Smells Like Teen Spirit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Marsha tampak termangu setelah Vincent mengakhiri ciumannya. Diam-diam lelaki itu memaki dirinya sendiri. Seharusnya, dia tidak mencium Marsha begitu saja, kan? Vincent adalah pria dewasa yang semestinya bisa menahan diri.

"Aku belum pernah dicium, Vin," gumam Marsha. Kedua tangannya menempel di pipi. Vincent pun seketika merasa bersalah. Dia belum sempat membuka mulut saat Marsha kembali bicara. "Kamu pacar pertamaku. Sebelum kamu, aku nggak pernah pacaran sama sekali. Nggak pernah ngajak siapa pun pacaran."

Vincent terkesima. Zaman sekarang, gadis seusia Marsha biasanya sudah pernah memiliki hubungan asmara. "Maaf, Sha. Aku nggak tau semua itu." Dia menggenggam tangan sang kekasih. "Aku udah lancang. Nggak seharusnya aku nyium kamu."

Marsha menukas tanpa terduga. "Kenapa malah minta maaf?"

Vincent mengerutkan glabela. "Nggg ... karena kamu keliatannya nggak suka," balasnya dengan nada tak yakin.

"Aku nggak pernah bilang nggak suka, Vin. Aku cuma ngasih tau, kalau kamu orang pertama yang menciumku." Marsha menggigit bibir. "Memangnya, aku nggak boleh ngasih tau kamu soal kayak gitu? Aku boleh aja jadi cewek paling berani yang mungkin kamu kenal, Vin. Tapi, pengalamanku urusan pacar-pacaran ini, nol besar."

Vincent sungguh merasa lega hingga dia tertawa kecil. Diremasnya kedua tangan Marsha yang berada di genggamannya. "Aku nggak jago menebak-nebak. Apalagi, cewek itu makhluk rumit. Itu rahasia umum. Para laki-laki bisa mumet cuma karena pacarnya bilang 'terserah', misalnya. Jadi, aku lebih suka kamu ngomong apa adanya. Kalau ada sesuatu yang kamu suka atau sebaliknya. Nggak perlu jaim."

"Oke, aku setuju. Kamu juga sama, harus ngomong jujur kalau ada sesuatu. Aku lebih suka kayak gitu," bisik Marsha.

"Tentu, Sha," timpal Vincent. Dia menekan perasaan tak nyaman yang menusuk-nusuk dadanya karena harus bercerita tentang respons Salindri setelah tahu Vincent menggandeng Marsha. Dia tak mau menutup-nutupi hal itu. Lebih baik, Vincent memberi tahu Marsha sejak awal. Supaya gadis itu tidak terlalu kaget.

"Jadi, kita baik-baik aja walau Mamamu keliatannya nggak suka karena aku yang jadi pacarmu? Kita nggak akan putus?" Marsha memastikan.

Pertanyaan Marsha membuat Vincent ingin memeluk gadis itu. Mereka memang baru pacaran, masih saling mengenal satu sama lain. Karena hubungan pertemanan keduanya berjalan singkat sebelum naik level sebagai pasangan kekasih. Marsha banyak mengejutkan Vincent sejak hari pertama mereka bersua. Namun, dia menikmati hari demi hari bersama sang pacar. Setiap hari menjadi begitu seru.

"Kita baik-baik aja, Sha. Nggak ada yang berubah sama hubungan kita. Lagian, nggak semudah itu kita bisa putus. Bertahun-tahun ini aku nggak pernah pacaran. Sekarang, setelah ketemu kamu, nggak mungkin aku lepasin dengan mudah." Laki-laki itu mengerjap tanpa melepaskan tatapan dari Marsha.

"Aku yang ngajak kamu pacaran, Vin. Artinya, aku yang—"

Vincent menukas, "Memang iya. Tapi, aku bakalan nolak kalau nggak punya perasaan apa pun. Aku punya beberapa pertimbangan, makanya nggak berinisiatif ngomong duluan, Sha. Salah satunya, karena nggak yakin kamu juga jatuh cinta. Jadi, jangan lagi nyebut-nyebut soal putus. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan."

Marsha tersenyum lebar, mengusir semua kemurungan yang sempat melintas di wajahnya. "Aku cuma perlu dengar kamu ngomong kayak gitu. Urusan yang lain, aku nggak mau ambil pusing. Yang paling penting, kamu nggak menyerah pas kita harus ngadepin masalah."

"Iya, Sha. Aku tau. Aku bukan orang yang gampang nyerah," beri tahu Vincent.

***

Vincent sebenarnya belum siap untuk menghadapi Salindri karena memacari Marsha. Dia baru dua minggu punya pacar, semua masih dalam tahap awal. Akan tetapi, karena Vincent mengajak pacarnya menghadiri resepsi Taura, seharusnya dia sudah menebak bahwa ini akan terjadi.

Ibunya sulit dipuaskan untuk masalah pasangan putra-putranya. Meski tak selalu bersikap menentang. Hugo pernah mendapat restu saat memacari Farah. Mungkin karena ayah gadis itu adalah teman lama Salindri. Vincent pun tak pernah dikritik saat bersama Mindy, meski laki-laki itu tidak tahu alasannya. Mungkin karena Salindri menilai Mindy adalah pasangan yang cocok untuk putra sulungnya.

Pagi itu, sehari setelah resepsi, Vincent harus menjawab rentetan pertanyaan dari Salindri. Padahal, dia sengaja sarapan lebih awal dua puluh menit dari biasa. Tujuannya untuk menghindari pertemuan dengan ibunya. Vincent ingin mengulur waktu jika memang bisa.

Sayang, Salindri sudah berada di ruang makan saat Vincent masuk ke sana. Ibunya melambai dengan ekspresi datar, memberi tanda agar laki-laki itu ikut bergabung di meja makan. Diam-diam Vincent menghela napas. Dia masih ingat bagaimana adik-adiknya pernah bersitegang dengan Salindri karena Dominique dan Inggrid.

"Udah berapa lama kamu pacaran sama Marsha, Vin? Kok nggak pernah cerita sama Mama?" desak Salindri.

Vincent masih menyendok nasi uduk yang diletakkan di wadah kaca berukuran besar. "Itulah namanya privasi, Ma. Lagian, kami baru banget pacarannya."

"Waktu kamu ketemu Kassandra, udah pacaran?"

"Belumlah, Ma. Aku bukan tipe laki-laki nggak setia," tampik Vincent.

"Oh, pantesan kamu cuma mau dicomblangi sekali doang." Salindri mendorong piring berisi irisan telur dadar ke arah putranya.

"Nggak juga. Aku memang nggak demen dijodoh-jodohin. Waktu ketemu Kassandra pun karena terpaksa. Karena Mama ancamannya bikin merinding."

Vincent mengambil kerupuk dari dalam toples kaca. Piringnya sudah dipenuhi makanan. Mulai dari nasi, telur dadar, irisan tomat dan ketimun, serta suwiran ayam. Dia begitu ingin makan dengan cepat, tapi hal itu sulit untuk dilakukan. Salindri takkan melepaskan kesempatan untuk "mewawancarai" Vincent.

"Berapa beda usia kalian? Marsha itu masih kecil banget, kan? Nggak cocok sama kamu."

Baiklah. Bendera merah mulai direntangkan. Vincent berusaha menjawab sesantai mungkin.

"Beda usia kami sekitar sembilan tahun, Ma. Zaman sekarang, angka segitu biasa aja." Lelaki itu mengangkat sendok yang sudah dipenuhi makanan. "Perbedaan usia nggak jadi masalah, Ma. Kami merasa nyaman satu sama lain. Nggak ada kendala berarti. Aku malah merasa kami adalah pasangan yang klop. Aku cenderung serius, Marsha lebih santai. Aku pendiam, Marsha rame dan suka bercanda."

"Tapi dia masih terlalu muda, Vin. Nggak pas banget laki-laki sematang kamu macarin anak remaja."

"Marsha nggak remaja lagi, Ma. Umurnya udah 23 tahun. Beberapa minggu lagi dia mau wisuda," ralat Vincent. Mendadak, lelaki itu merasa tak nyaman. Dia dan Marsha belum pernah membahas secara khusus tentang acara wisuda gadis itu. Sepertinya, Marsha tak berniat mengundang Vincent menghadiri momen pentingnya itu. Apakah bagi gadis itu, kehadiran Vincent tak dibutuhkan? Otomatis, dia juga diingatkan bahwa tak lama lagi Marsha akan kembali ke Ubud. Artinya, Vincent takkan bisa bertemu pacarnya dengan leluasa.

"Beda usia sebanyak itu, bakalan nyusahin nantinya. Butuh penyesuaian mati-matian. Seperti yang Mama bilang kemarin, kayak kekurangan cewek aja."

Kalimat Salindri membuat Vincent kembali fokus pada obrolan dengan sang ibu.

"Aku maunya sama Marsha, gimana lagi? Aku tertarik sama dia bukan karena alasan umur. Namanya perasaan, mana bisa dicegah atau dilarang-larang, Ma," argumen Vincent.

"Nggak pas aja, Vin. Apa nanti kata orang?"

Itu bukan alasan yang jujur. Sejak kapan ibunda Vincent memikirkan omongan orang? Salindri hanya ingin menggoyahkan pendirian Vincent.

"Aku nggak peduli orang mau ngomong apa. Yang menjalani kan aku. Untuk saat ini, mungkin bakalan dianggap terlalu lebay kalau aku ngomongin cinta. Karena kami memang masih baru banget pacarannya. Tapi, Mama kan kenal aku. Nggak mungkin aku pacaran cuma untuk iseng-iseng berhadiah. Walau bukan berniat untuk buru-buru serius juga sih."

Salindri tak langsung merespons. Perempuan itu mengunyah makanannya dengan perlahan. Hal itu membuat Vincent merasa mulas. Dia tahu, ibunya sengaja melakukan itu untuk membuat Vincent grogi. Karenanya, laki-laki itu tak sudi hanya sekadar menunggu.

"Mama nggak setuju aku pacaran sama Marsha cuma karena umur? Karena butuh alasan lebih kuat dari itu untuk bikin aku mundur dan ngelepasin Marsha," imbuhnya.

Ucapan blakblakan Vincent membuat mata ibunya melebar. Salindri pasti heran karena biasanya Vincent memilih untuk mengalah dan menghindari konfrontasi. Namun, kali ini dia malah bersikap defensif dan menyiratkan perlawanan.

"Kamu kok mendadak kayak abege yang malah ngelawan pas dikasih saran sama orang tua. Vin, Mama memang nggak nyaman karena kamu pacaran sama anak kecil. Carilah perempuan yang udah dewasa," saran Salindri. Nada suaranya melunak.

"Maaf, Ma. Nggak bisa. Karena aku jatuh cintanya sama Marsha, bukan perempuan lain," tolak Vincent. Dia kembali memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut. Ada jeda beberapa detik selama lelaki itu mengunyah. "Aku nggak mau sampai harus ngotot-ngototan sama Mama. Kayak Taura dan Hugo dulu. Aku cuma minta supaya Mama bisa menghargai pilihanku. Pada akhirnya, aku nggak mau sampai harus milih antara Mama atau Marsha."

Salindri kian terperangah. Wajahnya agak memucat. "Mama tetap merasa kalau Marsha nggak cocok sama kamu." Perempuan itu menolak untuk menyerah.

"Nggak masalah kalau Mama punya pendapat seperti itu. Tapi, kayak yang kubilang tadi, yang menjalani kan aku. Lagian, kami masih dalam tahap saling kenal dan menyesuaikan diri. Aku nggak mau ribut sama Mama. Tapi, untuk persoalan Marsha, aku nggak berniat untuk melepaskan dia. Aku cinta sama dia."

Wajah sang pacar memenuhi pelupuk mata Vincent. Beserta semua semangat dan spontanitas yang melekat pada gadis itu. "Marsha itu istimewa. Mama kira, gampang buatku untuk ketemu cewek kayak dia?"


Lagu : Smells Like Teen Spirit (Valeriy Velychko)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro