Chapter 20 ~ Perkara Sepele

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah melupa, pada sebuah janji yang diingkari.
Pada sebuah amanah yang tak terjaga, pada khianat yang pernah ada.
Karena hatiku tahu bahwa ia tulus.

🍀🍀🍀

Jika pertemuan akan berujung pada perpisahan, sementara perpisahan akan menjadi awal untuk sebuah pertemuan yang baru. Maka, bolehlah dikata, semua akan bisa saat terbiasa.

Begitu juga dengan Birendra yang secara perlahan mulai menemukan apa yang disebut rumah kedua. Ia mungkin tidak pernah mengira ada kisah yang tersembunyi dalam hidupnya. Ada beberapa hal yang juga akhirnya terjawab setelah beberapa saat.

Pada satu kesempatan, ia dihadapkan pada dua orang yang berarti. Satu benar-benar terikat dalam ikatan darah. Sedangkan yang satu ikatannya belum begitu kuat tetapi begitu meyakinkan.

Saat Radit tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar Birendra dengan membawa kantong plastik, Ganesh diam-diam mengikuti dari belakang dan berdiam diri di sebelah pintu kamar sang adik.

Ia mengikuti setiap percakapan keduanya. Ada satu rasa yang terselip dalam hati Ganesh, tidak pernah sekalipun sejak kedatangan Zio adiknya berkata pelan dan lembut padanya.

Ketika terdengar suara pintu terbuka, Ganesh berlari dan berpura-pura baru keluar dari arah kamarnya. Sampai ia melihat sosok tetangganya keluar dari kamar Birendra.

"Loh, ada Abang bayangan, toh. Dari tadi, Dit?"

"Baru aja nyampe. Bentar, gue mau ambil mangkok buat Bi makan."

"Segitunya banget ngeladenin adik gue, Dit."

"Ya, nggak apa-apa, toh kakak kandungnya sendiri lebih sibuk ngurus sepupu."

Ganesh menampilkan senyum sinisnya, "Ingat, Bos, dia bukan adik kandung, loh. Bisa pergi kapan saja."

Radit turut memerkan gigi putihnya, tak lupa dengan tatapan tajam yang berusaha mengintimidasi Ganesh, "Hati-hati juga, Zio pun bisa pergi kapan saja. Jangan sampai setelah Zio nggak di sini lo malah cemburu lihat kedekatan gue sama Bi."

Ucapan balasan itu membuat wajah Ganesh memerah. Ia bahkan tidak pernah berpikir bahwa Zio akan pergi. Meski begitu, perasaat tak enaknya kini mulai menyerang. Takut-takut apa yang diucapkan Radit akan menjadi kenyataan.

Belum juga Radit menjauh dari Ganesh, Birendra membuka pintu kamarnya. Ia cukup kaget melihat kedua kakaknya itu bediri berdampingan dengan wajah yang sama-sama menahan amarah.

"Tunggu di kamar, Bi, nanti balik lagi," ujar Radit sambil mengacak rambut Birendra yang sedikit basah.

"Mau makan di bawah saja, Bang. Sekalian sama Mama dan Zio," sahut Birendra.

Merasa tidak ada kepentingan lainnya, dan karena diabaikan oleh keduanya, Ganesh memilih untuk turun terlebih dahulu. Begitu sampai di lantai bawah, Mama Ajeng ternyata sudah menyiapkan makanan hangat untuk anak-anaknya.

Radit yang sudah sering keluar masuk ke rumah keluarga Wardhana tanpa canggung langsung menuju dapur.

"Mama Ajeng, Radit pinjam pancinya buat ngangetin kuah bakwan."

"Boleh. Ambil saja yang di dekat tempat cuci piring itu."

"Mama, aku juga mau bakwan. Boleh?" ujar Zio sambil menggoyangkan tangan Mama Ajeng

"Nanti titip sama Ayah pas pulang kantor. Sementara makan yang ada dulu, ya?"

"Mau bakwannya," rengek Zio sekali lagi.

Birendra menatap Zio dengan tatapan yang mengerikan. Si bungsu ini merasa kesal. Selalu saja begini. Saat bersama keluarga, Zio akan berlaku seperti anak yang manja, haus perhatian, dan semua harus dituruti.

Hal itu sangat berbeda saat Zio hanya berdua saja dengan Birendra. Sikapnya biasa saja. Bahkan sesekali Birendra harus mengakui bahwa sepupunya ini lebih dewasa dan lebih bijak dari usianya.

"Kalau mau bawain itu jangan tanggung-tanggung, Dit. Di sini nggak hanya ada Bi, ada yang lainnya juga."

Radit yang sudah siap dengan semangkuk bakwan panas akhirnya menghampiri meja makan. Ia melihat bagaimana Zio semakin merajuk dan menginginkan apa yang ia bawa.

"Gue kirain bisa langsung kasih sama Bi, ternyata dia keluar sama Zio. Eh, pas balik gue denger dia bersin-bersin. Mana hidungnya ngelocor. Lo emang nggak lihat Bi lagi flu berat?"

"Cih, alasannya ada aja."

Radit yang memilih duduk di sebelah Birendra melihat dengan sangat jelas bagaimana tangan adiknya itu terkepal. Namun, kembali terurai saat Radit menepuk tangannya sebagai tanda meminta untuk tenang.

Birendra patuh, ia menjadi lebih tenang. Meski gejolak di hatinya tetap tidak bisa dihilangkan.

"Sudah, nggak usah ribut perkara makanan. Karena itu Radit bawa buat Bi, jadi Zio nanti saja, ya? Ayah pasti bawakan apa yang Zio mau."

Mama Ajeng akhirnya menengahi. Ia juga memberikan kode pada Ganesh supaya tidak memperpanjang urusan sepele ini. Sebenarnya, ibu dua anak ini paham akan situasi di sana.

Wanita dengan paras yang tetap terlihat muda itu tidak pernah membedakan status di antara empat lelaki yang ada di meja makan saat ini. Semua sama, membiasakan keempatnya untuk memanggil Mama padanya, dan memberikan hal yang sama.

Saat semuanya memanas, ia harus mampu menjadi yang paling dingin dan mencairkan suasana. Tidak hanya untuk permasalahan anak-anak, tetapi juga jika bermasalah dengan sang suami.

"Maaf, Ma. Radit bikin suasana nggak nyaman."

"Nggak apa-apa, Dit. Sekarang kalian makan dulu, ya. Biar nanti Mama yang temani Ayah."

Mama Ajeng melihat Ganesh membuang muka karena kekesalannya belum terlampiaskan dengan baik.

"Mas ...," panggil Mama Ajeng dengan suara lembutnya.

Padahal hanya satu kata yang diucapkan, tetapi Ganesh langsung tertunduk dan salah tingkah. The power of Mama, si pemarah yang biasanya berapi-api kini langsung tenang. Seperti kobaran api yang langsung ditutup dengan karung goni basah, lenyap begitu saja.


🍀🍀🍀

Day 21
WPRD Batch 2

Bondowoso, 08 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro