3. Carry All The Weakness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by: SarahFransiscaaaa

Eyang Kung menarikku kedalam dekapannya. Di belakang Eyang Kung, Eyang Uti membelai lembut rambutku. Matanya sudah basah sejak meninggalkan rumah tadi.

"Jaga dirimu baik-baik ya, Nduk," pesan Eyang Kung sambil menepuk punggungku.

Aku mengangguk sambil mempererat pelukan pada tubuh kurus eyang kung. Aku enggak pernah menyangka akan seberat ini meninggalkan Eyang Kung dan Eyang Uti. Selama ini aku terlalu sibuk menyusun rencana untuk membawa kembali kebahagiaan keluargaku, hingga aku lupa bahwa bukan hal mudah berjauhan dengan kedua orang yang sudah merawatku penuh cinta sejak kecil.

"Sudahlah, Pak, Bu. Jangan memberatkan langkah Maira. Toh, Maira bukan mau pergi berperang ke Israel, kok. Maira cuma mau kuliah," kata Mama lengkap dengan kerlingan mata jengahnya.

Cepat-cepat kuhapus bulir bening yang sudah menggelayuti bulu mata. Jangan sampai Mama melihat aku menangis. Mama paling benci mendapatiku menangis. Makanya, Mama lebih memilih menggelontorkan uang untuk menghentikn tangisanku daripada menghiburku. Aku enggak ingin menciptakan perdebatan antara mama dan kedua eyangku.

Kupaksakan seulas senyuman untuk mengenyahkan kekhawatiran di benak Eyang Uti dan Eyang Kung. "Maira bakal baik-baik aja, Kok. Betul kata mama, Maira cuma mau pergi kuliah, masih di Indonesia, masih sama-sama pulau jawa. Eyang Kung dan Eyang Uti bisa kapan saja jenguk Maira ke Jogja." Kutatap Eyang Kung dan Eyang Uti bergantian. Kuharap tatapanku bisa meyakinkan mereka.

Eyang Kung mengangguk untuk menimpali omonganku. Entah anggukan setuju atau sekadar menguatkan saja.

"Nek koen uwis ora kerasan ndhek kono, muliho yo, Nduk Ayu,"[1] kata Eyang Uti setelah mendekat ke arahku. Tangan keriputnya menyentuh pipiku. Kelabu menggelayuti wajah senja Eyang Uti.

Aku mengangguk sambil menggigit bibir dalamku agar enggak menangis. "Doakan Maira supaya betah di sana, ya," sahutku setelah berhasil mengendalikan gelombang air mata.

Suara decakkan Mama sukses menahan diriku agar enggak larut salam suasana sedih. Aku membasahi bibir kemudian meneguk saliva kepayahan.

Setelah melirik sekilas pada arloji di pergelangan tangannya, Mama berkata, "sudah sana cepat masuk. Keretanya sebentar lagi berangkat."

Aku mengangguk patuh pada Mama. Setelah mencium punggung telapak tangan Mama, Eyang Kung dan Eyang Uti, aku berjalan masuk ke pintu keberangkatan. Aku langsung menuju jalur enam di mana kereta yang akan membawaku ke Yogyakarta berada.

Awalnya aku berniat menggunakan kelas ekonomi, tapi Mama bersikeras menyuruhku membeli tiket eksekutif. Mama bilang, "jangan bikin malu. Masa anak Direktur Marketing otomotif ternama naik kereta kelas ekonomi."

Semua perhatiannya padaku hanya untuk menyelamatkan gengsinya. Kadang aku berpikir, apa Mama pernah benar-benar memikirkanku? Apa Mama pernah benar-benar peduli padaku?

Mama enggak pernah banyak bicara padaku selain soal Papa. Kalau sudah menyangkut Papa, pasti Mama akan langsung meluangkan waktunya. Hal itu yang membuatku semakin yakin bahwa Mama akan berubah seperti dulu jika Papa kembali.

Dua puluh menit setelah menduduki kursiku, kereta melaju meninggalkan stasiun Gubeng. Aku sengaja memilih kursi di sebelah jendela agar bisa menikmati pemandangan. Senggaknya, pemandangan di sepanjang jalan bisa sedikit mengobati kegelisahanku tentang tinggal satu atap bersama ibu dan adik tiri.

Ponsel dalam genggamanku bergetar dan mengeluarkan bunyi singkat. Sebuh pesan masuk ke benda pipih canggih berwarna hitam.

Papa :
Kamu sudah berangkat, Mai?

Kuembuskan nafas perlahan sebelum mengetik balasan.

Maira Zanitha G :
Sudah, Pa.

Papa :
Kira-kira jam berapa sampai di Stasiun Tugu?

Maira Zanitha G :
Sekitar jam tiga sore, Pa.

Papa :
Nanti Papa jemput, ya?

Sebuah lengkungan senyuman merekah di bibirku mengetahui kenyataan bahwa Papa masih perhatian padaku. Aku senang karena tanpa diminta, Papa sudah lebih dulu menawariku.

Maira Zanitha G :
Memangnya Papa enggak kerja?

Papa :
Hari ini Papa cuti khusus buat nyambut kamu.

Senyumku kian lebar membaca pesan dari Papa. Aku enggak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta karena selama ini aku sibuk belajar demi mendapatkan nilai terbaik. Namun, kurasa enggak ada yang mengalahkan rasa cinta pada seorang ayah. Aku pernah enggak sengaja baca artikel parenting. Di artikel itu disebutkan bahwa ayah merupakan cinta pertama bagi anak perempuannya. Kurasa, aku setuju dengan artikel itu.

Jemariku baru saja akan mengetikkan pesan balasan untuk Papa ketika sebuah pesan lain darinya muncul di ruang obrolan kami.

Papa :
Dari seminggu lalu, Mama Ambar dan Eva sudah enggak sabar nunggu kedatanganmu.

Aku tertegun membaca pesan Papa. Untuk apa wanita itu dan anaknya menantikan kedatanganku? Apa mereka sudah menyusun rencana untuk membuatku enggak betah di rumah itu? Tanpa sadar, aku tersenyum sinis. Lihat saja, enggak akan kubiarkan mereka merisakku. Aku yang akan lebih dulu membuat mereka enggak nyaman. Lagi-lagi ponselku bergetar. Pengirim yang sama seperti sebelumnya.

Papa :
Sejak beberapa hari lalu, Mama Ambar sibuk mempersiapkan kamarmu. Katanya, Mama Ambar ingin kamu nyaman di kamar barumu.

Papa :
Setelah salat subuh, mama Ambar langsung minta diantar ke pasar. Katanya, dia mau masakin makanan kesukaanmu. Evalia juga bikinin kamu cup cakes. Enak, loh.

Senyumku surut. Kebahagiaan yang sempat kurasakan sirna begitu saja. Rasanya, aku ingin berlari dan kembali ke pelukan Eyang. Kenapa, sih, enggak ada yang benar-benar memikirkanku? Kenapa enggak ada yang benar-benar peduli dengan perasaanku? Kenapa aku enggak punya orang tua yang mencintaiku?

Mama lebih mencintai karir, uang, kecantikan dan teman-temannya. Papa hanya memikirkan keluarga barunya. Enggak ada satupun dari mereka yang bisa memahami lubang menganga di hatiku.

Dengan kesal, kumasukkan ponsel ke dalam tas. Kusandarkan kepala pada jendela di sisi kiriku. Sebenarnya aku enggak mengantuk, tapi kupikir memejamkan mata lebih baik dan bisa menghalau laju air mata yang sudah menusuk.

Sayup kudengar suara-suara kenangan masalalu muncul lagi di kepalaku. Sekelebatan bayangan masa kecilku kembali terputar seperti film monokrom.

"Maira," panggil Papa sore itu di sebuah taman hiburan , di Surabaya.

Aku mengalihkan pandangan dari kaus-kaus cantik yang dipajang di sebuah toko, kemudian memandng Papa yang berdiri di sebelahku.

"Sudah milih?" tanya Papa. Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan penuh semangat. "Jadi, Maira mau kaus yang mana?" tanyanya lagi dengan nada lembut khas milik Papa.

Aku menunjuk kaus berwarna merah muda dan putih bergambar unicorn."Maira mau kaus unicorn yang itu, Pa," jawabku penuh semangat. Kali ini Papa yang mengangguk untuk menimpaliku.

"Eva juga mau yang itu, Pa. Eva mau baju yang sama kayak Mbak Maira," pinta Evalia yang saat itu masih berusia delapan tahun.

Dengan cepat kukatakan, "enggak boleh. Kamu pilih yang lain aja."

"Tapi, Eva mau samaan kayak Mbak Maira," rengek Evalia.

"Tapi, aku enggak mau samaan dengan kamu," ketusku sambil melotot sebal ke arah gadis kecil yang hanya terpaut usia dua tahun denganku itu.

Anak kecil menyebalkan itu langsung memeluk kaki ibunya sambil menangis. Aku mencibir kecengengannya.

Papa yang melihat kejadian itu langsung berjongkok di hadapanku demi menyejajarkan tinggi kami. Sambil mengusap puncak kepalaku, Papa berkata, "enggak apa-apa, ya, bajunya samaan sama Eva. Kan, kalian saudara."

Dengan amarah setinggi gunung, kukatakan pada Papa, "aku enggak mau! Aku juga enggak mau saudaraan sama dia." Kutunjuk Evalia yang masih menangis di pelukan ibunya. "Lebih baik aku enggak usah dibelikan baju dari pada harus kembaran sama anak cengeng itu."

Setelah menghentakkan kaki penuh kekesalan, aku berjalan keluar toko souvenir. Awalnya aku hanya akan duduk di kursi panjang taman hiburan ini, tapi suara anak cengeng itu kembali menggangguku sehingga aku terus berjalan ke area wahana.

"Mbak Maira," panggil suara cempreng dan serak Evalia sehabis menangis.

Aku meliriknya sekilas. Dia berusaha berlari mengejarku. "Mau apa kamu?" ketusku tanpa menghentikan bahkan memperlambat langkahku .

"Tunggu, Mbak," pinta Evalia yang mulai terengah.

"Aku bukan Mbakmu. Aku enggak punya adik,"omelku yang enggak ditanggapinya.

"Mbak, aku enggak akan minta baju kembaran lagi, deh. Asal Mbak Maira jangan marah lagi, ya?" tawar Evalia.

Huh! Dia pikir siapa dirinya? Dia cuma anak dari pelakor yang sudah merebut Papa dari aku dan Mama. Mana pantas dia melakukan tawar-menawar begitu denganku.

"Mbak, tunggu, Mbak." Kali ini Evalia berhasil memegang tanganku, membuat aku mau enggak mau menghentikan langkah kakiku.

"Apa lagi, sih?" keluhku dengan kekesalan yang kian memuncak.

"Tolong jangan marah lagi, Mbak." Dia mengiba dengan tatapan yang merana.

Kalau saja dia bukan anak dari wanita yang merusak keluargaku, aku pasti sudah luluh. Sayang, kenyataannya dia lahir dari hasil merebut kebahagiaan orang lain.

"Aku udah nunggu lama banget buat ketemu dan main bareng Mbak Maira. Jadi, aku enggak mau kita marahan," ujar Evalia. Dia menatapku penuh harap.

"Siapa suruh kamu pengin main sama aku? Aku enggak pernah minta buat ketemu dan main sama kamu. Asal kamu tahu, ya, aku benci sama kamu dan ibumu. Ibumu udah bikin Mamaku sedih," kataku padanya. Wajah Evalia memerah, pun dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Ahh, dasar cengeng!" ejekku.

"Mbak Maira boleh ngejek aku, tapi jangan Mamaku," katanya yang sebentar lagi pasti akan menangis kencang. "Mamaku itu wanita paling baik dan hebat di muka bumi ini," imbuhnya lagi.

Aku berdecak kesal. "Enggak ada wanita baik-baik yang ngerebut suami orang."

Tanpa kuduga, Evalia maju dan mendorongku sambil berteriak, "jangan ngomong jelek tentang Mamaku!"

Mendengar jeritannya dan dorongannya yang membuat aku mundur beberapa langkah ke belakang, amarahku pecah. "Mamamu bikin keluargaku hancur. Dasar anak pelakor!" Kudorong sekuat mungkin tubuh mungil Evalia.

Aku enggak tahu kalau doronganku berkekuatan membuat Evalia terhuyung dan kepalanya menabrak besi pagar pembatas wahana permainan. Aku pengin menjerit, tapi entah mengapa suaraku tertahan di kerongkongan. Aku cuma bisa terdiam sambil melihat Papa dan wanita jahat itu histeris menghampiri tubuh Evalia yang mulai lemas. Darah mengucur dari kening anak itu.

Dunia serasa berputar dan telingaku berhenti berfungsi. Aku hanya melihat orang-orang berteriak dan mengevakuasi Evalia. Papa menggendong tubuh mungil Evalia. Dia enggak peduli dengan kausnya yang dipenuhi noda darah. Wanita itu mengikuti Papa di belakangnya sambil terus menangisi anaknya yang mulai enggak sadarkan diri. Mereka pergi meninggalkanku. Tanpa menoleh sedikitpun ke arahku yng masih berdiri mematung. Mungkin Papa lupa kalau ada anaknya yang lain di sini.

Aku diam saja waktu petugas membawaku ke kantor mereka. Aku juga diam saja ketika mereka memberiku air. Aku duduk diam di ruangan itu menunggu Papa kembali menjemputku. Mungkin tadi Papa lupa kalau aku juga ikut ke taman bermain ini dengannya. Mungkin tadi Papa panik sehingga enggak menyadari kalau aku tertinggal.

Namun, sampai jam berganti, Papa enggak juga muncul. Saat itulah aku mulai menangis dan menyadari bahwa papa lebih menyayangi Evalia. Saat itulah aku sadar kalau Evalia dan ibunya sudah merebut banyak tempat di hati Papa.

Jam delapan malam, Eyang Kung dan Eyang Uti datang menjemputku. Mereka berdua membawaku pulang tanpa memarahiku, menanyaiku dan menyudutkanku. Eyang Uti terus membelai lembut rambutku sepanjang perjalanan pulang. Ia membiarkan aku membasahi bajunya dengan air mata.

Ingatan itu malah membuat bulir bening lolos di mataku yang terpejam. Perlahan aku menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi paru-paruku dan mengembuskannya perlahan. Ponsel di dalam tas kembali bergetar seperti angin yang menerbangkan kilasan masalalu yang kembali menggerogoti batinku.

Mama :
Semangat menggapai impian kita, Maira.
Mama menggantungkan banyak harapan sama kamu.
Jangan kecewakan Mama.
Kita udah banyak menangis, sekarang waktunya kita membawa pulang kebahagiaan kita, Mai.
Kamu enggak lupa, kan, sama hari-hari penuh kesedihan kita?

Mama benar. Aku harus melakukannya. Mungkin inilah satu-satunya cara mengembalikan Mama seperti dulu. Hanya Papa yang bisa membuat Mama kembali jadi Mama yang menyenangkan. Hanya Papa sumber kebahagiaan Mama.

Tanpa membalas pesan Mama, kupasang earbuds ke telingaku. Kuputar lagu Amateur untuk menemani perjalanan kali ini. Lagu yang seolah mengerti betul dengan harapan yang kutuliskan dalam setiap doaku

💜

Catatan Kaki :
[1]  Nek koen uwis ora kerasan ndhek kono, muliho yo, Nduk Ayu = Kalau kamu sudah enggak betah di sana, pulang ya, Anak Cantik.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Hai, hai!
Maaf ya, kemarin enggak update.
Padahal mau update maleman buat jadi temen yang lagi begadang atau malming-nya suram.

Nah, buat bayar hutang. Insya Allah, aku update dua bab hari ini.

Aku lanjut nulis dulu ya, biar bisa double update, tattaaahhh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro