Chapter 12 ~ Dipatahkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terbiasa untuk tidak dianggap.
Aku juga sudah sering untuk diabaikan.
Jika kau bersungguh untuk menghancurkan aku, lakukan satu hal.
Cukup patahkan aku di waktu yang tepat, saat bahagiaku memuncak.

🍀🍀🍀

Banyak yang bilang bahwa keluarga adalah tempat untuk pulang. Sebagian mungkin sepaham, tetapi tidak untuk yang lainnya. Terutama bagi mereka yang kontra dengan salah satu keluarga. Mungkin jika Birendra ditanya, ke mana tempatnya untuk pulang ia akan memilih rumah tetangga sebelah.

Bisa dibilang ia tinggal di rumahnya seperti sebuah formalitas saja. Raganya di sana, tetapi tidak dengan jiwanya. Berkelana sepanjang waktu. Hari ini, ketika Radit membawanya, baru kali ini antara jiwa dan raganya kompak berada di tempat yang sama.

"Bi, di depan kayaknya hujan deras, mau neduh dulu?"

"Nggak apa-apa, terus saja, Bang."

"Ntar sakit, loh!"

Radit menepikan motornya di sebuah gubuk pinggir jalan yang sedang tidak ditempati. Jika dilihat dari susunan tempatnya, gubuk itu seperti tempat untuk berjualan makanan. Hal ini diperkuat dengan banner yang berisikan daftar menu.

"Duduk dulu di sini," ujar Radit sambil mengeluarkan sekantong kecil tempe gembus lengkap dengan cabai yang ia peroleh dari perusahaan tahu tradisional.

"Itu apa?"

"Ini yang namanya tempe gembus. Cobain mumpung masih sedikit hangat. Ini cocoknya tuh dimakan sama nasi panas yang ditambah dengan taburan sedikit garam. Cocolannya cabai garam. Begh, mantap," jawab Radit sambil mengacungkan jempolnya.

"Nasinya Bunda Karina sepertinya bakal cepat habis kalau makan sama ini." Birendra membalas sambil menggigit gorengan dan disusul dengan gigitan cabai.

"Enak?"

Birendra mengangguk. Ia terlalu menikmati cemilan baru hasil dari olahan ampas tahu. Daftar makanan kesukaannya bertambah. Hujan yang turun, hawa yang mulai dingin, membuat keduanya semakin tenggelam dalam menikmati gorengan itu.

Sampai pada yang terakhir, Radit menyodorkannya pada Birendra. Si bungsu keluarga Wardhana kegirangan dan langsung melahapnya. Saat suapan terakhir masuk ke dalam mulutnya, saat itulah Birendra menikmatinya sampai memejamkan mata. Mungkin itulah yang disebut berkah dan kenikmatan makanan itu ada pada suapan terakhir.

"Tas sekolahmu isinya apa?" Radit bertanya karena sepertinya tas Birendra tidak terisi apa-apa.

"Jas hujan dari Abang."

"Buku tulis? Buku paket? Kaos olahraga?"

"Nggak olahraga hari ini. Buku paket sama buku tulis ada di laci meja."

"Niat sekolah nggak, sih? Masa pulang nggak bawa apa-apa. Kalau ada PR gimana?"

"Niat banget. Buktinya aku tetap ke sekolah. Dikasih PR nantinya juga bakal jadi PS, pekerjaan sekolah."

"Allahuakbar, punya adik gini amat, ya?"

"Alhamdulillah, punya adik cerdas."

Radit tidak bisa membalas apa-apa. Ia beristigfar dalam hati. Ia juga tidak menyangka sosok polos adiknya itu sudah hilang entah ke mana. Mungkin karena pergaulan atau apa Birendra menjadi seperti itu. Namun, apa yang dilakukan Birendra tidaklah salah karena kebanyakan siswa laki-laki berlaku hal yang sama.

Mereka melanjutkan perjalanan setelah berdebat memakai jas hujan atau tidak. Akhirnya Radit berhasil memaksa Birendra untuk mengenakannya. Dan benar saja, setelah memasuki area kota, hujan kembali turun dengan deras.

"Nggak usah berhenti. Nanti kesorean dan banyak ditanya sama Mama," pinta Birendra.

Radit mengangguk lalu melajukan motornya dengan sedikit lebih cepat. Meski cipratan genangan air hujan membasahi tubuhnya, ia tak masalah. Menerobos hujan kali ini berbeda karena ia berhasil membawa sang adik bersamanya.

Jarak rumah Birendra sudah dekat dan ia baru menyadari sesuatu hilang dari tangannya. Ia menepuk bahu Radit berkali-kali karena panik.

"Berhenti, berhenti ...."

Radit langsung menepi, "Kenapa?"

"Tahu, Bang. Tahunya ke mana? Tadi aku pegang, terus baru nyadar kalau sekarang aku nggak pegang apa-apa."

"Tadi kan sudah dimasukkan ke ranselmu, Bi. Abang sudah bilang, ini masukkan ke tas, ya? Jawabmu, iya," ujar Radit sambil melajukan motornya lagi.

"Oh, iya. Bi lupa." Birendra terkekeh menyadari kecerobohannya.

Tidak berapa lama, Radit menghentikan motornya di depan gerbang rumah Birendra sesuai dengan permintaan sang adik. Awalnya Radit memaksa akan mengantarkannya sampai bertemu dengan Mama Ajeng dan menjelaskan alasan kenapa Birendra terlambat pulang.

Namun, Birendra keberatan. Ia bersikukuh meminta Radit berhenti di depan gerbang saja. Setelah mengucap kata terima kasih dan mengembalikan helm milik Radit, Birendra berjalan dengan santai menuju halaman rumahnya.

Masih lengkap dengan jas hujan, Birendra disambut oleh kakaknya dan Zio.

"Dari mana saja?" tanya Ganesh dengan nada yang mengintimidasi.

"Sekolah."

"Kamu lupa kalau laporan pulang lebih awal, atau kegiatan itu akan masuk sebagai pemberitahuan ke ponsel Mama sama Ayah?"

Ganesh menunjukkan ponsel Mama Ajeng yang berisikan pemberitahuan bahwa putra-putrinya dipulangkan lebih awal karena dewan guru ada kegiatan.

"Oh, sudah ada pemberitahuan."

"Kenapa pulangnya telat? Abis keluyuran dari mana saja sama Radit?"

Birendra melepas jas hujan sambil menatap mata Ganesh yang tampak memerah menahan emosi. "Bi diajak ke perusahaan tahu tradisional."

"Bagus, pulang lebih awal malah kelayapan nggak jelas. Mau jadi apa? Sudah belajar nggak disiplin?"

"Sejak kapan Mas Ganesh peduli sama Bi? Bukannya selama ini Bi di rumah, keluar tanpa izin, bahkan bolos sekolah sekalipun Mas Ganesh nggak pernah peduli."

"Karena sejak Radit kembali, kamu mulai berubah."

"Bukan aku yang berubah, Mas Ganesh yang berubah. Karena sejak kehadiran Zio aku nggak kenal sama kakakku sendiri." Birendra mencampakkan jas hujan di tangannya sampai jatuh tepat di depan kaki Ganesh.

Lelaki dengan manik mata cokelat itu tidak mampu membalas kata-kata Birendra. Meski begitu, sorot mata Ganesh tetap tajam. Ia seolah tidak mau menerima setiap perkataan yang dituduhkan Birendra padanya.

Birendra hendak beranjak menuju ruang tengah. Ketika sebuah tangan menariknya dan membuat tubuhnya berhadapan dengan Ganesh. Seketika itu juga satu tangan Ganesh mampir di pipi mulus milik Birendra.

"Sudah mulai kurang ajar, ya? Begini hasilnya kamu keluar dengan Radit." Suara Ganesh menggelegar membuat Zio dan Birendra berjengit, kaget.

🍀🍀🍀

Day 12
WPRD Batch 2

Bondowoso, 27 Februari 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro