Chapter 14 ~ Berputar Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingin sedikit memutar.
Membuka memori lama dalam otakku yang sudah usang.
Bukan untuk menyesali, hanya sekadar mengingat.
Bahwa dulu, aku memiliki luka.
Dan terbawa sampai dewasa.

🍀🍀🍀

Orang dewasa kadang sering lupa bahwa anak-anak adalah penyimpan memori terkuat. Meski tidak secara langsung mengutarakan ia mengingatnya, dari perilakunya sudah bisa dipastikan mereka merekam jelas semuanya.

Birendra kecil berdiri di balik gerbang sekolah dasarnya. Hampir setengah jam ia berdiri di sana dan menunggu kedatangan seseorang. Lelah berdiri, si bungsu ini memilih berjongkok dan tetap berada di balik gerbang.

"Bi, duduk sini saja, di situ panas, Le," ujar salah seorang satpam yang berjaga di posnya.

Birendra menggeleng lalu menunduk. Ia tetap berjongkok dan memainkan tali sepatunya. Ia berujar lirih, "Abang pasti datang 'kan? Nanti kalau Bi pindah ke tempat lain Abang nggak bisa nemuin Bi, Pak Satpam."

"Abangnya yang anak SMP itu, ya? Yang cakep juga kayak Bi?"

"Pak Satpam kenal? Kapan kenalan?"

"Sudah kenalan. Kan sering nganterin ke sini dulu, baru ke sekolah depan situ."

"Abang sudah janji mau ke sini. Terus, Abang juga sudah bilang mau jadi partnernya Bi buat melukis di acara Melukis Sama Keluarga."

Bocah sembilan tahun itu terus saja bercerita tentang abangnya yang akan datang. Tentang Radit yang sudah berjanji untuk menemani karena Ganesh lebih memilih di rumah dan bolos sekolah karena Zio sendirian dan sedang sakit.

Keluarga Wardhana sedang tidak di rumah. Mama Ajeng dan Ayah Yudis sedang ada keperluan ke luar kota. Birendra, Ganesh, dan Zio untuk urusan berangkat sekolah, makan, dan mereka titipkan pada keluarga Radit. Seperti inilah dua keluarga yang bertetangga. Saling membantu dalam menjaga putra mereka.

Tidak sampai pindah tidur ke rumah Radit, hanya keperluan mendesak saja Mama Ajeng meminta bantuan Bunda Karina. Selebihnya ada pembantu rumah tangga yang akan melakukannya dan akan pulang saat sore hari.

Satu hal saja yang tidak Birendra ketahui, hari itu Radit tidak akan pernah datang menemuinya. Karena jadwal penerbangan sudah ditetapkan. Dari seluruh orang di rumahnya, hanya Birendra yang tidak diberi tahu.

Berkedok kata "kasihan" dan "demi kebaikannya". Mereka, para orang tua memilih untuk merahasiakan. Jahat sekali, bukan? Bagi Birendra mungkin itu akan meninggalkan luka dan kenangan yang buruk. Namun, menurut mereka yang merencanakan, itulah yang terbaik.

Birendra masih setia menunggu abangnya, bahkan sampai satu per satu peserta melukis keluar ruangan dan pulang, Birendra tetap di sana. Di depan pos jaga, dekat gerbang sekolah.

"Abangnya mungkin lagi sibuk, Le. Gimana kalau Pak Satpam anter ke rumah?"

"Abang itu nggak amanah. Abang itu ingkar janji. Bi benci sama Bang Radit."

Si bungsu itu akhirnya menangis. Selain kesal karena ketidakhadiran kakaknya, ia juga kesal karena kelelahan menunggu, tetapi tidak membuahkan hasil. Suara tangisnya membuat kedua satpam yang bertugas merasa iba.

"Nanti kalau ketemu sama Abang, ditanya saja. Atau mau Pak Satpam panggilkan Bu Guru biar bisa menghubungi Mama atau Papa?"

Birendra menggeleng, ia menghapus kasar air mata yang mengalir di pipinya. "Ayah sama Mama nggak di rumah, Pak Satpam. Di rumah adanya Mas Ganesh sama Zio."

"Orang tuanya ke mana, Bi?" tanya satpam yang lebih pendek.

"Ke luar kota, kerja."

"Jadi? tanya satpam yang satunya lagi.

"Bi mau pulang saja."

Setelah berujar ia ingin pulang, Birendra langsung berlari ke kelasnya yang sudah kosong. Ia mengambil tas dan langsung menuju depan sekolahnya. Si bungsu yang sudah diberi tahu cara pulang ke rumah akhirnya memilih menaiki sebuah becak.

Selama perjalanan itu ia menangis. Ia tak hentinya menahan kesal. Padahal, momen melukis bersama keluarga sudah lama ia tunggu. Ternyata rencana itu gagal. Begitu sampai di rumah, Birendra tidak lekas masuk, ia memilih duduk di teras.

Bungsu keluarga Wardhana itu menangis tiada henti di teras. Bukan tangisan sambil berteriak, melainkan tangisan dalam diam. Hanya ada air mata yang menetes dan sesenggukan.

Setelah puas, Birendra masuk dan disambut oleh Ganesh yang baru turun dari lantai dua. Sepertinya sang kakak baru saja keluar dari kamar Zio. Sebuah baskom berisi air dan handuk dibawanya ke dapur.

"Dari mana? Kenapa jam segini baru sampai rumah? Sudah tau Zio sakit, malah kelayapan nggak pulang-pulang. Mas Ganesh juga ada keperluan, kamu malah nggak pulang-pulang."

"Bi sudah dari tadi di teras, tapi baru masuk sekarang."

"Mata kamu kenapa? Radit jadi datang? Mas Ganesh sudah nawarin buat datang, kamu malah nggak mau dan memilih Radit supaya datang nemenin."

"Nggak ada. Abang nggak jadi datang. Lagian kalau misal Mas Ganesh yang hadir, Zio sama siapa?" ujar Birendra sambil menahan tangisnya.

Birendra kecil menahan tangis hingga sesak. Ia tak lagi mampu menahannya, sehingga tangisnya pecah. Tas punggungnya ia lempa ke arah Ganesh. Ia meraung, menangis sambil melempar barang di sekitarnya.

Sakit hatinya memuncak, kekesalannya sudah sampai pada ambang batasnya.

"Abang jahat! Mas Ganesh jahat! Nggak ada yang sayang sama Bi. Semuanya jahat. Jadi penghianat saja semuanya. Jadi pembohong saja semuanya." Birendra semakin keras berteriak.

Ganesh hanya mampu melongo melihat sang adik mengamuk. Ia sendiri kebingungan bagaimana cara menenangkannya. Si sulung meletakkan baskom dan handuk basah bekas mengompres Zio di meja tengah.

Dihampirinya Birendra yang berdiri di ruang tengah dengan penampilan kacau itu. Dengan perlahan Ganesh mendekati Birendra. Diusapnya bahu sang adik perlahan, lalu direngkuhnya dan dibawa ke dalam pelukannya.

"Jangan teriak-teriak, Zio baru saja tidur. Nanti Mas Ganesh temani ke rumah Radit, ya."

Birendra bungkam, ia tetap sesenggukan berada dalam pelukan sang kakak. Setelah lima belas menit bertahan, akhirnya Birendra malah terlelap karena kelelahan. Tubuhnya merosot dan nyaris menghantam lantai jika Ganesh tidak menahannya.

Sebuah perlakuan yang menyakitkan. Karena secara arti, khianat bukan sekadar perbuatan tidak setia dan berbuat tipu daya, melainkan perbuatan yang bertentangan dengan janji. Mau diartikan seperti apa, maka hasilnya hanya satu, terluka.

🍀🍀🍀

Day 14
WPRD Batch 2

Bondowoso, 01 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro