BWIL - 1. Jadi Istri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Saya terima nikah dan kawinnya Dara Tanaya Dharmawangsa binti Daryan Dharmawangsa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Sahutan 'sah' penuh kelegaan dari para keluarga menggema di seluruh ruangan. Meski enggan, Dara tetap mengangkat kedua tangan dan menundukkan kepala saat penghulu di hadapannya membacakan doa. Setitik air meluncur melewati pipi. Sungguh. Apa yang terjadi padanya detik ini lebih mirip seperti drama.

Pernikahan macam apa. Tak ada pesta, tak ada pelaminan megah, dekorasi yang mewah, ataupun tamu-tamu bersama hidangan di meja mereka. Hanya keluarga Dara yang duduk di karpet mengelilinginya. Ah, yang jadi masalah terbesar, tak ada mempelai pria yang ia cinta. Argh ... bukannya menikah dengan pangeran impian, Dara malah menikahi pria tua. Astaga.

Percayalah, Dara tidak asal berpikir begini. Sesi ijab qobul berlangsung sangat lama karena mempelai prianya selalu salah menyebutkan nama mempelai wanita. Ya Tuhan, seberapa parah kepikunan laki-laki ini sampai tak bisa menghapal nama calon istrinya.

Entah apa yang terjadi, sebuah sentuhan di lengan menarik Dara kembali ke tempat. Celetukan Dewa menyambar perhatian semua orang. "Duh, mbak istri malu, ya. Ayo dong dicium dulu tangan suaminya."

Dara meringis, tetap pada posisi menunduk. Sialan memang sepupunya yang satu itu. Awas saja, akan ada pelajaran untuk Dewa setelah ini.

"Dara, ayo salim dulu." Kali ini kakak iparnya, Maya.

Sedikit mendongakkan wajah. Dari jarak sedekat ini, Dara bisa melihat dengan jelas kerutan di sekitar mata pria berjas putih. Tidak jelek-jelek amat sih, tapi Dara tidak suka pria tua.

Segera, tanpa memberi kesempatan pada keluarga besarnya merasa curiga. Dara menyambut uluran tangan Brandon, menciumnya dengan berat hati. Lantas cepat-cepat menarik diri bahkan sebelum bibir Brandon menempel sempurna di keningnya. Dara hanya berharap tak ada yang menyadari kejanggalan tadi. Lagian, siapa yang mau dicium sama om-om seperti dia.

Jangan dikira pernikahan tanpa resepsi berarti menghemat tenaga. Hah, nyatanya ini bahkan lebih melelahkan dari sekedar bersalaman dengan tamu-tamu. Keluarga besar dari pihak mamanya begitu banyak bicara. Dara tentu harus lebih ekstra berpura-pura. Berpikir keras mengingat naskah drama yang disuapi kakaknya pagi tadi.

"Ih iya loh Dara, tante gak nyangka kamu bakalan nikah tahun ini." Dara meletakkan gelas air mineralnya sambil tersenyum.

"Bude kaget juga. Kata Dewa kamu pacaran sama temen kampus. Eh, nikahnya sama temen kakak kamu." Kali ini yang bicara Budhe Vindi, kakak Mama.

Dara tak menyangka mulut Dewa akan seember itu. Perkara pacar Dara saja dia segala cerita ke mamanya. Dara tentu hanya bisa tersenyum, sementara Dewa menyengir lebar di samping mamanya.

"Ya mau gimana lagi Budhe. Ternyata jodohnya Dara Mas Brandon," jawab Dara.

Gadis itu hampir saja kelepasan meludah jika saja dirinya tak ingat dengan sopan santun. Cuih, Mas Brandon. Dia lebih pantas dipanggil Om.

"Gimana ceritanya Marchel bisa ngerestuin pernikahan Dara? Tante penasaran banget," Kamila, adik ipar ibunya lagi-lagi berusaha mengorek informasi.

"Jadi gini, Tan. Dara itu murung banget semenjak putus sama pacarnya. Lagian anak itu bawa dampak buruk buat Dara. Ya Marchel seneng-seneng aja dong mereka putus." Semua terdiam, menunggu kalimat lanjutan kakaknya.

"Sejak itu, Brandon modusin Dara. Jujur Marchel gak tau soal itu. Tiba-tiba aja, Brandon ngajak nikah Dara. Marchel pikir gak ada salahnya, biar ada yang jagain Dara."

Semua orang mengangguk kecil. Dara melirik sekilas, di sampingnya Brandon sama sekali tak kaget. Apa cuma dia saja yang tidak tahu soal ini.

"Lagian Marchel gak ngatasin kalo suruh ngontrol kenakalannya Dara. Dan Brandon kayanya emang pawang yang dikirim buat Dara." Ah sial, Kak Marchel tega mempermalukannya hanya demi meyakinkan mereka semua.

Bodo, gue ngambek ama lo, Bang Marchel, rutuk Dara dalam hati.

"Dara nurut banget udah kalo sama Brandon. Bucin banget dia tuh."

Marchel tertawa renyah, pun begitu Pakdhe-Budhenya. Orang-orang tak tau saja, kalau mereka baru ditipu habis-habisan oleh Marchel Dharmawangsa. Akting kakaknya ternyata begitu sempurna. Dara saja hampir tertipu.

"Tapi firasat tante gak bener 'kan?"

Semua atensi tertuju pada Kamila. Sialan nenek lampir beranak satu ini. Mau ngorek-ngorek apalagi, sih. "Rasanya aneh kalo Dara buru-buru nikah. Dan pernikahannya juga diem-dieman aja."

Apa maksudnya?

"Dara gak hamil duluan 'kan?"

Suasana hening. Seakan semuanya mengiyakan spekulasi Kamila. Bahkan Kak Marchel lupa melanjutkan aktingnya, dia diam saja. Dan Dara tak tahu harus membela diri bagaimana.

"Tentu aja enggak, Tan." Brandon tersenyum, menarik bahu Dara merapat padanya.

"Saya sendiri yang akan menjamin Dara menyelesaikan S1-nya nanti. Saya tau betapa berprestasinya istri saya semasa 12 tahun sekolah dulu. Dan saya juga tau, betapa dia mencintai hobi belajarnya itu."

Tanpa Dara sangka, Brandon mencium puncak kepalanya sekilas. Dengan penuh raut bahagia, dia kembali bicara, "Saya pasti akan mendukungnya menyelesaikan S3, sekalipun harus menunda memiliki momongan."

Dewalah yang paling kencang tertawa dan dia juga yang menularkan tawanya ke semua orang. Lelaki ber-jeans belel itu berkata, "Setuju sama Om Brandon, Dara itu gila banget manjanya. Gak pantes punya anak bahkan setelah dia bisa lulus S3."

Budhe Vindi langsung menyumpal bibir Dewa dengan cake. Tentu putra bungsunya tersungut-sungut kesal. Sepeninggalnya lelaki bertindik itu, Vindi angkat bicara, "Maapin anak Bude, ya, Dara. Emang bibirnya Dewa itu minta disambelin."

Lagi-lagi semua orang tertawa. Ya Tuhan, kapan semua ini berkahir. Dara lelah terus-terusan memasang wajah pura-pura bahagia. Dirinya sangat ingin menghubungi Satya saat ini.

"Brandon, saya enggak lihat orang tua atau keluarga kamu. Di mana mereka?" Pakdhe Harja, suami Budhe Vindi akhirnya bersuara.

"Saya besar di panti asuhan, Om. Yang saya punya cuma ibu pengurus panti. Beliaunya gak bisa datang karena beberapa minggu terakhir darah tingginya kambuh."

Semua orang terdiam, kaget. Begitu juga Dara, dia tak menyangka. Benarkah itu.

"Maafkan saya, Nak."

Brandon tersenyum. "Bukan masalah Om, santai aja."

"Keponakan tante, Dara Sayang. Udah kepikiran mau bulan madu ke mana?"

Dara sontak menatap Brandon yang juga menatapnya. "Belum Tan, soalnya Dara ma-"

"Ya udah, ini ada voucher bulan madu tiga hari dari Tante sama Om Wildan. Pilih nih, mau yang di villa Malang apa resort Om Wildan yang di Bali?"

Dara tak kuasa menghadapi antusiasme dari tantenya. Apa? Bulan madu? Ciuman aja Dara gak mau. Segala bulan madu. Ah, enggak!

"Ayo, dong dipilih."

"Resort yang di Bali aja, Tan."

Dewa menyahut heboh, "Eh, Om Brandon tau aja kalo Dara suka sama pantai."

Sementara semua sibuk menimpali kalimat Dewa. Dara memandang tak percaya pria di sampingnya. Dari mana Brandon tau kalau Dara lebih suka berlibur di pantai daripada di gunung.

Saat dirinya hendak memalingkan pandangan, Brando menahan, merendahkan kepala lalu mendekat pada telinga Dara. "Saya terpaksa nerima. Ingat, cuma terpaksa."

Dara mendecih dalam hati. Siapa juga yang berharap bulan madu sama dia. "Sama," bisik Dara lalu mendorong pelan Brandon menjauh darinya.

Semua orang di sana tertawa penuh bahagia, kecuali sepasang mempelainya.

To be continue ....

Gak mau banyak cingcong. Tapi yang jelas, aku nulis ini pake bahagia banget, jadi kamu harus bahagia juga loh, ya. Xixixi.

23.37 WIB
1 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro