Chapter 30 ~ Membujuknya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia tidak butuh ceramah.
Tidak butuh yang namanya nasehat panjang.
Tidak buruh saran dan kritik berliku.
Yang dibutuhkan hanya keyakinan.
Keyakinan bahwa ia tidak sendirian.

🍀🍀🍀

Sekian hari Radit keluar masuk ke rumah keluarga Wardhana, ia bisa menyimpulkan bahwa Zio anak yang berpendirian teguh. Sekali bilang A, akan terus ia pegang. Tidak peduli bujuk rayu atau permintaan dari siapapun.

Ayah dan ibunya terlihat tidak sabar, mereka ingin segera membawa Zio dan tinggal bersama. Namun, tidak begitu dengan putra semata wayangnya yang justru ingin berlama-lama dan tetap tinggal bersama keluarga Wardhana.

Segala keluh kesah Birendra soal Zio selalu Radit dengarkan. Si bungsu yang biasanya membawa sepeda kini tidak lagi ia lakukan. Ada tumpangan gratis yang selalu mengantar jemputnya setiap hari. Terkadang menggunakan mobil, kadang menggunakan motor.

Siapa lagi kalau bukan Radit. Lelaki yang saat ini berstatus sebagai pengajar memang meminta Birendra untuk selalu bersama saat berangkat atau pulang karena jalur yang mereka temput searah.

"Kalau Zio terus menolak, gimana? Om dan Tante seperti ingin menyerah, Bang."

"Itu sudah di luar kendali kita, Bi, tapi sekeras-kerasnya batu nantinya akan luluh. Tinggal bermodalkan sabar, bertahan, dan bertaruh siapa yang akan kuat menunggu."

Birendra mengangguk. Setidaknya, tadi pagi ia sudah melihat Zio mulai mendekati kedua orang tuanya meski masih sedikit canggung. Sesuai dengan permintaan Ganesh, mereka akhirnya menerapkan sistem seperti bermain layangan.

Jangan terlalu ditarik, nanti putus. Jangan terlalu dilepas nanti terbang terlalu tinggi. Ada kalanya mereka harus menarik, ada kalanya juga harus mengulur. Sampai kapan? Sampai angin yang memberikan kenyamanan. Sampai Zio menemukan titik nyaman itu dan mulai berdamai dengan keadaan.

Menunggu memang setidak enak itu. Demi kebaikan bersama, mengalah mungkin akan menjadi jalan yang lebih baik.

"Bang, nanti Bi pulang sama anak-anak. Mau bahas persiapan acara tahunan."

"Serius? Abang tungguin aja atau Abang ikut gabung, gimana?"

"Nggak usah. Nanti misalnya nggak jadi bahas Bi bakal ngubungin Abang biar bisa pulang bareng."

"Siap, Bi. Jangan lupa belajar yang bener, jangan lupa makan siangnya juga yang bener, ya?" ucap Radit saat Birendra mulai bersiap karena sekolahnya sudah mulai terlihat.

Pintu mobil sebelak kiri terbuka, Birendra turun sambil mengacungkan jempol pertanda menyimak apa yang abangnya sampaikan. Tidak lupa ia melambaikan tangan ketika mobil mulai melaju.

Bel belum berbunyi, Birendra memutuskan untuk pergi ke kantin sekolah. Ia menginginkan sesuatu sebelum pergi ke kelas. Begitu sampai, matanya langsung tertuju pada seonggok roti rasa keju-susu dan susu kotak rasa cokelat. Sepertinya perpaduan ini akan pas untuk menemani paginya kali ini.

Setiap pelajaran hari ini ia lalui dengan semangat. Sampai pada saat jam pulang sekolah, ia menengok ke arah pintu. Di sana, ia sudah melihat Willy, Sandi dan Arga menunggunya.

Teman-teman sekelas Birendra berhamburan keluar kelas setelah guru terakhir mengucap salam. Birendra langsung bergabung bersama tida temannya dan menuju tempat rapat yang sudah disepakati.

Sekali lagi, pembahasan terakhir tentang kegiatan amal itu dilaksanakan. Seperti rencana awal, kegiatan ini sepertinya menjadi yang terbesar. Melibatkan beberapa sponsor dan juga beberapa lembaga juga yayasan yang menjadi penerima bantuan.

Baik itu yayasan yatim piatu ataupun yayasan panti jompo. Gagasan itu Birendra sampaikan sesuai dengan saran dari Radit. Bersyukur sekali kepala sekolah dan guru yang membimbing setuju.

"Bi, kalau Bang Radit dijadikan tamu undangan, gimana? Kira-kira bisa hadir, nggak?" tanya Willy

"Coba aja ntar kita kasih undangannya. Kalau bisa hadir, Alhamdulillah. Nggak juga nggak apa-apa, gimana?"

"Oke, ntar kita minta seksi bagian yang ngurus undangan supaya nambah satu lagi untuk Bang Radit," ucap Arga.

🍀🍀🍀

Birendra pulang sedikit larut. Jam sudah hampir menunjuk angka tujuh ketika ia memasuki rumah. Di sana ia melihat beberap orang berkumpul. Lagi-lagi ada kedua orangtuanya, orang tua Zio, Ganesh dan Radit.

Saya datang di waktu yang tidak tepat. Rapat intern sedang dilaksanakan, batin Birendra sambil berjalan menghampiri ruang tengah dan menyapa yang berada di sana.

Birendra mengedarkan pandangannya, ia tidak menemukan keberadaan sepupunya. "Zio mana, Mas?"

"Di kamarnya, Bi. Ngambek lagi kayaknya. Tiba-tiba saja dia ngomong nggak mau untuk ikut keluargnya." Ganesh berujar denga pelan.

"Kami sudah menyerah, Nak. Tidak ada yang bisa kami harapkan lagi. Memang semua ini salah kami yang tidak pernah memberikan perhatian. Kami pikir uang akan mudah membujuknya. Ternyata yang ia butuhkan lebih dari sekadar uang."

Si bungsu keluarga Wardhana itu tersenyum dengan terpaksa. Bagaimana tidak? Ia yang sedang lelah harus menghadapi suara patah hati dari orang tua yang ingin dekat dengan putranya.

"Bi, coba bujuk Zio. Kali saja kalau sama kamu dia bakal dengerin," pinta Radit dan mendapat anggukan dari yang lainnya.

Perasaan pawangnya Zio itu Mas Ganesh, kenapa dilimpahin ke aing? Birendra kembali membartin. "Bi coba dulu. Semoga Zio mau dengerin."

Akhirnya si bungsu ditemani Radit untuk menemui Zio. Ia melangkah perlahan ketika pintu kamar itu sedikit terbuka.

"Zi, gue masuk, ya?"

Tidak ada suara yang menyambutnya. Hanya ada temaram lampu yang mengisi ruangan itu. Birendra mendapati Zio tengah duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia membungkus kakinya dengan selimut.

Zio yang mendengar suara Birendra menoleh, sepupunya sudah berdiri di sebelahnya dan mulai memilih tempat untuk duduk. Birendra memilih duduk di sebelah Zio dengan memasukkan kakinya juga ke dalam selimut.

"Akhirnya bisa santai juga."

Hening, suara Birendra tidak mendapat tanggapan apa-apa. "Kalau nggak salah dengar, Ayah sama Ibu lo katanya mau berangkat lagi, lo gimana?"

"Nggak gimana-gimana."

"Yakin?"

Zio seperti bimbang ketika ingin menjawab. Ia memilih untuk bungkam. Ia tidak ingin berpikir lebih jauh lagi.

"Kita ini memang punya ikatan keluarga, tapi itu masih jauh dibanding ikatan darah dari ayah dan ibu yang ngalir di badan lo ini." Birendra menunjuk lengan Zio.

Birendra menunggu sesaat untuk mendapat sanggahan atau kata-kata lainnya. Namun, kembali hening yang menyapanya.

"Gini, deh. Anggap nanti setelah lulus SMP, lo itu liburan bareng sama ayah dan ibu. Kalau suka, lo bisa lanjut, kalau nggak, lo bisa balik lagi ke sini. Lo nggak salah kalau sudah nyaman di sini, tapi seenggaknya lo harus ngehargai gimana usaha orang tua yang kerja keras buat masa depan lo, Zi."

🍀🍀🍀

Day 32
WPRD Batch 2

Bondowoso, 19 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro