Yes ... I Do

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Lima ratus juta?” Rigel menatapku sinis. “Bukan sesuatu yang sulit bagiku jika kamu mau tidur denganku malam ini. Bagaimana, El?”

Aku menahan napas ketika Rigel bertanya. Harga diriku seketika hancur. Hati yang tadinya penuh harap, kini dipenuhi oleh benci. Dengan tangan terkepal, aku lalu memukul meja.

“Saya memang perlu uang, Pak. Tapi bukan berarti Bapak bebas meminta apa saja dari saya! Apalagi keperawanan saya sebagai imbalannya! Silakan bermimpi saja untuk itu!”

Tatapan meremehkan serta tawa mengejeknya itu benar-benar menunjukkan seperti apa CEO yang terkenal sebagai konglomerat ini. Dan sebuah kesalahan bahwa tadi aku mendatangi dan memohon padanya untuk membantuku.

“Kamu belum pernah disentuh laki-laki? Aku tidak yakin,” jawabnya sambil menyeringai.

Demi apa pun, aku ingin menghampiri dia di kursinya dan menampar wajah itu!

Napasku terhela berat, lalu menyipitkan mata, dan menatap Rigel nanar. Dia sama sekali tidak terusik dengan ekspresi yang aku tunjukkan. Malah asyik terkekeh sejak tadi.

“Dengar, Anda punya uang banyak, tapi belum tentu bisa membeli apa pun yang Anda inginkan. Saya pamit, Pak Rigel yang terhormat.”

Tak berniat menunggu jawabannya, aku langsung membalik badan, tapi langkah seketika terhenti saat tangan kananku dicekal. Sama sekali tidak ada minat untuk menatap laki-laki berotak mesum ini. Jadi yang aku lakukan tetap memunggunginya dan menyentak agar tangannya terlepas dariku.

“El ...,” bisiknya tepat di telingaku, “lima ratus juta harga yang cukup mahal untuk kamu tebus hanya dengan satu malam. Pikirkan saja dulu. Jangan buru-buru menolak.”

Menolak tawarannya memang hal yang terbaik. Tidak ada lagi waktu untuk menimbang ucapan Rigel.

“Aku ada di kantor sampai jam enam. Lagipula, perusahaan mana yang akan memberikan kasbon sebanyak itu untuk seorang pegawai biasa? Kamu sangat beruntung memiliki atasan sepertiku,” lanjut Rigel penuh kesombongan.

Tanganku terkepal, ingin memukulnya sekarang juga, terlebih ketika dia mengembuskan napas secara pelan di dekat leherku. Aku yakin sekarang dia sedang tersenyum licik. Sungguh, dia adalah laki-laki terkutuk yang Tuhan ciptakan. Harusnya manusia seperti ini musnah saja dari bumi.

Sudah menahan marah sampai saat ini dan sekarang aku tidak bisa lagi. Tubuhku berbalik. Mata kami langsung bersirobok. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas dengan tangan bersedekap.

Plak!

Ekspresi bangga dirinya memudar saat aku layangkan satu tamparan. Namun, senyuman iblis itu kembali menghiasi bibir Rigel. Tangan kanannya mengelus pipi yang agak kemerahan itu, kemudian tawanya terdengar.

“Aku suka yang agresif sepertimu. Pasti menyenangkan saat di ranjang nanti.”

Mengabaikan perkataannya, aku berjalan tanpa menoleh sama sekali. Lalu menutup pintu ruangan dengan kasar.

Sedikit tergesa-gesa aku menuju toilet, melewati lorong kantor yang sudah sepi. Hanya terdengar derap dari wedges lima senti yang aku pakai. Wajar sunyi begini, sekarang sudah tiga puluh menit lewat dari jam kantor.

Sesampainya di toilet, aku mendesah pelan sambil membasuh wajah. Lalu mematut diri di cermin wastafel. Di sana aku melihat perempuan berkemeja maroon dengan rambut terikat satu. Perempuan yang sedang kebingungan harus mencari pinjaman uang di mana.

Kucengkeram erat keran wastafel untuk menyalurkan kekesalan ini. Bagaimana tidak, aku memohon pada Rigel karena berpikir dia adalah lelaki dermawan. Ah, aku terlalu naif sebab sempat mengira dia mau membantu karyawan sepertiku secara cuma-cuma.

Keangkuhan laki-laki berkemeja putih dengan dasi navy-nya itu kembali terbayang. Dia benar-benar otak selangkangan!

Masih sibuk mengumpat dalam hati, ponsel di tasku berbunyi. Membaca pesan yang masuk barusan, berhasil membuat hatiku mencelis.

'Pembayaran paling telat besok, jam sembilan pagi. Gimana kamu bisa dapat uang sebanyak itu, El?'

Lututku lemas, serasa tak bisa lagi untuk menopang tubuh. Aku lalu bersandar pada dinding dan memejamkan mata.

Ingatan atas alasanku mendatangi Rigel kembali terbayang.

“Elara, aku tahu ini semua berat buat kamu, tapi kita benar-benar harus membayar tunggakan rumah sakit. Kalau nggak, perawatan untuk Bams bakal dihentikan. Kali ini aku nggak bisa berbuat apa-apa lagi.”

Nathan menatap penuh iba, tapi aku memberinya senyuman. Aku tidak ingin dia cemas terhadap keadaan temannya ini. Laki-laki berpostur tinggi itu terlalu banyak aku repotkan.

“Aku akan berusaha cari pinjaman dan secepatnya bayar. Kamu udah terlalu banyak bantuin aku, Nath. Thank you buat semuanya.”

“Kamu kuat, El. Kamu dan Bams pasti bisa lewatin semua ini. Aku minta maaf nggak bisa ngelakuin hal lain buat kamu.”

Dia yang sedang berdiri di sebelahku menampakkan raut kesedihan. Padahal jelas-jelas ini bukan urusannya, tapi tetap saja, Nathan begitu murah hati masuk ke dalam kesulitanku.

“Jangan khawatir. Aku bisa tangani masalah ini.”

Menangani? Padahal aku belum punya bayangan sama sekali bagaimana cara melunasi tunggakan di rumah sakit. Tabunganku saja tak sampai satu juta. Namun, sudahlah. Setidaknya perkataanku tadi bisa membuat Nathan merasa lega.

Dia tersenyum, kemudian menepuk pelan pundakku. Lalu meninggalkan ruangan ini.

Berat, begitu berat rasanya yang aku jalani. Anggota keluarga satu-satunya kini tengah terbaring di rumah sakit. Biaya pengobatan Bams benar-benar membuat kepala ini hendak meledak. Kalau saja bukan karena Nathan yang membantu bicara pada pihak rumah sakit tentang keringanan biaya, Bams pasti sudah tidak bisa dirawat.

Kini aku hanya bisa membelai wajahnya yang pucat sambil terus memikirkan pelunasan tagihan. Tapi apa pun yang terjadi, dia harus tetap bertahan di dunia ini.

Menyadari jam istirahat kantor akan habis, aku memasukkan kertas tagihan ke tas. Lalu memberikan kecupan di kening Bams.

“Kakak janji akan berjuang untuk kamu, Bams. Kamu juga harus berjuang untuk tetap hidup demi Kakak.”

Perlahan aku melangkah keluar dari ruangan dan memainkan ponsel. Tanpa sengaja menemukan sebuah link artikel tentang seorang konglomerat Rigel Devara. Tunggu, dia adalah CEO-ku. Kekayaannya jelas tak akan habis meski sampai tujuh turunan. Jika tak boleh kasbon di perusahaannya, mungkin aku bisa meminjam secara pribadi ke Rigel.

Sekarang ada secercah harapan setelah sebelumnya aku menghubungi semua orang, tapi tak ada satu pun yang bisa membantu. Lima ratus juta bukanlah jumlah yang sedikit. Akan tetapi, orang kaya itu mungkin saja bisa membantu. Setelah jam kantor selesai, aku akan menemui Rigel. Memohon dan meminta kemurahan hati laki-laki itu.

Ah, sekarang aku bisa sedikit tersenyum.

Tubuhku luruh ke lantai saat membaca ulang pesan dari Nathan. Uang harus terkumpul kurang dari 24 jam. Tidak ada lagi barang yang bisa kujual. Rumah saja mengontrak. Mobil pun tak ada. Argh!

Jemariku menari di layar, melihat-lihat daftar kontak. Aku putuskan untuk menghubungi Vivian, teman terdekat. Barangkali sekarang dia bisa memberi pinjaman lebih. Agak malu sebenarnya, karena dia sering membantu masalah uang juga.

Dadaku sedikit berdebar saat panggilan mulai tersambung. Dan semakin keras detaknya saat suara di seberang sana menyapa.

“Vivian, lo lagi sibuk?”

“Baru sampai rumah. Biasa, jalanan kan macet. Lo kenapa, El? Bams baik-baik aja, 'kan?”

Agak ragu, tapi aku harus mengatakannya.

“Bams keadaannya masih lemah, tapi ada yang lebih penting dari itu.”

Ada apa? Lo perlu uang?”

Ah, kalau bukan karena Bams, aku tidak ingin menceritakan kesusahan ini.

“Tenggang waktu untuk lunasi tagihan rumah sakit cuma sampai besok pagi. Vivian, gue mesti gimana?”

Terdengar helaan napas berat dari seberang. Dia pasti sedang memikirkan tentang masalahku. Bahkan sampai beberapa detik Vivian tetap diam.

“Gue ada 25 juta. Lo bisa pakai itu. Gue transfer sekarang, ya.”

Itu bukan uang untuk nikahan lo dua bulan lagi, 'kan?” tanyaku was-was. Karena setahuku dia memang akan menikah dalam waktu dekat.

Vivian tak menjawab. Ckck! Harusnya aku tahu diri dengan tidak melibatkan perempuan itu. Lihatlah, sekarang aku seperti orang kejam yang sudah menyusahkan sahabat sendiri.

“Eh, Vivian, gue nggak jadi pinjam uang lo. Gue baru ingat ada saudara gue yang abis jual rumah. Kayaknya mereka bisa bantu, deh.”

“Yakin? Lo lagi nggak bohong, 'kan? Pakai uang ini aja dulu nggak apa-apa.”

Bohong? Ya, aku memang sedang melakukannya. Bibiku tak peduli lagi pada keponakannya ini. Dia merasa berada di tingkat yang jauh dariku, hingga tak ingin mengenal orang di bawah. Saat melihatku datang memohon, dia hanya melemparkan uang lima ratus ribu ke wajah ini. Dan aku memutuskan untuk tidak mengambilnya pada hari itu.

“Yakin. Yaudah, makasih, ya. Nanti kalau ada apa-apa gue telpon lagi.”

Panggilan sudah terputus, sekarang tinggal aku yang kebingungan setengah mati. Jika tidak bisa membayar, bukan hanya nyawa Bams yang terancam, tapi kehidupan Nathan juga. Laki-laki itu menjadi penanggung jawabku di rumah sakit dan gajinya sebagai dokter setiap bulan akan ditahan jika biaya Bams tak dilunasi. Mana mungkin aku tega membiarkan Nathan kesusahan begini.

Sekali lagi aku menghela napas berat, kemudian berdiri. Mematut diri di cermin dan membayangkan bencana yang akan terjadi jika tak ada lima ratus juta itu.

Saat aku memejamkan mata, wajah dan nama seseorang hadir. Rigel Devara. Ya, dia satu-satunya yang bisa membantuku. Tapi ... aku harus menukarnya dengan tubuh ini. Tidak! Mana boleh aku melakukan itu.

“Lima ratus juta dalam semalam adalah hal yang mustahil. Lo dapat uang dari mana, El?” Aku bergumam sendiri sambil meremas jemari tangan.

Lima ratus juta. Rigel Devara.

Tuhan, apakah tidak ada jalan lain yang harus aku ambil?

Seandainya Ayah dan Bunda ada di sini, pasti mereka bisa membantuku. Atau setidaknya menjadi tempatku membagi beban.

Aku keluar dari toilet, hendak menuruni tangga, tapi kembali melirik lorong yang menuju ruangan Rigel. Haruskah? Lupakan, El! Pasti ada jalan lain. Sampai rumah aku akan memikirkannya lagi.

Baru beberapa anak tangga, ponsel di tanganku kembali berdering. Ada sebuah pesan masuk.

'Kondisi Bams makin lemah. Pihak rumah sakit nggak mau bertindak. Aku sebagai dokter juga nggak bisa bertindak tanpa perintah dan persetujuan.'

Hidupku dalam kegamangan, sedangkan hidup Bams dan Nathan juga bergantung padaku sekarang. Aku tengah berada pada titik terendah. Yang mana jika aku kekeh mempertahankan harga diri, maka ada dua orang tak berdosa yang harus menanggungnya.

Tidak ada cara lain dan tidak ada waktu. Aku harus menyerah tanpa bisa melawan lagi.

Kulirik ponsel, lalu memasukkan ke tas, dan memutar tubuh. Berjalan dengan dada berdebar hebat dan tubuh bergetar.

Sesampainya di depan benda tinggi yang terbuat dari kayu, aku mengetuk pelan. Terdengar suara mempersilakan dari dalam. Tubuhku semakin tegang saat melangkah masuk. Lalu kembali berhadapan dengan Rigel. Dari kursi duduknya, dia tampak pongah, karena pasti sudah menduga atas apa yang akan terucap dari lidah ini.

Aku berdiri tepat di depannya, hanya terhalangi meja kerja Rigel. Jantungku berdentam-dentam saat melihat tatapan itu.

Lelaki itu melirik jam tangannya. “Waktumu hanya lima menit.” Lalu dia melipat kedua tangannya di depan dada dan kembali menatapku. Menantiku untuk bicara.

“Pak, saya bersedia menghabiskan malam bersama Bapak.”

Wajahku lalu tertunduk, sedetik kemudian dua tetes bening meluncur dari mata. Cepat-cepat aku hapus dengan punggung tangan dan kembali menatap Rigel yang tengah menarik sudut bibirnya.

Aku kalah. Tapi saat ini harga diriku tak lebih penting dari Bams.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro