Chapter 6 ~ Kehangatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin apa yang kau pilih membuatmu berubah.
Bolehkah aku minta sekali lagi untuk memilih?
Bukan untuk diriku, melainkan demi dirimu.
Karena aku melihat banyak dingin dalam dirimu,
sedangkan aku rindu hangat tatapmu.

🍀🍀🍀

Birendra terbangun dari tidurnya. Ia langsung melihat keadaan kamar yang berbeda dengan kamarnya sendiri. Kamar itu sederhana, hanya ada satu tempat ranjang yang ia tiduri, meja dan kursi lengkap dengan lampu belajar, serta sebuah lemari besar berwarna cokelat tua.

Remaja yang duduk di kelas sepuluh itu ingin beranjak dari kasur, tetapi tertahan karena merasa ruangan yang ia tempati terasa berputar. Belum juga berhasil berdiri, ia dikejutkan dengan seseorang yang membuka pintu.

"Sudah bangun, Bi? Makan dulu, ya, ini Bunda bikinin sup tahu."

Birendra memundurkan badannya dan memilih untuk bersandar di kepala ranjang. Kesengajaannya berdiam diri di bawah guyuran hujan berhasil membuatnya demam. Kombinasi yang pas saat ini adalah demam dan sakit kepala hebat.

"Maaf karena Bi sudah merepotkan Bunda dan Abang."

"Nggak apa-apa. Makan dulu, ya? Mumpung masih hangat."

Perlahan makanan di mangkuk itu berpindah ke perut Birendra. Sensasi hangat langsung menyebar ke seluruh tubuhnya. Sudah sejak SMP ia tidak pernah berkunjung ke rumah Radit, tetapi Bunda Karina tetap saja mengingat makanan kesukaannya.

Segala hal yang berkaitan dengan tahu dan olahan susu, entah itu makanan ataupun minuman merupakan kesukaan Birendra. Maka, saat menghadapi sup tahu di hadapannya. Ia mengangkat sudut bibirnya selama beberapa detik dan hal itu tertangkap oleh mata Bunda Karina.

"Anak baik, anak ganteng, minum dulu obatnya setelah itu tidur lagi. Bunda sudah minta izin sama Mama Ajeng supaya kamu bisa bermalam di sini. Toh, besok masih hari Minggu."

Bunda Karina membantu Birendra, beliau menyodorkan obat penurun demam dan memberikan segelas air hangat untuk meminum obat tersebut.

"Terima kasih, Bunda. Hm ..., Abang tidur di mana kalau Bi yang nempatin kamarnya?"

"Abang tidur di kamar tamu. Jangan pikirin si Abang dulu, Bi. Lebih baik kamu sehat dulu, soalnya Bunda nggak bilang sama Mama Ajeng kalau kamu demam."

Birendra mengangguk perlahan sambil melihat Bunda Karina keluar dan menghilang di balik pintu. Ia mengamati tubuhnya, baju yang dipakainya tadi sudah berganti dengan piyama tidur berbahan katun yang dingin saat dipakai. Berbeda sekali dengan suhu badannya yang sedikit panas itu.

Setelah beberapa saat, barulah Birendra berpikir bagaimana caranya ia bisa sampai di rumah ini. Seingatnya, ia masih berada di taman, di bawah pohon dan masih menggunakan jaket milik Radit.

Kalau tidak salah ingat, tadi ia sempat melirik jam di ponsel dan itu masih sore, tetapi sekarang di luar sudah gelap. Birendra ingin mengecek jam dan kebingungan ketika mengingat ponselnya tidak ada. Ia mencari di samping tubuhnya, di bawah bantal dan berhasil menemukan ponselnya di nakas sebelah ranjang.

Setelah memastikan barang yang ia cari sudah ditemukan, Birendra melanjutkan tidurnya. Biasanya setelah mendapat obat demam, ia akan tidur dengan sangat lelap karena pengaruh obat.

Namun, berbeda dengan kali ini. Birendra tidur dengan gelisah. Ia tidak tenang dan terus saja mengigau. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Belum tiga jam terlelap, remaja enam belas tahun itu sudah terduduk di ranjang.

"Pulang, Bi. Kamu nggak ada aturan? Tidur di rumah orang seenaknya seperti ini. Kamu punya rumah, kamu punya kamar sendiri. Kenapa harus di sini?"

Penggalan ingatan yang ia bawa dari masa lalu itu kembali menghantui. Suara menggelegar dari Ganesh kala itu masih terekam jelas di dalam ingatan Birendra. Terakhir kali Birendra ketiduran di rumah Radit dan dijemput paksa oleh kakaknya.

Bahkan Bunda Karina tidak bisa menahan kekesalan Ganesh kala itu. Wanita cantik itu hanya mampu mengikuti Ganesh yang berusaha menarik Birendra untuk keluar dari rumahnya.

Karena ingatan itu, Birendra bangun dan berusaha keluar kamar dengan terburu-buru. Ia menuruni tangga juga dengan tergesa-gesa sampai tergelincir di anak tangga terakhir dan membuat keheningan malam itu terganggu.

Si pemilik rumah yang mendengar suara gaduh akhirnya keluar kamar. Radit yang ada di ruang tidur tamu juga keluar dengan terburu-buru. Mereka melihat sosok remaja berdiri di depan pintu dan kebingungan mencari kunci.

"Ada apa, Bi? Mau ke mana?" tanya ayah Radit.

"Mau pulang. Nanti Mas Ganesh marah lihat Bi di sini."

"Nggak akan, Bi. Bunda sudah izin sama Mama Ajeng."

Birendra menggeleng, ia tampak ketakutan dan mulai merapatkan tubuhnya ke dinding. "Buka pintunya, Om. Bi mau pulang!"

Sosok kepala keluarga itu mendekati Birendra dengan perlahan, diraihnya tangan Birendra yang gemetar dan menuntun untuk menuju sofa. Remaja yang menggunakan baju tidur itu tidak bisa menolak perlakuan lembut dari ayah Radit.

"Coba dilihat sekarang jam berapa?" Ayah Radit menunjuk jam dinding di ruang tamu itu.

Birendra mendongak, dan melihat jam di hadapannya itu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

"Ayah, Mama, sama Mas Ganesh pasti sudah tidur. Kalau Bi maksa pulang jam segini mereka akan terganggu."

"Gimana? Jadi pulang sekarang?"

Birendra menggeleng dan menundukkan kepalanya. "Bi tidur di sini saja, biar besok subuh bisa langsung pulang sebelum Mas Ganesh jemput."

Seluruh keluarga Radit paham akan ketakutan bungsu keluarga Wardhana itu. Diantara mereka bertiga tidak ada yang kembali ke kamar dan menemani Birendra tidur di ruang tengah.

"Family time! Kita tidur kruntelan di sini," ujar Radit saat kembali dari kamar sambil membawa dua buah selimut dan bantal tambahan.

Sebuah kehangatan yang teramat jarang Birendra dapatkan di tengah keluarganya. Keluarganya lengkat, tidak ada yang pergi, hanya saja suasana hangat memang sudah lama tidak ia rasakan. Ini adalah hangat yang pertama setelah sekian tahun ia berkutat dalam kubang dingin tanpa adanya perhatian dari keluarganya.

🍀🍀🍀

Day 6
WPRD Batch 2

Bondowoso, 21 Februari 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro