Broken

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elara's Pov

Perlahan mataku terbuka. Sinar dari balik tirai cukup menerangi kamar. Belum terlalu siang sepertinya. Aku lalu menggeliat dengan menahan nyeri yang luar biasa. Menoleh ke samping dan menemukan Rigel tengah melingkarkan tangannya di perutku, dia tidur dengan posisi kepala berada di ceruk leherku. Embusan napasnya menciptakan sensasi aneh. Tiba-tiba semua yang terjadi semalam kembali terputar. Dada berdebar saat mengingat bagaimana dia mencumbu. Rigel benar-benar sudah merenggut mahkotaku!

Tangannya lalu kusingkarkan pelan-pelan. Tentu saja agar dia tidak terbangun. Aku benar-benar tak berniat menatap matanya yang tanpa belas kasih itu.

Getar ponsel yang berada di nakas, membuat fokus ini teralih. Aku duduk dan menarik selimut agar tetap menutupi tubuh. Tangan lalu bergerak di sekitar ranjang, mencari kemeja yang semalam Rigel tanggalkan dari tubuhku. Segera kupakai dan meraih benda pipih yang kini sudah tidak terlihat bergetar lagi.

"Nathan," gumamku saat tahu panggilan tadi berasal dari dia.

Tapi sedetik setelahnya, jantungku berdentam. Nathan sudah menghubungiku sebanyak dua puluh kali! Bams, ini pasti tentang adikku yang berusia lima belas tahun itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghubungi Nathan. Baru dua kali nada sambung terdengar, dia sudah menjawab dari seberang sana.

"Nathan, ada apa? Kenapa Bams? Dia udah ditangani, 'kan? Aku udah bayar biaya rumah sakit, kemarin"

Satu detik, dua, tiga, hingga entah detik yang keberapa, suara lirihnya baru terdengar. Namun, aku bisa mendengar dengan sangat jelas.

"El, maafin aku. Bams ... meninggal. Maaf."

Semua benda yang ada di sekitarku seakan menjauh sekarang. Meninggalkan aku sendiri dalam kesunyian di kegelapan sebab ucapan Nathan barusan. Berkali-kali aku mengerjap, hingga kesadaran akhirnya pulih. Semua yang tadi kulihat bergerak pergi, kini tetap ada di tempatnya. Tidak ada yang salah. Semuanya normal, kecuali hati ini.

"El, kamu dengar aku?"

"Kamu pasti bercanda, Nathan," jawabku dengan tawa kecil.

"Aku minta maaf, El."

Luruhlah sekarang air mataku.

🌺🌺🌺

Mengabaikan nyeri yang benar-benar mengganggu, aku terus berlari menyusuri koridor rumah sakit. Tak peduli air mata yang terus berlinang, hingga orang-orang memperhatikanku. Tujuanku hanya satu, melihat Bams.

Aku masih berkeyakinan bahwa Nathan hanya bergurau di telepon. Tapi pemikiran barusan langsung terbantahkan saat aku membuka pintu ruangan Bams. Langkahku gontai saat melihat tiada lagi infus serta selang-selang yang biasa melekat di tubuh Bams. Dan monitor yang kemarin masih bergerak naik-turun, sekarang hanya diisi oleh garis datar.

"Bams, Kakak datang. Kamu bangun, dong, Sayang." Kukecup kening Bams, lalu memeluk tubuhnya yang tak bereaksi sama sekali. "Bams, kamu kenapa nggak jawab Kakak? Kamu marah karena Kakak baru datang? Aduh, adik Kakak yang ganteng ini pasti nunggunya kelamaan, ya. Maaf ya, Sayang. Jangan marah lagi. Bangun, yuk, Bams!"

Kali ini kugenggam erat tangan dinginnya. Lalu menarik tubuh agar bisa mencium wajah itu.

Isak tangisku mulai terdengar. Tak bisa lagi ditahan. Rasa perih mengobrak-abrik hatiku. Kesakitan ini benar-benar mengikis pertahanan yang selalu kubangun agar tidak pernah terlihat lemah oleh orang lain.

Sekali lagi kupeluk Bams. Menangis dan membiarkan air mata membasahi dadanya yang terlapisi kain. Lemah, aku terus memanggil namanya, berharap dia hanya sedang pura-pura tidur, lalu akhirnya terbangun. Tapi sekuat apa pun aku menyangkal kenyataan, tetap saja tidak akan berpengaruh.

Seperti jiwa yang mati untuk ketiga kalinya, itu yang aku rasakan. Pertama Bunda, lalu Ayah, dan sekarang Bams. Jantungku seperti berhenti berdetak sesaat demi menerima fakta yang begitu pahit. Dulu aku masih punya orang yang akan jadi sandaran untuk menangis dan masih punya alasan untuk kembali hidup. Ya, itu dulu, bukan masa kini.

"El, tolong kamu terima kenyataan ini. Aku harap kamu tabah."

Wajahku mendongak dan mendapati Nathan yang sejak tadi berdiri di sisi seberangku. Ekspresinya menggambarkan kesedihan. Tapi jelas tak sesedih aku yang baru saja kehilangan adik.

Aku menghampiri Nathan. Dia mencoba menyentuh pundakku, tapi segera kutepis.

"El?"

"Kamu seorang dokter, Nath! Kamu dokter yang nanganin Bams! Tapi gimana kamu bisa biarin adikku kayak gini, hah?!"

Debar di dada semakin memburu. Tanganku terkepal kuat, berusaha meredam segela rasa yang membuncah.

"El, aku minta maaf nggak-"

"Stop! Kamu bilang kemarin nggak bisa berbuat apa-apa saat kondisi Bams lemah, karena aku belum bayar tunggakan rumah sakit. Tapi saat aku udah bayar pun kamu tetap nggak bertindak!"

Bisa kulihat Nathan menghela napas pelan. Lalu dia menggeleng. Aku memalingkan wajah dan kembali memeluk Bams.

"Kamu bohong sama aku, Nath! Kamu bilang nggak akan biarin Bams kenapa-kenapa. Mana buktinya, hah?!"

"Kamu tahu aku juga sayang sama Bams. Nggak mungkin aku sengaja berbuat hal buruk sama dia," kata Nathan, pelan.

Tak peduli pada perkataan laki-laki berjubah putih itu, aku terus terisak-isak di dada Bams. Aku merutuki diri sendiri, karena tak bisa menjadi kakak yang baik untuknya.

"Aku telpon kamu dari dua puluh menit sebelum kamu hubungi aku balik. Saat itu Bams lagi sekarat, tapi kamu nggak angkat, El. Maaf, aku nggak bisa menyelamatkan Bams."

Saat Bams sedang sekarat aku malah berada di ranjang empuk bersama seorang laki-laki. Ya, dia! Karena lelaki itu yang dengan tega tetap meniduriku setelah tahu semua tentang Bams. Kalau bukan karena Rigel, aku pasti masih bisa melihat Bams yang bernapas. Bahkan pertemuan terakhirku dengan Bams hanya lima menit, sebab laki-laki itu tak mau merugi kehilangan banyak waktu menungguku.

Bams tetap pergi, meski seluruh harga diri telah kuserahkan pada pemilik uang lima ratus juta itu. Yang tersisa kini hanya sesal tiada bertepi.

Aku membencinya! Aku benci pada dia yang tetap saja memanfaatkan kesusahan orang lain.

Tanpa sadar aku melemas, hingga berlutut di lantai. Kututup wajah dengan dua telapak tangan dan terus terisak, tapi tak lama, Nathan menyingkirkannya. Dia ikut berlutut. Perlahan dia menghapus air mataku dengan saputangan. Beberapa detik kemudian, terasa usapan lembut di pundakku. Kami bertatapan dalam diam.

"Aku kehilangan dia, Nath." Kembali aku menunduk dan memandang jemari sendiri yang saling bergulat. "Aku bukan Kakak yang berguna buat Bams."

Sstt!

Terdengar desisan dari Nathan dan aku menatapnya. Dia meletakkan satu telunjuk di depan bibir.

"Bams mungkin kecewa sama aku, Nath."

Kuremas pinggiran rok sendiri dan mengigit bibir bawah kuat-kuat. Aku juga sangat kecewa dengan diri sendiri.

"Semua pasti baik-baik aja, El. Kamu harus tenang."

Terakhir aku mendengar kalimat itu dari Rigel, tapi yang terjadi malah bencana besar.

Air mataku kenapa tidak mau berhenti mengalir? Bahkan semakin bertambah. Rasa perih juga tetap tak mau sirna.

"El, aku bantu kamu urus pemakaman Bams, ya? Aku minta izin hari ini."

"Aku bisa sendiri. Maaf untuk yang tadi, Nath."

Nathan hanya mengerjap pelan sambil membantuku untuk berdiri.

Kasar aku mengusap wajah agar air mata hilang. Sudah cukup tangis yang sedari tadi berderai. Dengan begini aku hanya membuang-buang waktu dan aku yakin, Bams pun tak akan senang.

Setelah menarik napas dalam serta membuangnya perlahan, aku mengeluarkan ponsel dari tas hitam. Menghubungi kepala bagian departemenku untuk meminta izin cuti selama sehari.

Kutatap wajah pucat Bams saat kepala bagian mengucapkan belasungkawa. Lalu panggilan terputus setelah aku mengucapkan terima kasih.

Rasanya begitu sakit, tapi aku tak punya kata-kata yang pantas untuk mengatakan bagaimana perasaan sesungguhnya. Semua aksara tak mampu untuk mewakili bagaimana terlukanya hati.

🌺🌺🌺

Aku mendesah pelan disertai air mata yang terus mengalir. Aku berusaha menahannya sejak tadi, tapi luruh juga saat tubuh pemuda tercintaku telah tertutup oleh gundukan tanah. Kelopak mawar kutaburkan, lalu mengusap papan nisan yang bertuliskan namanya.

"Bams, kamu satu-satunya keluarga Kakak. Tapi sekarang kamu udah nyusul Ayah dan Bunda. Bams, Kakak minta maaf nggak bisa jagain kamu. Kakak minta maaf nggak bisa kasih kamu kehidupan yang seharusnya. Bams ...."

Wajahku tertunduk dalam dengan bahu bergetar. Angin yang bertiup pelan disertai sinar matahari menyilaukan sore ini, tetap saja tak mampu mengusir kegundahan hati.

Semua pelayat sudah pergi, tinggal aku seorang di sini. Tepatnya aku mengusir Vivian dan Nathan yang tadi sempat kekeh ingin menemani. Aku hanya ingin berdua saja dengan Bams. Biarlah hanya dia yang tahu bagaimana kakaknya menitikkan air mata sebab rasa kehilangan. Biarlah air mataku habis di sini, agar nanti tak ada lagi yang menetes.

Kupikir segalanya akan baik-baik saja setelah malam nista yang kulalui bersama Rigel. Namun, kenyataannya aku berada sangat rendah dalam kehidupan ini sekarang. Sebatang kara, tanpa satu saja sanak-saudara yang akan peduli. Ah, Elara yang malang.

Desau angin menemaniku yang masih meratapi kematian Bams, sampai datang sebuah suara yang membuatku menoleh ke belakang.

"Adikmu sungguh meninggal?"

Sedikit terkejut melihat siapa yang baru saja bertanya, tapi cepat-cepat aku bersikap normal. Lantas berdiri sambil mengusap air mata.

"Iya, seperti yang Bapak lihat."

"Oh." Ekspresinya benar-benar datar.

"Oh?" ulangku, tapi kali ini lebih pada bertanya. Karena sampai beberapa saat dia diam, tidak mengucapkan belasungkawa.

"Hari ini aku berikan kamu izin untuk tidak memenuhi isi kontrak. Tapi besok pagi, datanglah ke rumahku."

Dia kemudian menggunakan kacamata hitam yang tadi tersampir di bagian leher kemeja blue sky-nya. Lalu membalik badan dan berjalan begitu saja melewati makam-makam di bawahnya.

Dia pergi. Sungguh pergi tanpa ucapan untuk seseorang yang baru saja ditinggal anggota keluarga ke alam baka.

Tawaku pecah, karena begitu naif sempat mengira dia masih ada hati dan datang kemari. Ternyata hanya untuk mengingatkanku pada kontrak busuk yang memberinya banyak keuntungan.

Wajah tampan di usia yang matang, tapi ternyata hatinya mati. Sangat disayangkan, karena apa yang tampak di luar, tidak sama dengan yang di dalamnya.

Puas menertawai kebodohan sendiri, aku kembali merasakan kehampaan. Jiwa yang biasanya diisi oleh gelora gairah untuk hidup, memudar. Selama ini aku mati-matian berjuang untuk Bams, tapi sekarang alasanku untuk tetap berdiri teguh, melemah.

Ah, ingin sekali rasanya berkumpul dengan Ayah, Bunda, dan Bams di sana. Aku lalu berlutut menghadap makam Bams. Meremas cukup kuat long dress sebetis polos yang kupakai.

"Tuhan masih ngasih lo napas, El. Jangan bodoh dan mikir yang aneh-aneh. Berhenti sedih dan nangis, karena keluarga lo nggak bakal senang lihat lo kayak gini."

Aku sadar diri kini hanya sendirian. Jadi memotivasi diri sendiri adalah hal yang terbaik.

🌺🌺🌺

Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, tapi aku sudah membelah jalanan dengan motor matic kesayangan. Menerobos dinginnya angin hanya demi seorang CEO pongah Rigel Devara.

Kekuasaan dan harta yang dia miliki membuat Rigel beranggapan semua akan baik-baik saja dengan dua hal itu. Tapi dia lupa ... kasih sayang dan ketulusan adalah hal yang lebih penting dari apa pun. Orang semacam Rigel memang tidak akan paham, karena hatinya seperti sudah dikutuk menjadi es.

Sampai di depan gerbang yang menjulang tinggi, aku menekan klakson berkali-kali. Lalu gerbang terbuka dan seorang satpam menyambutku. Tidak perlu bertanya identitasku, dia langsung mempersilakan masuk. Terang saja, karena dua hari yang lalu aku datang kemari bersama Rigel.

Motor sudah terparkir dan helm juga tidak lagi di kepala. Aku lalu melangkah ke pintu utama. Ada sedikit debar saat aku memencet bel. Was-was, entah seperti apa Rigel akan menyambut.

Dan akhirnya pintu terbuka setelah bel kubunyikan dua kali. Laki-laki dengan kaus putih serta celana rumahan itu mengangkat satu sudut bibirnya. Lantas dia menyandar pada kusen pintu dan melipat kedua tangan di dada.

"Masuk! Piring kotor sudah menumpuk di dapur."

Huft!

Kuhela napas, lalu tersenyum palsu.

Tanpa menjawab, aku hendak masuk. Saat melewati Rigel, dia berbisik, "Selamat datang di neraka, El. Ah!"

Rigel menggeleng seakan telah melakukan kesalahan.

"Maksudku, di rumahku. Semoga betah."

Lalu dia berbalik, meninggalkanku di ambang pintu.

What the .... Dia benar-benar tidak punya perasaankah?

TBC

Next verlitaisme

Gaess, mau tanya, menurut kalian siapa yang cocok jadi cast untuk Rigel? Punya saran? Coba deh kasih tahu. Karena cast kemarin banyak yang bilang kurang cucok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro