Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Katakanlah, apakah sesulit itu untuk bicara jujur padaku?






















Rinne keluar dari bar dengan wajahnya yang menampakkan kesedihan. Ia tidak menyangka jika dirinya harus mengatakan perpisahan dihadapan teman lamanya yang notabenenya adalah saudara dari sang gadis penyelamat hidupnya.

'Hidup itu penuh kejutan, kan?' batin Rinne yang kini telah membaringkan dan memangku (Name) di mobilnya.

Selama perjalanan, Rinne hanya memikirkan kata perpisahan untuk sang penyelamatnya. Apakah ia harus membuat dramatis? Ataukah harus yang sedikit romantis?

"Hah...," helaan nafas kasar terlontar dari bibir Rinne.

"Rinne, apa kau baik-baik saja?" tanya Urie yang memperhatikan Rinne dari cermin mobil.

"Ya, kurasa begitu," ucap Rinne yang menatap lurus ke depan.

"Tenanglah, Rinne. Wanita memang sulit dipahami. Kau hanya perlu bersabar dan membuktikannya perlahan-lahan," ucap Urie yang tanpa sadar telah memberikan nasehat pada atasannya.

"Kurasa kau benar," sahut Rinne dengan tangan yang terus mengelus surai gadis pujaan hatinya.

'Ekh!? sial, apa yang aku katakan!" batin Urie yang ingin sekali menghabisi dirinya sendiri setelah sadar apa yang ia katakan itu tidak pantas untuk atasannya.

Dan perjalanan pun dihabiskan dengan keheningan. Lalu, sesampainya di mansion, Rinne membaringkan (Name) pada kamarnya.

Ya, kamar Rinne, bukan kamar khusus yang diberikan untuk (Name). Tetapi, benar-benar kamar Rinne.

"Aku tidak tahu cara untuk mengucapkan perpisahan. Tapi, aku akan selalu ada bersamamu kapanpun itu."

*****

Pagi ini, burung telah bernyanyi dengan amat merdu. Dan mentari pun turut bergabung dengan memberikan sinarnya yang hangat untuk menyambut hari.

"Ugh ...," gumam (Name) yang merasa jika sinar mentari telah memaksanya untuk bangun lebih awal.

Tapi, satu hal yang baru saja ia sadari. Semua peralatan yang ada di ruangan ini sangat berbeda dari apa yang ada di kamarnya. Ya, bahkan susunan dan tata ruangnya pun sangat berbeda jauh dari rumah orang tuanya.

'Mungkinkah ....'

"Tidak, Michelle tidak membawaku kemari. Tapi, bisa jadi iya," gumam (Name) dengan manik yang mengitari ruangan ini.

Tidak lama kemudian, pintu pun terbuka dengan sosok yang sangat ingin ia jauhi. Bahkan, ia sangat tidak ingin bertemu dengannya saat ini.

"Hari ini, tampaknya kau sangat terkejut melihatku. Ada apa? Apa ada sesuatu yang aneh dariku?" ucap Rinne yang telah siap dengan setelah jasnya.

"Kau ... mengapa kau membawaku kemari!? Aku sudah bilang berkali-kali padamu, jika aku tidak ingin bertemu denganmu!" ucap (Name) dengan tatapan memohon.

Rinne pun sempat membuang tatapannya sejenak dan berkata, "Tentu, akan aku kabulkan semuanya untukmu."

Setelah mengatakan itu, Rinne mendekat dan membuka lemarinya. Tentunya, (Name) sangat tidak peduli akan hal yang dilakukan oleh Rinne. Baginya, keluar dari sini adalah hal yang terpenting.

Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Rinne mendekati dan menyentuh tangan (Name) perlahan.

"Ya, aku memang buruk jika harus mengucapkan kata-kata perpisahan. Dan ini yang bisa aku berikan untukmu sebagai ucapan terima kasih. Selain itu, kau bisa membuangnya jika kau tidak suka," ucap Rinne sembari memberikan sebuah cincin bermotif kupu-kupu dengan berlian merah muda.

'Amagi-san ...,' batin (Name) sembari menatap Rinne dengan tatapan yang mengatakan jika ia tidak ingin berpisah dari Rinne.

Setelah memberikan cincin itu, Rinne langsung meninggalkan (Name) di ruangan ini.

Sepeninggalan Rinne, (Name) hanya diam sembari menatap pintu yang menelan pria itu. Tangannya tergerak menggenggam cincin itu erat.

*****

Waktu terus berjalan. Mengukir semua kisah suka nan duka. Banyak yang menyesal, banyak juga yang bahagia. Itulah perjalanan hidup.

Hal yang sama pun telah dirasakan bos mafia satu ini. Ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya semenjak kehadiran gadis itu. Namun, kini ia harus melepaskan kepergian sang gadis sebelum semuanya terlambat.

Meskipun ia tidak tahu apakah dirinya menyukainya, ataupun hanya sekedar teman tidur satu malam. Tetapi, yang ia ketahui adalah kembali dalam urusan gelapnya.

"Selamat datang, Tuan."

Para maid telah berjejer di samping pintu untuk menyambut kepulangannya. Dengan penuh hormat, mereka menundukkan kepalanya hingga sang tuan rumah telah benar-benar meninggalkan tempat ia masuk.

"Kali ini makan malam dengan apa?" tanya Rinne yang telah memberikan koper serta jas pada maid pribadinya, Hana. Namun, Hana hanya diam saja sembari mengikuti Rinne ke ruang makan.

Dan alangkah terkejutnya Rinne, saat melihat seorang gadis yang seharusnya meninggalkan dirinya sedari siang itu masih berada disini. Akan tetapi, Rinne memilih buang muka. Ia bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu diantara mereka.

"Hana, aku sudah selesai menyiapkan makanan. Maka, aku akan pulang," ucap (Name) yang berlalu begitu saja. Bahkan, Rinne pun tidak memiliki niat sedikitpun untuk mencegah ataupun mengejarnya.

"Ganti makan malamnya, cepat! Aku tunggu di kamar," ucap Rinne setelah merasa gadis itu benar-benar pergi dari mansion ini.

"Tapi, Tuan. Nona sudah menyiapkan makanan ini, khusus untuk Tuan ...."

"Untuk kalian saja. Setelah kalian makan, ada baiknya jika kalian langsung buat makanan baru untukku," potong Rinne tanpa melihat maid nya sedikitpun.

"Baik, Tuan," jawab Hana yang langsung undur diri.

Disisi lain, (Name) sedang menyusuri jalan kota. Diantara kerumunan orang, ia merasa jika ia sedang sendirian.

Entah mengapa ... rasanya sangat berat untuk meninggalkan dirinya. Padahal, sebelumnya ia yang sangat ingin keluar dari sana.

Untuk kesekian kalinya, (Name) telah mengeluarkan nafas dengan kasar. Bahkan, wajahnya pun tampak murung. Lebih murung dari sebelumnya.

"Kau ini, seharusnya kau menelfon ku jika kau pulang malam."

Suara itu membuat (Name) memberikan tatapan kosong pada pria bersurai merah muda yang tengah bersandar di ranting pohon.

"Memangnya, apa yang terjadi jika aku menelepon mu, Kohaku?" tanya (Name) sembari mengulas senyuman sedih.

Pria bernama Kohaku itupun turun dari pohon dan menatap sang gadis dengan tampang seperti seorang ayah yang hendak memarahi putrinya.

"Bodoh, tentu saja menjemputmu. Apalagi?" (Name) hanya bisa tertawa sebentar dan melihat lingkungan sekitarnya untuk mencegah air matanya turun.

"Hanya begitu saja sudah mau menangis? Dasar cengeng! Lebih baik jika kau kembali ke taman kanak-kanak jika masih ingin menangis seperti itu," omel Kohaku yang membuat gadis dihadapannya hanya tersenyum lalu meninggalkan dirinya bersama sang rembulan.

'Aku tahu jika kau ingin bilang bahwa aku sangat berbeda dari biasanya. Namun, entah mengapa kejadian-kejadian yang cepat berlalu membuatku ingin menangis,' batin (Name) sembari menyusuri jalan dan menuju apartemen lamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro