18. Haters

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by: SarahFransiscaaaa

Perkuliahan baru akan dimulai dua puluh menit lagi. Kugunakan waktu luang itu untuk melihat akun Evalia di salah satu platform online. Ide tadi pagi kembali muncul di kepala. Kubuat saja akun palsu di platform itu juga. Aku memilih username Zeul Razboiului yang berasal dari bahasa Romawi. Bukan hal sulit membuat akun palsu, justru yang sulit adalah menyembunyikan url keberadaan kita agar enggak terlacak.

Untuk pertama kalianya dalam hidupku, aku enggak berkonsentrasi di jam pelajaran. Tangan dan mataku sibuk membuka novel-novel yang Evalia tulis di platform online itu. Kuketikkan kritikan pedas pada tulisannya. Enggak cuma satu, tapi hampir di setiap halamannya. Aku sempat bosan karena Evalia masih saja bergeming. Enggak ada balasan apapun darinya.

Ahh, mungkin anak cengeng itu lagi menangis di sekolah.

Hingga jam mata kuliah keduaku berakhir, aku masih memandangi layar ponsel. Mencoba mencari tahu kira-kira reaksi Evalia. Kubuka novel lainnya yang berjudul The Galaxy. Tulisannya kali ini bertema fantasi. Bercerita tentang lima orang sahabat yang menemukan mesin ajaib yang membawa mereka ke sebuah galaxy baru dan belum pernah ada sebelumnya.

Lagi-lagi cerita bodoh! Benar-benar picisan dan membosankan.

zeul razboiului :
Sumpah, ceritanya gak masuk akal.
Kalau enggak bisa nulis mending jangan jadi penulis deh.

zeul razboiului :
Tulisannya sampah banget! Jelek banget.

zeul razboiului :
Sialan! Ngabis-ngabisin kuota gue. Ceritanya murahan banget! Nyesel bacanya.

Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja kantin menunggu dengan resah balasan Evalia. Aku menyiapkan diri dari kemungkinan makian balasan dari Evalia. Semakin dia mencaci balik, semakin bagus. Biar sekalian pembacanya tahu kalau Evalia enggak sebaik itu.

Aku srdang asyik menikmati bakso cincang langgananku saat notifikasi mulai masuk ke ponselku.

Evalia Ananta G :
Halo, Kak @ Zeul Razboiului. Terima kasih atas komentar dan kritikannya. Masukan kakak akan saya pertimbangkan untuk tulisan saya mendatang 😊.

Evalia Ananta G :
Mohon maaf jika tulisan saya tidak sesuai dengan yang kak Zeul Razboiului harapkan. Sejatinya saya memang hanya manusia biasa yang tidak bisa menyenangkan hati semua orang.

Evalia Ananta G :
Terima kasih atas masukkannya. Ada baiknya kakak memilih bacaan sesuai genre kesukaan kakak. Kalau kakak memang tidak suka genre fantasi, maka carilah genre lain yang cocok drngan selera kakak. Tapi, kalau kakak todak suka dengan tulisan-tulisan saya, silakan cari bacaan dari penulis lain saja. Saya tidak memaksa kakak untuk tetap membaca tulisan-tulisan saya jika memang kakak tidak suka. Mohon maaf dan terima kasih.

Apa-apaan, sih, dia? Ternyata kemampuan acting-nya memang luar biasa banget.

Aku masih menggigiti sedotan sambil terus berpikir bagaimana caranya membuka kedok Evalia. Semua orang harus tahu kalau dia enggak sebaik itu. Tiba-tiba saja ponselku diserbu banyak notifikasi.

Aku tersedak minuman teh waktu membaca semua notifikasi itu. Bukan dari Evalia, tapi justru dari fansnya. Kupikir makianku sudah paling parah, ternyata makian fans fanatik Evalia jauh lebih parah. Sebenarnya mereka dapat apa, sih, dari membela mati-matian idolanya itu?

zeul razboiului :
Kalian dikasih apa, sih, sama penulis abal-abal itu? Kok, kalian ngebelain banget sampai segitunya?

Oleaf Elsa :
@ Zeul Razboiului Kita memang enggak dikasih apa-apa dan bukan siapa-siapanya Kak Evalia. Tapi, kita enggak terima aja ada akun bodong yang sengaja ngerusuh di sini  buat ngejatuhin Kak Evalia.

Yoan Ernesta :
Kak @ Evalian Ananta G mending akun ini dilaporkan aja. Jerat pakai pasal UU ITE. Udah keterlaluan banget komentarnya.

Brigita Swan :
Heh, sampah teriak sampah! Brengsek! Keluar sini kalau berani! Jangan cuma pake akun bodong doang! Ayo, Evalicious kita serang aja orang ini.

Liliana Wijaya :
@ Brigita Swan ayo deh. Kita cari sampai ketemu orangnya. Kita kasih pelajaran keparat ini.

Tanganku gemetar membaca balasan komentarku di salah satu novel online Evalia. Itu baru beberapa balasan yang enggak parah. Masih ada puluhan balasan dengan kata-kata super kasar. Enggak jarang ada yang sampai memaki dengan bahasa kebun binatang atau mengabsen semua penghuni alam astral.

Cepat-cepat kuhapus akun di platform itu. Jantungku masih berpacu cepat seperti dikejar kuntilanak siang bolong. Tubuhku sedikit gemetar. Aku berjalan ke kelas dengan pikiran kosong sampai akhirnya tubuhku menubruk sesuatu.

"Kamu enggak apa-apa, Mai?" Itu suara Erlangga. Sejak kapan dia ada di sini?

Aku menggeleng cepat bukan untuk menjawab pertanyaan Erlangga,  tapi demi mengembalikan konsentrasiku.

"Kamu ngelamun?" tanya Erlangga lagi yang kali ini sampai merunduk demi melihat jelas wajahku.

Aku mencoba tersenyum. Nahas, bibirku kaku. Senyumku jadi terlihat aneh. Sudahlah, aku pasrah saja daripada terlihat semakin aneh di depan Erlangga.

"Kamu kenapa, sih, kok kayak di kejar setan begitu?" tanya Erlangga lagi.

Tanpa bisa kucega, mulut lancangku malah berkata, "memang habis dikejar setan."

"Hah?" Erlangga menghadiahiku tatapan keheranan lengkap dengan kerutan di dahi dan alisnya yang nyaris bertaut.

Setelah beberapa saat, Erlangga langsung menggeleng dan tersenyum. Mungkkn dia menganggapku bergurau. Dengan santai dia merngkul bahuku. "Dari pada makin ngaco, mending kita ke kelas aja, yuk," ajak Erlangga.

Aku pasrah saja waktu Erlangga membawaku ke kelas. Aku juga enggak menyimak ceritanya sepanjang jalan menuju kelas. Aku hanya sempat mendengar dia berkata soal tulang kebun yang salah memakai sabun pencuci motor ketika mencuci motor Erlangga yang pabrikan Yamaha itu. Sisanya aku sama sekali enggak dengar dia ngomong apa.

"Mai." Samar kudengar suara Erlangga. "Mai ... Mai ... Maira."

Aky mengerjapkan mata beberapa kali ketika tangan Erlangga melayang di depan wajahku. "Eh--i--iya, Engga, kenapa?" tanyaku dengan terbata.

"Kamu enggak ngedengerin aku ya dari tadi?" selidik Erlangga.

Seketika aku dipenuhi rasa bersalah. Aku benar-benar menyesal membiarkan Erlangga mengoceh sendiri tanpa kusimak.

"Maaf," kataku jujur. Aku benar-benar enggak enak pada Erlangga.

Erlangga menghela nafas berat sambil menggelengkan kepala. "Kamu kenapa, sih? Kalau ada yang ngeganggu pikiranmu, kamu bisa cerita sama aku," kata Erlangga. Suaranya enggak terdengar kekesalan atau jengkel. Dia malah terlihat amat peduli padaku.

Apa aku yang kegeeran atau Erlangga memang peduli padaku?

"Ngga, kamu, kan, penggemarnya Evalia. Kamu tahu enggak, sih, tentang fans Evalia?" tanyaku hati-hati.

Aku enggak mau Erlangga curiga dengan apa yang telah kulakukan. Biar bagaimanapun Erlangga merupakan salah satu fans Evalia. Bisa saja Erlangga jadi membenciku kalau tahu apa yang sudah kuperbuat pada idolanya. Bagaimana kalau Erlangg berubah mengerikan seperti fans Evalia tadi? Enggak, aku enggak bisa membayangkan Erlangga membenciku. Cuma dia yang kumiliki di sini. Aku enggak mau merusak hubungan kami.

"Pembacanya Evalia maksud kamu?" tanya Erlangga yang kujawab dengan anggukan. "Evalicious?" tanyanya lagi. Kali ini kuangkat bahu sebagai tanda kalau aku kurang tahu.

"Apa mereka bar-bar ya?" tanyaku. Sadar pertanyaanku bisa menimbulkan spekulasi lain, segera kuperjelas pertanyaanku, "maksudnya suka menyerang dan ngebuli yang enggak suka sama Evalia?"

Erlangga tersenyum samar. "Sebenarnya enggak semua pembacanya Evalia begitu, sih. Memang ada yang fanatik sampai enggak bisa lihat ada pembaca yang mengkritik tulisan Evalia. Tapi, ada juga yang santuy dan enggak mau pusong soal begituan. Ada juga yang cuma sekadar menikmati karya-karya Evalia tanpa mau tahu soal drama fans begitu," tutur Erlangga. Erlangga menatapku seolah memcari tahu lebih dalam dengan apa yang baru saja kualami. "Kamu enggak habis perang sama Evalicious, kan?" tanya Erlangga.

Setelah membasahi bibir berulang kali, kuberanikan diri untuk menjawab, "sejujurnya iya."

Erlangga tampak terkejut seolah enggak percaya dengan apa yang sudah kukatakan. Jadi, kuceritakan saja apa yang sudah kulakukan. Aku menceritakan sedikit kisah masa kecilku bersama Evalia dan perlakuan enggak adil papa dan mama Ambar ketika Erlangga menanyakan alasan aku nekat menjadi haters Evalia.

"Mai, kamu tahu enggak, sih, di luar sana banyak banget yang berharap bisa punya keluarga kayak yang kamu miliki sekarang ini? Kamu tahu enggak, sih, ada banyak orang yang rela menukar apapun yang dia miliki asal bisa merasakan kehangatan keluarga? Harusnya kamu bisa lebih bersyukur karena memiliki semua ini." Erlangga menatap mataku seolah aku ini anak kecil. Dia memyondongkan tubuhnya ke arahku. Sambil merapikan anak rambutku, dia berkata, "belajarlah untuk lebih dewasa, Mai. Sayang hatimu kalau dipakai buat nyimpen dendam masa kecil. Manusia bisa berubah, pun dengan Evalia dan mamamu. Tinggal kamu aja yang mencoba membuka hatimu."

Aku hampir menangis mendengar perkataan Erlangga. Dia enggak tahu siapa mamanya Evalia. Dia enggak tahu, kan, kalau mamanya Evalia adalah pelakor dalam rumah tangga papa dan mama. Aku enggak yakin apa dia bisa tetap berkata begitu kalau yang direbut adalah papanya.

Sambil menahan air mata, aku pindah duduk menjauh dari Erlangga. Tepat saat Erlangga akan menghampiriku, dosen masuk ke dalam kelas bersama mahasiswa lain yang tadi masih di luar. Erlngga gagal pindah ke sebelahku karena sudah ditempati oleh kakak tingkat yang mengulang mata kuliah ini.

Selama jam pelajaran, Erlangga terus berusaha berbicara padaku, tapi enggak kuhiraukan. Erlangga juga gigih mengirimkan gumpalan kertas berisi tulisannya, tapi enggak kugubris. Sampai akhirnya Pak Bukhori menyadari apa yang Erlangga lakukan. Dia dihukum maju ke depan kelas.

"Apa itu?" tanya Pak Bukhori tegas.

"Anu ... ini ..." jawab Erlangga kebingungan.

"Apa itu?" ulang pak Bukhori dengan nada kian tegas.

"Surat buat Maira, Pak," jawab Erlangga cepat, kemudian menunduk.

"Surat?" tanya pak Bukhori. Sambil berdrcak dan menggelenggkan kepala, pak Bukhori berkata, "bukannya memperhatikan penjelasan saya, kamu malah surat-suratan. Baik, kalau gitu sekarang gantian kamh yang bicara di depan kelas, saya yang memperhatikan."

Erlangga langsung menatap ke arah pak Bukhori. "Saya bicara apa, Pak?"

"Bacain isi suratnya, saya mau menyimak," sahut pak Bukhori lalu duduk di kursinya.

Seketika Erlangga gelisah seperti cacinh yang ditaburi garam. Merasa dia enggak punya pilihan, akhirnya Erlangga pasrah membuka gumpalan kertasnya lalu membacakan isinya, "Maira cantik yang kalau lagi marah wajahnya kemerahan kayak Aisyah. Maafin aku, ya. Sumpah, muka manismu enggak cocok lecek kayak kertas ini. Please maafin aku. Janji, deh, nanti aku traktir boba sama seblak kesukaanmu."

Sontak seisi kelas mendadak riuh karenanya. Erlangga menunduk sambil menggosok tungkuknya. Sedang aku diam-diam menahan tawa karena ulah Erlangga.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Kalau jadi Erlangga, aku mau berubah jadi papan tulis. Malunya enggak ketulungan 🤣

Lanjut baca bab berikutnya, ya ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro