. Seumur hidupnya, Marsha sudah terbiasa bersinggungan dengan pria-pria menawan. Mulai dari remaja hingga laki-laki matang. Apalagi saat dia masih aktif ikut mengurusi resor kakeknya. Marsha pernah bertemu tamu asal Spanyol yang lebih ganteng dibanding Chris Evans. Akan tetapi, bagi Marsha, pria Indonesia jauh lebih menarik minat. Apalagi jika berkulit kecokelatan seperti Vincent.

"Kamu kuliah di mana, Sha?" Vincent bertanya dengan nada sambil lalu. Wajahnya tak lagi memerah.

"Di Universitas Bentara Bumi, jurusan PGSD. Aku pengin jadi guru. Kalau kamu kaget mendengar cita-citaku, percayalah, kamu bukan orang pertama." Marsha menggeser gelasnya karena seorang pramusaji membawakan sisa pesanan mereka. "Kuliahku baru kelar, wisuda dua bulan lagi. Ketimbang balik ke Ubud, aku kerja di Trend untuk sementara."

"Rencananya kamu mau pulang ke Ubud setelah wisuda?"

"He-eh. Pengin jadi guru di sana. Kecuali ada hal lain yang lebih menggiurkan dan bikin aku bertahan di sini."

Vincent mendekatkan piring berisi karedok dan ayam goreng ke arah Marsha. Sementara gadis itu mendorong wadah empal ke arah Vincent.

"Boleh nyoba jamurnya, Vin?" tanya Marsha. Jamur krispi itu tampak menggiurkan dengan warna cokelat keemasan.

"Silakan."

Marsha pun mencomot sepotong jamur yang masih mengepulkan asap tipis dan memasukkan ke dalam mulut. Dia nyaris memuntahkan jamur itu karena tak sanggup menahan panasnya. Namun, dia memaksakan untuk mulai mengunyah, menahan rasa terbakar di lidahnya. Gadis itu sempat membuka dan menutup mulut berkali-kali. Sama sekali bukan pemandangan yang menunjukkan keanggunan. Vincent memperhatikan dengan pupil membesar.

"Maaf," kata Marsha setelah berhasil menelan jamurnya. "Aku lapar banget. Mudah-mudahan kamu nggak kehilangan selera makan gara-gara ngeliat kerakusanku barusan."

Vincent menjawab, "Aku justru jadi makin lapar. Sekaligus kagum. Karena kamu bisa makan jamur yang masih panas."

Marsha menyeringai. "Itu keahlianku."

Vincent mulai memindahkan pencok ke piringnya. "Kamu belum makan sama sekali? Ini udah cukup malam, lho!"

"Nggak ada yang sempat makan malam. Karena dari jam enam sampai jam 9 itu waktu prime time-nya Trend. Kami harus fokus melayani tamu."

"Berarti harus disiasati supaya jangan sampai sakit mag, Sha. Siapin cemilan di bawah meja, misalnya," usul Vincent.

"Nggak bisa," geleng Marsha. "Ada kamera pengawas. Ketauan curi-curi makan saat jam sibuk, bisa dipecat. Lagian, mejaku itu lebih mirip mimbar. Gak ada laci untuk nyimpan makanan."

Tangan Vincent yang baru saja menjangkau piring kecil berisi empal, sempat terhenti di udara. "Aturannya nggak manusiawi."

"Nggak, kok! Kami bisa bergantian ngisi perut sebelum jam enam. Aku pun tadi sempat makan. Masalahnya, perutku terbuat dari karet. Gampang keroncongan."

"Oh."

Marsha menatap piringnya yang sudah dipenuhi makanan. "Selamat menikmati, Vin. Semoga kamu nggak kecewa sama resto pilihanku."

Marsha dan Vincent mulai menyantap makanan yang mereka pesan. Vincent yang pada dasarnya tergolong pendiam (paling tidak menurut Marsha), menghabiskan makan malamnya tanpa bicara. Sesekali, tangan Marsha terulur untuk mengambil jamur krispi yang memang lezat.

"Gimana, Vin? Enak?" tanya Marsha sembari memajukan tubuh. Dia mengerling ke arah piring Vincent yang sudah bersih. Lelaki itu menghabiskan semua pesanannya.

"Enak," puji Vincent. "Rekomenmu oke."

Seharusnya, mereka pulang setelah selesai makan. Apalagi, hari sudah beranjak malam. Namun, keduanya malah mengobrol meski sudah pasti kalimat yang diproduksi bibir Vincent kalah jumlah dibanding kata-kata Marsha.

Mereka membahas tentang makanan, alasan Marsha ingin menjadi guru, sampai kesukaan Vincent pada film-film yang disutradarai oleh M. Night Shyamalan.

Gadis itu tahu, mereka tak memiliki kesamaan apa pun. Namun, anehnya dia merasa nyaman berada di dekat Vincent. Kendati kesimpulan itu patut dipertanyakan objektivitasnya. Sebab, mereka baru bertemu dua kali.

Marsha senang karena bertemu Vincent hari itu. Tebakannya, mereka takkan bersua lagi di masa depan. Apalagi, dia akan meninggalkan Bogor seusai wisuda. Akan tetapi, Marsha ternyata salah. Dia tak cuma kembali bersemuka dengan Vincent. Marsha juga menganggap dirinya sudah menyelamatkan laki-laki itu.


Lagu : La La Latch (Pentatonix)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro