BWIL - 8. Acting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍“Kenapa gak bilang kalau kamu mabuk naik pesawat?”

Suara pintu terbuka, Dara tak menghiraukan dan tetap berbaring di ranjang. Kedua kelopak sengaja ditutup dengan lekukan tangan kanannya. Brandon masih terus mengoceh ini dan itu. Dara katroklah. Cerobohlah. Menyusahkanlah.

“Kamu itu kayak bocah, bikin ribet hidup saya mulu.”

Dara menggeram, Ya Tuhan!

“Gue mana tau kalo bakal mabok. Gila aja, tadi itu rasanya perut kaya dikocok. Ternyata gak cuma di tanah, tapi di udara juga ternyata banyak batu kerikilnya.”

Suara tawa renyah menggema di seluruh ruangan. Brandon itu, memangnya ada yang lucu dengan pengakuan Dara. “Kamu gak cocok jadi adeknya Marchel. Norak kaya gini.”

Lagi-lagi Dara masih tetap pada posisi semula. Tanpa permisi atau peringatan, tiba-tiba Brandon menempatkan tubuh di sisi Dara.

“Agak kesanaan, saya juga mau istirahat.” Tangan lelaki itu pun turut mendorong-dorong bahu kanan Dara menjauh.

“Ih, apaan sih om, jangan tiduran di sini. Aku duluan kali yang nempatin, jadi cuma aku yang boleh ti—”

“Oh, oke.

“Aww, OM LEPASIIIN!”

Alih-alih kasur bertambah lega, yang ada Brandon dengan seenak udelnya memeluk perut Dara. Mendesak wajahnya ke leher Dara. Dia tentu terus meronta, marah-marah minta dibebaskan. Bukan apa-apa rasanya geli aja gitu.

“Anjirlah tekotok!” rutuk gadis yang masih lengkap dengan jaket kulitnya. Dara berdiri menjulang, menunjuk wajah Brandon dengan acungan telunjuknya.

“Minggir! Tempat lo di sana.”

“Kamu itu kasar, ya.”

“Bodo amat. Makanya jangan bikin emosi orang naik mulu. Dah minggir sana!” Bukannya bangkit dari pembaringan, Brandon malah menarik satu guling, memeluk erat, dan mulai memejamkan mata tanpa mempedulikan amukan istri kecilnya.

“Saya capek. Kalau gak mau satu ranjang, silakan tidur saja di sofa. Udah cukup saya mengalah sama kamu selama hampir seminggu.”

“Gue juga capek. Tapi kalo ada yang pegang-pegang mana bisa istirahat. Gue gak bakal bisa tidur, Om.” Dara menghentakkan kaki di lantai. Seperti biasa, adik sahabatnya ini selalu saja protes.

“Tolalit.”

Dara menganga tak percaya. Brandon baru saja menyebut dirinya tolalit. Astaga.

"Saya gak akan apa-apain kamu, gak inget tadi siang saya ngomong apa?”

“Nafsunya cowok mana bisa dipercaya.”

“Nafsu saya ilang tiap kali liat badan triplek kamu, dengerin kata-kata kasar bibir kamu.”

“Bokis najis.”

Dara meraup ribuan kelopak mawar yang bertaburan di ranjang, melemparkannya pada Brandon. Berteriak mengusir pria itu dari tidurannya. Dara menyeringai saat Brandon merubah posisi menjadi duduk. Mampus! gue gak bakal bikin lo tenang sedikitpun.

Bruk

“Cuci jaket saya yang kamu muntahin tadi.”

Mengernyitkan dahi, Dara memungut totebag dan melemparkannya kembali pada sang pemilik. “Ogah, laundry aja sono.”

“Cuci!”

Kali ini lemparan Brandon tepat mengenai wajah gadis muda yang berbalut amarah itu. Tanpa Brandon duga, Dar malah berlari keluar kamar, menuju balkon dan melempar keluar totebag navy beserta isinya.

Shit

Dara menyeringai mendengar rutukan halus Brandon. “Buang aja, selesai. Gitu aja kok dibikim ribet.”

Detik itu juga, setelah melempar tatapan tajam. Suaminya berlari keluar kamar. Di bawah sana gelap, entah berapa lama Brandon bisa menemukan buntalan jaket berisi muntahan Dara. Rempong banget itu orang, beli baru lagi juga bisa.

Menghembuskan napas panjang, Dara mendudukan diri di pinggiran ranjang. Kamar yang sudah dihias sedemikian rupa romantisnya, tak membawa kesan apa pun selain lelah. Ia mengusap wajahnya, salah apa Dara sampai harus merasakan bulan madu yang seperti ini di hidupnya.

“Kita buat kesepakatan sementara selama di Bali. Setelah selesai bulan madu, saya akan susun perjanjiannya.”

Dara masih mengernyitkan dahi. Brandon aneh, baru masuk langsung ngomong kaya begitu. Maksudnya apa coba.

“Saya tau, kamu gak menginginkan kehidupan pernikahan ini. Baik saya dan kamu harus bisa mempertegas apa yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam hubungan kita ini.”

Dara diam, masih mencerna. Apa yang orang ini katakan. Dara sungguh tak mengerti. Dia terlalu tersirat, singkat, dan cepat.

“Oke. Begini.” Brandon menghela napasnya panjang. “Sekarang kita buat kesepakatan. Kamu mau saya enggak ngapain? Dan saya juga akan memberi kamu peraturan. Adil?”

Dara memalingkan wajah ke arah lain. Sementara Brandon masih terus mengoceh soal ini itu. “Oke-oke, paham. Peraturan buat selama di Bali aja.”

***

Dara mengucek mata sesekali lalu menggulung rambut panjangnya tinggi-tinggi. Gila banget lah orang itu, masih jam setengah tujuh kurang udah minta sarapan aja. Di lift Dara menguap, bibirnya mencibir menirukan kalinat Brandon kemarin malam.

“Saya gak suka makan di tempat umum. Jadi kamu harus beliin saya makanan yang maish hangat di bawah.”

Fiks, Dara udah kaya jadi babunya Brandon sekarang ini. Awas aja, bakal gue aduin ke Bang Marchel pas pulang nanti, batin Dara geram.

Bubur gandum merah Brandon sudah sampai di kamar. Tapi tak ada siapa-siapa. Brandon pergi entah ke mana. Satu pesan masuk, Dara membuka ponselnya yang tergeletak di nakas.

Mas Suami
Sy lgi fitness, buburny jgn di beli dlu

Dara tak ingat kapan menyimpan nomor ponsel laki-laki itu. Ah, tapi lupakan. Dia baru saja mengerjainya. Terus siapa yang mau makan ini bubur.

“Sial banget gue. Pagi-pagi udah dibegoin.”

Dara sudah bersantai ria dengan badan harum bunga saat Brandon tiba dengan keringat menyengat dan kalimat yang menyulut emosinya. “Saya gak mau loh ya, makan makanan dingin kaya gini. Tadikan saya sudah bi—”

“Telat, woi telat! Hp gue ketinggalan, pas balik dari bawah bawa bubur lonya udah gak ada.”

“Beli yang baru kalau gitu,” titah Brandon.

“Gak mau! Emang gue babu lo.”

“Kamu pikir kesepakatan semalem gimana? udah begitu kan. Saya gak bakal apa-apain kamu dan tidur di sofa. Kamu cuma saya suruh beli menu makan saya dan gak ganggu aktivitas saya aja masih gak bisa.”

Brandon meraih mengkuk bubur di nakas. Dari sofa, Dara sudah lebih dulu nerasa girang. Dikiranya Brandon mau menyantap bubur di mangkuk sana. Tapi ternyata dia membuangnya di tong sampah. Berlalu dengan handuk dan dua kata perintahnya.

“Beliin lagi.”

Lalu Dara menatap nanar pintu kamar mandi, seolah-olah ia bisa menembus dan menyudahi umur orang di dalamnya. “Nyebelin banget.”

Pagi berganti siang, Dara melakujan hal yangs ama seperti yang tadi pagi ia lakukan untuk Brandon. Lelaki itu menatap sekilas, mengucapkan terima kasih, lalu kembali mematut laptop dan berkas-berkasnya yang berserakan di kasur.

“Makan dulu, nanti adem gue suruh balik ke bawah lagi.” Pria itu menatap sekilas, lalu mengambil piringnya.

“Kamu gak pengen spa atau apa gitu. Gak jenuh di dalem kamar terus?”

Masih terfokus pada layar televisi, Dara menjawab. “Males. Pengen ke pantai sih, tapi di sana kayanya horor. Masa gak ada siapa-siapa, sepi gitu. Kalo kebawa ombak kan gak ada yang nolongin.”

Tanpa sepengetahuan Dara. Brandon tersenyum kecil. “Ambilin saya cash-an laptop di resleting ransel tengah.”

Seperti Dara yang biasa. Dia memang melakukan apa yang Brandon minta tapi selalu diberi bonus decakan kesal. “Kita makan malam di luar, biar kamu gak bosen. Oke?”

***

Beruntung Dara tidak berharap lebih pada Brandon, seperti saat ia berulang kali berharap agar panggilannya diangkat oleh Satya. Jujur. Semenjak Satya pamit untuk ke luar negeri, hari-hari Dara terasa begitu kosong dan membosankan. Satya, entah kenapa dia tak mau menjawab panggilan Dara. Sungguh Dara lelah karena keresahan.

Ahya, kembali ke makan malam di retsoran resort. Ternyata, sebenarnya yang mau Brandon ajak makan bukan Dara. Tapi rekan sekantornya. Wanita dewasa, segar, dan cantik. Bisa bayanhkan sendiri bagaimana body goalsnya.

“Kenapa istri kamu dari tadi diem aja?”

“Eh” Dara melempar tatapan bertanya, bingung dengan apa tang mereka bicarakan.

“Gue rasa cukup segitu aja, Nya. Gue percayain tigas itu ke lo, atur semua jadwal gue se-efisien mungkin.”

Wanita di hadapan Brandon tersenyum mengangguk, beberapa kali membenahi rambutnya. “Kamu bisa kembali ke penginapan dan selamat kembali ke Jakarta.”

Tak ada angin tak ada hujan, Brandon mengapit bahunya, membawakan tas selempang Dara. “Ayo sayang, kamu perlu istirahat.”

Dara mendengus dalam hati, sayang pala lu peyang.

To be continue ...

29 April 2021
23.50 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro