Moving

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pendengaranku terfokus pada suara benda jatuh dari lantai atas. Rasa cemas tiba-tiba mendera. Segera aku berlari untuk menaiki anak tangga. Lalu berdiri tepat di depan pintu kamar Rigel. Bimbang, haruskah aku masuk untuk melihat keadaannya?

Kugigit bibir bawah sambil berpikir. Tapi tak lama kemudian, Rigel muncul dari balik pintu. Aku bisa merasakan auranya yang berbeda. Dia sedang emosi. Terlihat dari setiap embusan kasar napas Rigel, serta rahangnya yang mengeras. Melihat dia begitu, aku jadi serbah salah. Ingin menyampaikan kekhawatiran, tapi urung. Jadi aku tetap diam.

“Carikan aku apartemen! Yang paling mahal dan paling aman!” perintah Rigel.

Perasaan khawatir tadi berubah jadi tanda tanya. Punya rumah sebesar ini, untuk apa lagi mencari apartemen?

”Pastikan hanya kamu dan aku yang tahu. Paham?” lanjutnya penuh penekanan.

Aku mengangguk, lalu dia kembali menutup pintu kamar secara kasar.

Sebelumnya aku tidak pernah melihat Rigel seperti ini. Dia terlihat menjaga sikap ketika berada di kantor. Emosinya selalu terkendali bila berhadapan dengan klien. Sekarang, entah apa yang membuatnya jadi seperti harimau mengamuk. Bisa jadi karena perempuan yang mengaku sebagai calon istrinya tadi. Ah, sudahlah. Bukan urusanku.

Akhirnya aku kembali ke bawah. Mengeluarkan ponsel dan buku catatan dari dalam tas sambil duduk di kursi makan. Mengingat-ingat, klien mana yang punya apartemen siap huni sesuai keinginan Rigel.

Telunjukku menyusuri kertas bertuliskan nama dan angka-angka. Kemudian berhenti pada sebuah nama. Jemariku kini bergerak di layar ponsel, lalu meletakkan di telinga. Nada sambung terdengar tiga kali, disusul suara sapaan dari seberang sana. Senyumku terkembang.

“Selamat pagi, Pak. Betul, saya Elara dari bagian customer service Devara Developer. Jadi maksud saya menghubungi Bapak adalah ....”

Terlibat obrolan beberapa menit, panggilan akhirnya terputus. Tanganku cepat membuka celemek biru muda bermotif bunga-bunga yang menempel di tubuh. Selanjutnya, menuju kamar laki-laki batu itu. Lagi-lagi aku ragu saat sudah berdiri di depannya.

Napasku terhela pelan.

“Pak!” panggilku, sembari mengetuk pintu.

Rigel langsung muncul dan bersandar pada kusen pintu. Tangannya bersedekap. Lalu sedikit menaikkan wajah. Pertanda dia mempersilakan aku untuk bicara. Ckck! Sebegitu malasnya dia untuk mengeluarkan kata, hingga hanya memberi isyarat.

“Saya sudah dapat apartemen siap huni. Pemiliknya bersedia bertemu hari ini di jam berapa saja, Pak.”

Wajahnya masih datar ketika aku selesai memberi laporan.

“Cepat juga kerjamu, El.”

Aku memamerkan gigi. Tersenyum palsu. Tentu saja aku bisa diandalkan. Hasil pekerjaan memuaskan. Memangnya dia, si bos yang pandai memerintah, tapi tak tahu cara menghargai karyawan.

“Hubungi pemiliknya, kita pergi sekarang.”

“Baik, Pak.”

Tubuhku berbalik, tapi seketika terhenti saat Rigel berbicara.

“Aku tahu tadi kamu pasti sedang berpikir hal negatif tentang aku. Jangan berani melakukannya lagi!”

Mati! Bagaimana dia bisa tahu? Apa selain jadi bos sombong, dia juga seorang dukun? Halah, paling hanya sekadar menebak saja! Dasar sok tahu!

“El!”

“Ya, Pak?”

Kembali aku menatap Rigel dan menyunggingkan senyum lebar untuknya.

“Siapkan koperku. Sekarang!”

Aku terpaku dibuatnya. Bingung harus menanggapi bagaimana. Tadi berkata untuk menghubungi pemilik apartemen, tapi sekarang aku harus menyiapkan pakaiannya.

Terdengar debuman keras dari pintu yang baru saja Rigel tutup. Disusul suara lantangnya yang penuh perintah.

“Siapkan koperku, El! Jangan melamun!”

Bukannya dia yang tadi meninggalkanku di sini? Seenaknya saja marah-marah dan memerintah. Argh! Kesal!

“Huh! Pergi saja ke neraka, sana!” Aku menggumam sendiri.

🌺🌺🌺

Aku menyibak tirai tebal berwarna krem pada pintu slide yang terbuat dari kaca pada ruang tamu apartemen. Gedung-gedung pencakar langit yang berdiri tegak mengelilingi lebih rendah, langsung memanjakan mata. Jemariku bergerak menyentuh kaca sementara pikiranku melayang. Teringat pada Bams yang pernah mengatakan ingin berdiri di tempat yang tinggi, karena selama ini selalu berada di posisi rendah.

Tinggi. Setinggi apartemen inikah? Menatap rendah kepada bangunan lain di bawah sana, indah. Hanya saja aku tak sempat mewujudkan keinginan Bams. Ah, adikku ....

Tanpa terasa dua tetes air mata meluncur di pipiku begitu saja. Tepat saat terdengar derit pelan dari pintu apartemen. Refleks aku menoleh, lalu menghapus basah di wajah.

“Baru aku tinggal sebentar dan kamu sudah menangis, heh?”

Rigel lalu membanting tubuhnya di sofa panjang dan menumpukan kaki kanan pada paha kirinya. Dia tersenyum sinis padaku yang hanya berjarak sekitar lima langkah darinya.

“Sudah selesai masalah pembayarannya, Pak?”

“Mengalihkan pertanyaan,” jawabnya diiringi decakan.

Jelas saja, karena aku tak mau dia tahu alasan sesungguhnya. Sebab dia adalah manusia yang hatinya tak tersentuh pada keadaan menyedihkan seseorang. Atau bisa jadi ... dia laki-laki yang mati rasa. Tak ada cinta dan kasih sayang dalam kamus hidup Rigel. Lalu untuk apa aku membagi kesedihan padanya? Hanya buang-buang waktu.

Aku masih berdiri, sedangkan Rigel memandang sekeliling. Tampaknya dia puas dengan semua yang ada di sini. Itu terlihat dari cara sudut bibirnya tertarik ke atas, serta anggukannya.

“Tata pakaianku di wardrobe!” perintahnya sembari mengeluarkan ponsel. Dan dia tak memandangku sama sekali.

Aku hanya menghela napas. Lalu buru-buru menuju kamar utama yang ditempati oleh Rigel. Tirai tebal yang masih menutup dinding kaca, segera aku buka. Seketika ruangan bercat krem ini jadi lebih terang.

Di ranjang dengan seprai serta bed cover merah maroon, terbaring dua koper besar milik laki-laki pongah itu. Dan sekarang aku harus menata ulang. Ya, layaknya pembantu yang sedang melayani sang tuan.

“Rigel, kenapa Tuhan nyiptain manusia batu kayak kamu?” keluhku, sementara tangan terus bekerja. Membuat rapi pakaiannya di wardrobe berukiran mewah.

Hah! Selesai juga akhirnya.

Tepat pada saat aku ingin mengenyakkan diri di sofa single dekat kaca, ponsel yang berada di saku celana jeans-ku bergetar. Segera kuambil dan ternyata dari Nathan. Panggilannya kuangkat dengan pandangan lurus menghadap gedung-gedung tinggi. Terdengar sapaan hangat dari Nathan.

Hai, Nath. Hemmm. Aku baik, kamu nggak usah khawatir.”

“....”

“Makan siang? Ah, sorry. Aku nggak bisa. Aku ada urusan lain. Next time, ya, Nath.”

Urusanku tentu saja dengan Rigel. Aku tak mungkin memberi tahu Nathan.

“....”

“Kamu mau nanya sesuatu? Okelah, nanti kita atur jadwal buat ketemu, ya. Bye, Nath.”

Panggilan sudah terputus, tinggal aku yang masih menyimpan tanya. Nathan terdengar serius ingin berbicara sesuatu denganku. Baiklah, hari Senin nanti aku akan menemuinya. Karena Rigel yang menyebalkan itu pasti tak akan memberikanku waktu untuk bersantai di luar.

“Bermesra-mesraan di telepon. Bagus sekali, El.”

Jantungku serasa ingin melompat mendengar sindiran Rigel dari arah belakang. Kaget. Entah sejak kapan dia berdiri di sini.

“Hanya telpon biasa, Pak,” jawabku saat sudah bertatapan dengannya.

“Nathan?” Kedua alisnya hampir menyatu saat mengajukan pertanyaan itu.

“Ada masalah?” tanyaku balik.

Terlihat tangan Rigel mengepal. Lalu mendorong tubuhku hingga menempel pada dinding kaca.Kedua tangannya berada di samping lenganku dan posisi Rigel condong.

“Heh, apa-apaan ini, Pak?!”

Dia menatap lekat dan wajahnya kini bergerak ke arah telinga kananku. Aroma parfum maskulinnya seketika meliuk ke hidung.

“Kenapa kamu begitu santai saat bicara dengan Nathan, tapi sangat kaku dan formal jika denganku?” bisiknya.

“Dalam kontrak tidak ada perjanjian yang menyatakan bahwa Pak Rigel Devara bisa mengatur kehidupan pribadi saya.”

Jawabanku sempat membungkamnya beberapa saat, sebelum tawa Rigel akhirnya pecah.

“Kamu tahu, aku tidak akan membiarkan apa pun yang ada di dekatku menjadi milik Nathan. Termasuk barang bekasku, El.”

Dia membisikkan kalimat terakhir secara pelan-pelan. Napasku menjadi sesak, tapi tetap berusaha menguasai diri agar tak menunjukkan emosi.

Aku dorong pelan tubuhnya dan tersenyum saat dia menatapku.

“Tandanya barang bekas itu terlalu berharga sehingga Bapak tidak sanggup memberikannya pada orang lain.”

Rigel bergeming. Lantas aku berjalan dan menutup pintu. Meninggalkannya sendirian di kamar.

Benar, aku pernah memohon padanya dan menyerah atas syarat yang dia ajukan. Tapi itu tak berarti aku lemah dan akan diam saja ketika dia hina. Aku, Elara Calista, saat itu tunduk pada Rigel Devara hanya karena keadaan yang tak sedang berpihak. Jika ada jalan lain hari itu, jelas sudah aku tempuh.

Ah, sudahlah. Menguras batin memikirkannya.

Di sofa ruang tamu, aku menyandarkan tubuh. Sungguh merasa bosan karena tak ada kegiatan, sedangkan minat menonton TV juga lenyap. Jadi aku hanya mengotak-atik ponsel dan berselancar di dunia maya.

Apartemen ini sudah dibersihkan kemarin. Sebuah keberuntungan untukku, karena sekarang tak perlu susah-susah mengepel. Rigel pun tak punya alasan untuk memberiku perintah. Well, mari bersantai dengan tenang.

Aku sesekali melirik pada kamar utama yang posisinya tak jauh dariku. Tak terdengar suara dari dalam. Rigel mungkin asyik dengan ruangan barunya. Bahkan hingga hari merangkak sore pun dia tetap tidak menunjukkan batang hidungnya.

“Aku lapar.” Dia berkata dari ambang pintu. Sepertinya makhluk itu sudah selesai bertapa.

“Ya, makanlah, Pak. Masa' tidur,” jawabku asal dengan senyum tertahan.

Seperti biasa, tatapan tajamnya itu mengarah padaku. Tapi aku segera mengalihkan pandangan ke layar ponsel yang masih menyala.

“Pergi ke supermarket di bawah. Beli bahan makanan dan kamu harus memasak untukku.”

Sekali saja, tidak bisakah dia berucap tanpa rasa mendominasi orang lain?

“Bapak mau makan apa?”

“Capcay isi ayam. Ini uangnya.”

Aku bangkit serta memasukkan ponsel ke saku dan berjalan ke arah Rigel. Tanganku terulur untuk meraih dua lembar kertas merah di tangannya. Tapi ... ternyata terjatuh dan tepat berada di dekat kaki Rigel. Dia pasti sengaja ingin mengerjaiku.

“Ah, aku tidak sengaja, El,” katanya tanpa rasa bersalah.

Ya Lord, tolong musnahkan saja Rigel dari bumi.

Mataku menyipit padanya. Tanpa basa-basi langsung saja aku membungkukkan tubuh dan mengambil uang itu. Lalu melangkah ke arah pintu.

“Jangan korupsi. Ingat bawa struk belanjanya.”

Sengaja tak menjawab, aku tetap berjalan dan meninggalkan apartemen. Ah, dia pasti sedang terpingkal-pingkal, karena berhasil mengerjaiku lagi.

Aku menghela napas ketika sudah berada di dalam lift. Menyandarkan tubuh pada dinding sambil menunggu. Dan akhirnya dari lantai 45, aku sampai di lantai satu.

Pegawai resepsionis menyapa ramah saat aku melintas di depannya. Langsung saja aku menuju supermarket yang hanya beberapa langkah dari sini. Mengambil troli dan berkeliling di area sayur-mayur.

Sudah mendapatkan semua keperluan, aku bergegas ke kasir, dan kembali ke apartemen Rigel.

Bel sudah aku pencet berkali-kali, tapi Rigel tak juga membuka pintu. Harusnya tadi aku membawa kunci atau jangan menutup pintu rapat begini.

Apa sih yang dilakukan laki-laki itu?

“Pak Rigelll!” teriakku, tak sabar.

Seenaknya saja mengerjai orang setiap saat.

“Lama menunggu, El?” tanyanya saat pintu sudah terbuka.

Aku mengerucutkan bibir dan menatapnya penuh rasa kesal. Dia kemudian memutar tubuh dan aku menyusulnya. Kaki segera menuju dapur dan tersentak ketika mendapati bekas kotak makan di meja.

Kuletakkan kasar kantung kresek yang tadi di tangan. Lalu menghampiri Rigel yang sedang menonton TV di ruang tamu. Aku berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap.

“Pak Rigel sudah makan?”

Sekuat tenaga aku menekan amarah ini. Sabar, El, sabar.

“Sudah,” jawabnya singkat.

“Terus kenapa Bapak nyuruh saya beli bahan makanan kalau Bapak sendiri pesan makan dari restoran lain?”

Benar-benar kesal. Ini kali kedua dia melakukannya. Tadi sebelum menuju apartemen pun dia memesan makanan dari ojek on-line. Tapi tak membeli untukku! Jadi aku tadi hanya sarapan roti di rumahnya. Sungguh tak punya hati!

Rigel mengalihkan pandangannya dari TV ke arahku. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Lalu berkata, “Itu untuk makan malam, El.”

Selamat, kamu berhasil menindasku lagi, Rigel!

Sebal! Aku memutar badan dan kembali ke dapur. Mengeluarkan apel dari kantung tas belanjaan dan mencucinya. Lalu aku menarik kursi untuk duduk, serta menggigit buah dengan perasaan tak tergambarkan.

“El, turun ke supermarket lagi! Belikan aku peralatan mandi!”

Dia berteriak sekaligus memberi perintah, lagi!

Kugenggam erat apel yang baru termakan separuh. Kemudian melangkah menuju laki-laki batu itu.

“Itu uang dan daftar belanjaannya. Jangan coba-coba mengganti semua aroma dari peralatan mandiku!” ucapnya tegas dengan wajah sedikit terangkat. Wajah yang mengarah pada meja di depannya.

“Baik, Pak.”

Lantas aku meraih kertas catatan serta uang itu.

“Struk belanja akan aku lihat nanti.”

“Baiklah, saya permisi dulu.” Dia hanya mengangguk. Matanya kembali menatap layar lebar di depannya. “Tapi ... saya titip apel ini dulu, ya, Pak,” kataku sembari melempar apel bekas gigitan tadi.

Apel itu mendarat tepat di kedua telapak tangan Rigel yang terbuka. Seketika matanya mendelik.

“Elaraaa!”

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro