Chapter 1 ~ Pergiku Untuk Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memang pernah pergi, tapi untuk kembali.
Maaf atas banyaknya luka yang aku berikan
Maaf atas banyak semu yang aku tinggalkan.

🍀🍀🍀

"On behalf of The Airlines and the entire crew, I'd like to thank you for joining us on this trip. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!"

Suara pramugari terdengar renyah di telinga. Salam terakhir juga membuat perasaan Raditya Rifqie Nugraha menghangat. Sudah tujuh tahun lamanya ia pergi dari tanah kelahiran. Menemani ayahnya yang bertugas di Kanada, sedangkan sang ibu masih setia menunggu di Indonesia. Hanya setahun sekali sang ibu berkunjung dan menemaninya selama musim panas.

"Dad, biarkan Radit yang bawa tasnya," tawar Radit saat ayahnya akan mengambil tas di tempat penyimpanan barang.

Sang ayah hanya mengangguk dan langsung bergegas menuju pintu keluar pesawat tanpa membawa barang lainnya. Mereka melanjutkan perjalanan dan menuju ruang pengambilan bawang bawaan di bandara. Setelah selesai, keduanya bergegas mengikuti arah tanda panah untuk pintu keluar kedatangan.

"Radit!"

Seorang wanita dengan paras yang seolah menolak untuk menua melambaikan tangan dan bergegas menghampiri ayah dan anak itu. Pancaran wajah bahagia tampak jelas. Dua lelakinya sudah kembali dari perantauan dan akan menetap bersamanya. Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?

"Bunda! Radit rindu," ujarnya sambil memeluk erat sang ibu.

"Son, Daddy kasih kesempatan juga buat say hi sama Bunda, yaa."

Sang ayah membuat wajah melas dan meminta kesempatannya diberikan. Karena merasa keadilan tidak ada, Akhirnya lelaki tertua itu membawa kedua manusia kesayangannya itu ke dalam pelukannya. Ketiganya berpelukan erat tanpa memedulikan siapa saja yang ada di sana.

Mereka memutar badan ketika sopir keluarga meminta izin untuk membawa barang bawaan berupa dua koper besar, satu tas punggung, dan satu tas berisi oleh-oleh untuk dimasukkan ke dalam mobil.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Radit kembali teringat bagaimana ia harus pergi, bagaimana ia meninggalkan luka untuk seseorang yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya. Nasib sebagai anak tunggal sampai membuat adik orang lain ia jadikan adiknya sendiri.

Statusnya memang masih keluarga, kerabat dari bundanya. Hanya saja, permasalahan mengakui adik orang lain ini membuatnya terpaksa menoreh luka.

"Bun, kabarnya Bi gimana? Dia baik-baik saja 'kan?"

"Bi sekarang sudah SMA, anaknya cakep banget, tapi pemalu, Dit. Jarang ngomong juga semenjak nggak ada kamu."

"Abis ini Radit langsung ke rumah Om Yudis, Bun."

"Bunda masih kangen sama kamu, loh. Kok malah mau ke rumah tetangga?"

"Tetangga sebelah bukan tetangga biasa, Bun. Masih saudara sendiri."

Sang ayah yang duduk di bangku sebelah sopir langsung memuta badan, kemudian menatap putra semata wayangnya itu, "Istirahat dulu, Nak. Daddy aja masih merasa di pesawat ini. Masa kamu nggak?"

Radit mengangguk tanda setuju. Kemudian ia mengambil tangan bundanya di diciumnya berkali-kali seolah merapel berapa kali ia melewatkan mencium tangan bundanya. Padahal, tiga bulan yang lalu sang bunda sudah berkunjung dan menemaninya selama liburan di Kanada. Namun, rindu tetaplah rindu, tidak akan ada habisnya.

🍀🍀🍀

Waktu sudah menunjukkan lewat pukul tujuh malam. Keluarganya bersiap untuk bertamu ke tetangga sebelah. Radit juga sudah menyiapkan beberapa oleh-oleh yang akan diberikan pada keluarga Wardhana. Bertetangga, kemudian masih ada ikatan keluarga adalah hal yang jarang di temui di perumahan tengah kota. Meski begitu, perlu disyukuri, karena kedekatan ini Radit tidak kesepian.

"Asalamualaikum," ujar Radit.

"Wa alaikum salam," sahut beberapa orang dari dalam rumah.

Para kepala keluarga saling menjabat tangan, dan para ibu saling berpelukan. Radit turut mendekat, meraih tangan si pemilik rumah dan menciumnya. Tidak luput juga menjabat tangan putra sulung keluarga Wardhana.

Suasana di dalam rumah tidak terlalu panas, tetapi Radit sudah banjir keringat. Jidatnya tampak mengkilap, bahkan tetes keringatnya sudah jatuh membasahi kaos putih polos yang dikenakannya itu.

"Mas, panggil adiknya. Dia pasti kangen banget sama abangnya," pinta sang ibu pemilik rumah.

"Biiii!"

Suara lantang si sulung membuat Radit dan keluarganya terlonjak kaget.

"Mas, datangi ke kamarnya, percuma teriak dari sini kalau ternyata Adek pakai headphones. Ini sudah jam belajarnya, dia bakal fokus sama yang dikerjakan." Si kepala keluarga mengingatkan putra sulungnya.

"Maaf, Yah!"

Setelah beberapa menit, suara gaduh terdengar dari lantai dua rumah itu. Mau tidak mau semua pasang mata menoleh dan menatap tangga secara bersamaan. Terjadi adegan saling tarik yang dilakukan kakak-beradik. Sayangnya, pemuda yang bertubuh lebih kecil kalah tenaga dan memilih mengakhiri penolakannya.

Birendra Sadhana, sosok pemuda itu berhenti di anak tangga terakhir sambil menatap ke arah ruang tamu. Ia bisa merasakan semua pasang mata sedang terarah padanya. Manik matanya memindai siapa saja yang ada di sana. Sang ayah, ibunya, lelaki paruh baya lain yang sudah lama tidak ia jumpai, bunda dari abangnya, dan satu lagi. Abangnya.

Pemuda enam belas tahun itu mematuh. Ia bahkan menurut saat sang kakak menariknya ke ruang tamu. Dengan gugup ia menyalami semua tamu yang hadir. Dan saat berhenti di depan abangnya, tangan yang terjulur itu mendadak gemetar.

"Apa kabar, Bi? Sudah SMA, tingginya sudah hampir nyalip Bang Radit, nih!"

"Ba-baik. Maaf, mau kerjain tugas, Bi pamit dulu."

Radit yang berusaha mencekal lengan Birendra, dihempas begitu saja.

"Bi, jangan begitu!" bentak si kepala keluarga.

Seisi ruang tamu kaget, istri pemilik rumah mengejar si bungsu, dan berganti si sulung yang menemani ayahnya.

Kenapa berubah? Apa yang terjadi, Bi? Maaf ..., batin Radit.

🍀🍀🍀

Day 1
WPRD Batch 2

Bondowoso, 16 Februari 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro